34

54 12 5
                                    

AKMAL menatap orang tuanya santai. "Kalian berdua sudah tau jawabannya, Ma, Pa. Aku sudah cukup sabar selama ini, tapi sekarang tidak lagi. Apapun yang menghalangiku kali ini, akan kuhabisi saat itu juga."

"Akmal, apa yang sudah kau lakukan?" Bram mendekat, hendak menghentikan pria itu, tetapi Akmal segera menodongkan pisau ke arahnya.

"Maju selangkah lagi, dan kau akan mendapati belati ini berada tepat di keningmu."

"Kau bukan seperti Akmal yang kukenal."

Dia tersenyum sinis, mengangkat dagunya. "Memangnya kita pernah kenal, Bram?"

"Pikirkan lagi, Akmal, kau pikir dengan berbuat seperti ini, dia akan datang kepadamu, begitu?"

Seolah memikirkan perkataan darinya, Akmal beralih menatap Evelyn yang gemetaran melihatnya. Wanita itu tampak rapuh dan saat dia hendak mendekatinya, tiba-tiba ia berteriak histeris. "Menjauh! Menjauh!"

"Hentikan, Akmal!" Bram berdiri tepat di depannya, menghadangnya. Ia sangat takut jika Akmal akan diluar kendali dan mencelakakan banyak orang. Ia pikir, setidaknya ia harus memisahkan pisau itu dari Akmal.

"Minggir!"

"Tidak."

"Kau sudah tidak sayang nyawa, Ha?" Ia menodongkan pisau itu ke lehernya, sudah bersiap untuk sayatan dalam.

Ia menatap pergelangan tangan Akmal, mencari suatu celah agar bisa melumpuhkannya, kemudian menepis jauh pisau itu dan segera melakukan gerakan untuk melumpuhkan Akmal.

Dengan gerakan begitu cepat, pria itu tidak mampu mengimbangi gerakan Bram dan berakhir tertunduk ke lantai dengan tangan yang sudah dikunci oleh Bram.

"Lepaskan, lepaskan!" Akmal berteriak histeris, meronta-ronta namun gagal karena Bram sudah mengunci mati pergerakannya.

"Evelyn, tolong amankan pisau itu. Kita perlu tau darah siapa yang menodai pisau itu."

Meski tubuhnya bergetar hebat, ia coba melangkah pelan dan berhati-hati mengambil pisau penuh darah itu. Mulutnya terasa keluh, sangat susah untuk menggerakkan mulutnya saat ini.

Bram menghela napas lega, kemudian ia menambah tekanan pada kunciannya. Akmal kesakitan. "Katakan, darah siapa yang menempel pada pisau itu?"

Akmal menatapnya dengan ujung mata. "Seseorang yang kau kenal."

"Siapa?"

Namun, alih-alih menjawab, Akmal justru tertawa terbahak-bahak. Ayahnya bahkan terperangah kehabisan akal untuk menerima semua ini.

"Siapa?!" Bram mengulangi lagi pertanyaannya, ia menambah hentakan ke lantai. "Katakan, Akmal! Aku tidak ingin berbuat lebih kasar dari ini. Jika itu terjadi, kujamin kau tidak akan bisa mengetik satu katapun lagi di kantormu."

"Akmal, sudah katakan saja! Darah siapa yang ada di pisau itu!" Ayahnya mulai membuka mulut. Matanya memerah, dia mulai tidak bisa melihat dengan jelas, lututnya juga mulai lemas, ia hampir terjatuh saat mengatakan itu. Ia tidak menyangka, anak semata wayangnya itu akan melakukan hal semengerikan ini. Tidak pernah terbayang sedikit pun di benaknya jika akan jadi seperti ini.

"Bedebah kalian semua!"

"Berhenti memaki dan cukup katakan saja yang sebenarnya, Akmal!" Bram memotongnya.

"Kau sampai sepenasaran itu ya, Bram? Tenanglah, dia hanya kenalanmu, wanita yang kau hantar ke rumah Amalia waktu itu."

