9

146 16 18
                                    

EVELYN terhenti dengan langkah pincangnya, ia melihat Bram memandangi sang matahari yang sebentar lagi akan menyudahi tugasnya. Pemandangannya cukup indah, Evelyn mengakui itu, ini sedikit romantis seandainya ada Amalia di sini. Tunggu, apalagi yang ia pikirkan saat ini, kenapa tiba-tiba pikirannya selalu dikaitkan dengan kehadiran Amalia.

Setelah cukup lama berpikir, Evelyn memutuskan untuk menemani Bram menyaksikan matahari terbenam. Sinar matahari sudah berwarna merah jingga, hanya menunggu hitungan menit lagi, dan sinar itu akan segera menghilang. Keduanya menikmati pemandangan itu, Evelyn ingat pernah mengalami kejadian serupa sebelumnya. Saat itu, ia dan Bram tengah merayakan anniversary hubungannya ke satu tahun mereka. Bram mengajaknya menaiki bukit berdua, meniup lilin dan memotong kue. Keduanya tampak bahagia saat itu.

"Aku tak pernah bosan melihat pemandangan ini." Bram memulai percakapan, ia sangat menikmati apa yang sedang dia saksikan saat ini. Sangat mengagumkan, pikirnya.

Setelah sepuluh menit menikmati sunset, mereka bergegas kembali ke dalam hutan. Bram kembali menggendong Evelyn, ia awalnya tak ingin digendong lagi, tetapi mengingat suasana sudah semakin gelap. Maka mau tak mau dia harus menerima usulan Bram itu.

Selama perjalanan pulang, tak ada obrolan apapun, Bram fokus pada jalanan, sedangkan Evelyn meringkuk di punggung Bram. Suasana cukup menegangkan, Evelyn merasa tak nyaman, ada rasa bersalah di benaknya, ia ingin agar Amalia cepat kembali, tetapi ia juga berharap wanita itu tersiksa.

"Masuklah terlebih dahulu, aku ingin mengembalikan peralatan ke dalam rumah sakit."

Bram pergi tanpa menunggu respons darinya, ia melihat Bram masuk ke sana dari dalam mobil. Evelyn iseng memutar lagu yang ada di head unit mobil Bram.

Lagu pertama memutar lagu dari Anji - Dia. Evelyn terdiam sembari menikmati alunan musik mulai bernyanyi. Lagu ini memiliki makna lebih untuknya dan juga Bram. Lagu yang berkaitan erat dengan hubungan keduanya. Lagu ini adalah lagu yang Bram nyanyikan saat menembaknya dulu. Evelyn tak menyangka, jika Bram masih suka mendengarkan lagu ini, ia pikir selama ini Bram hanya playboy gila yang suka gonta-ganti selingkuhan.

Di tengah renungan masa lalunya, tiba-tiba Bram muncul dengan beberapa teman dokternya dan saling melambaikan tangan perpisahan dan Bram menuju ke arah mobil tersebut.

Evelyn yang menyadari hal itu segera mematikan musik yang tengah berputar dan bersikap seolah-olah tak melakukan apapun selama menunggu pria itu.

Bram masuk ke mobil, ia mengenakan sabuk pengamannya dan menghidupkan mesin.

"Kau ingin istirahat terlebih dahulu atau--"

"Langsung ke kantor saja."

"Baiklah," Bram langsung menyetujuinya, ia segera membanting setir ke kanan dan meninggalkan rumah sakit tersebut.

"Bagaimana kondisi kakimu?" Bram mulai menunjukkan perhatian.

"Bukan masalah besar, aku yakin sebentar lagi akan membaik."

"Ambil salep ini." Bram mengeluarkan botol kecil dari sakunya dan memberikannya kepada Evelyn. "Salep itu mengandung Diclofenac, yang befungsi untuk meringankan rasa sakit dan--"

"Kau tak perlu menjelaskannya panjang lebar, itu hanya akan membuang tenagamu dan aku pastikan otakku tak akan mampu menyerab setiap istilah dari dunia kedokteran. Namun, kuucapkan terima kasih banyak atas pertolonganmu."

Evelyn membalasnya dengan nada dingin, ia seolah menutup telinga untuk mendengarkan penjelasan dari pria itu. Sudah banyak penjelasan Bram yang berakhir sia-sia, dan Evelyn tak akan mau mendengarnya lagi. Ia sudah cukup muak.

"Sama-sama, maaf hanya itu yang bisa kulakukan sekarang, aku tak bisa mempolesinya karena sedang menyetir."