"Siapa?" Bram mencoba mengingat. "Jangan bilang ... Nadira?!" Ia sendiri ragu dengan tebakannya, benarkah itu darah Nadira? Kenapa?

Sejenak ia ragu, tetapi mau diingat bagaimana pun, memang hanya dialah yang Bram antar baru-baru ini ke rumah Amalia. Kemudian memborgol pergelangan tangan Akmal dan melingkarkan borgolan itu ke sebuah tiang kecil yang ada di ujung ruangan. Akmal terduduk lemas.

"Apa tebakanku benar?"

Namun, Akmal hanya tersenyum miring.

"Jangan hanya karena ada orang tuamu, kau pikir aku tidak akan berani bertindak, Akmal, salah besar jika kau mengira ini akan berakhir dengan menyenangkan."

"Ya, ya, kau benar. Itu darah Nadira." Akmal mengatakannya dengan begitu enteng dan membuang muka.

Tanpa semua orang sadari, Evelyn perlahan berjalan ke arah dua pria itu dan tertunduk cukup lama.  "Katakan sekali lagi, Mal," pintanya lirih.

Akmal tersenyum sembari mendongak, menatap keterpurukan wanita itu. "Iya, Sayang, itu adalah darah Nadira."

"Kenapa? Kenapa kau melakukan itu padanya? Memangnya dia salah apa padamu?" Evelyn masih berkata selirih mungkin. Terdengar seperti menahan isak tangisan.

"Kenapa? Sayang, apa kamu tidak mengingat tamparannya wakut itu? Aku hanya melakukan hal yang setimpal dengan itu. Memangnya itu salah? Tidak kan. Kamu pasti mengerti kan dengan tindakanku saat ini?"

"TIDAK! Aku tidak mengerti sama sekali, apa yang menjadikanmu bertindak sejauh ini."

"Sayangku, Evelyn, kau sudah cukup tahu bahwa aku sangat tidak terima diperlakukan seperti sampah. Saat itu, aku menahannya karena kamu ada di sana dan membelaku. Lakukan lagi, Evelyn, bela aku lagi, berpihaklah padaku lagi, seperti saat itu."

"Sudahlah, aku muak mendengar perkataan menjijikan itu."

Bram hendak membawa Akmal pergi, tetapi Evelyn mencegahnya dengan cepat. "Tahan dulu, Bram, aku ada beberapa pertanyaan lagi untuknya."

"Kau yakin?"

Ia mengangguk, Bram hanya bisa berpasrah jika itu menyangkut Evelyn. Ia tidak ingin membuat gadis itu terluka, tapi keadaannya sudah cukup kacau dan dia sedang berada di ambang jurang.

"Apa kau membunuhnya?" Pertanyaan yang keluar dari mulut Evelyn itu membuat mata Bram terbuka lebar, ia seketika menatap wanita itu dengan tatapan tegang.

Ia tidak terpikirkan sampai ke sana, dalam benaknya, mungkin Akmal hanya menyandra wanita tidak bersalah itu untuk menuruti keinginannya.

"Jangan gila! Akmal, kau tidak berbuat sejauh itu kan?!"

Namun, Akmal hanya diam, menambah ketegangan yang hampir memuncak. Napasnya terasa berat dan Evelyn terjatuh lemas. Bram berteriak kencang. "KATAKAN, AKMAL!"

"Aku tidak tahu."

Ia berdiri, menendang wajah Akmal dengan begitu kencang, hingga menyebabkan ia pingsan seketika. "AH!!!"

Ia beralih menatap Evelyn, gadis itu melamun dengan tatapan kosong, wajahnya pucat basi seketika. Badannya bergetar hebat dan seakan tidak berselera untuk hidup.

"Evelyn, tenanglah." Bram memeriksa kondisinya, ia menampar ringan untuk memeriksa, sialnya ia terlalu emosi karena keadaannya begitu berantakan. "