"Tidak masalah, aku bukan wanita yang semanja itu." Evelyn membuka tutup botol obat itu dan mengambil seujung jari kemudian mempolesinya ke kulit yang terasa nyeri dan sakit saat digerakkan.

Evelyn menutup kembali botol salep dan meletakkannya di depannya.

"Kau boleh mengambilnya, sekali oles belum tentu bisa meredakan sakitnya. Kau pasti membutuhkannya lagi nanti."

"Aku bisa membelinya, Bram, itu sepertinya bukan obat khusus yang hanya kau resepkan untukku, 'kan?"

Bram terdiam, dari merk botolnya memang agak mencurigakan, informasi dan desain produknya pun terlihat begitu sederhana. Jangan bilang....

"Kau benar-benar meraciknya untukku?" Lanjut Evelyn, meminta jawaban.

"Ya, aku segera mengirim SMS kepada rekanku untuk membuatkan obat salep kaki terkilir, aku tadi sudah membayarnya juga. Katanya obat itu cukup manjur dan resepnya dari dokter berpengalaman."

"Bram, kau tak perlu sampai segitunya." Evelyn seolah menolak niat baik dari pria itu. "Cukup perlakukan aku biasa saja--"

"Apa itu artinya hubungan kita berakhir sampai di sini?" Bram menghentikan mobilnya di area parkir tempat kantor Evelyn berada. Ia menatap wanita itu dengan mata hitam yang berkilauan.

"Aku pun tak tahu, Bram. Memaafkanmu saat berselingkuh dengan orang asing masih bisa kumaklumi, tetapi saat tahu dirimu berselingkuh dengan orang yang kukenal, rasanya aku tidak bisa menerima itu. Berat sekali bagiku untuk memaafkanmu."

"Meskipun keadaannya tidak seperti yang kau lihat?"

"Masih mau menyangkalnya, Bram? Aku saksinya dan aku tahu persis apa yang kau lakukan padanya di taman pada hari itu. Aku mencoba berpikir positif, tetapi mau dipikirkan seperti apapun, hasilnya tetap sama."

Bram menghela napas berat. Sepertinya ini bukan waktunya yang pas untuk meyakinkan Evelyn. Ia masih belum bisa mendengarkan penjelasan dari Bram, hatinya masih tertutup oleh rasa sakit yang belum terobati.

"Sudahlah, Bram. Aku sedang tak ingin membahasnya saat ini. Akan kuhubungi dirimu jika waktunya telah pas. Kau bisa memaklumi itu, kan?"

"Iya," Bram berkata lirih. Ia harus mengalah saat ini. Menunggu kondisi Evelyn sudah siap dengan hal itu, barulah nanti ia akan membahasnya kembali.

"Kalau begitu, aku masuk kantor dahulu. Tak perlu menungguku, aku bahkan ragu untuk pulang malam ini. Sebaliknya kau pulang saja."

Evelyn mendorong handle mobil dan hendak menutupnya kembali, tetapi suara Nadira menggema dengan cepat. "Lama sekali! Sekalian aja, Bram-nya ajak masuk, kasihan nunggu di luar."

"Hah? Apa maksudmu, Nad? Ngapain juga bawa Bram masuk ke kantor?"

"Kau tega melihatnya menunggu di sini, sementara kau asik-asikan di dalam kantor?"

"Aku tak pernah bermain-main dalam kantor, kau tahu itu, Nad, kantor adalah area profesionalku."

"Lantas, kenapa membawa perasaan pribadi ke area kantor? Kau sendiri yang bilang kalau ini area profesionalmu, itu artinya kau dan Bram tidak ada hubungan apa-apa di sini."

Sialan! Kenapa Nadira begitu ngotot ingin mengajak masuk Bram ke dalam kantornya. Ia tak bisa fokus jika berada di sekitar Bram. Hatinya selalu berdebar kencang dan jarinya selalu gemetaran ringan, ia sudah menyembunyikannya sejak tadi, tapi jika harus dihadapkan dengannya selama pekerjaan berlangsung, bisa-bisa Evelyn tak akan pernah fokus dengan pekerjaannya.

"Ya sudah, ayo Bram, kita masuk."

Evelyn mengalah.

"Kau yakin? Aku sebaliknya pulang saja."

"Aku, sangat, yakin," balas Evelyn dengan penuh penekanan.

"Baiklah jika kau memaksa."

***

It's Never Enough!!! [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang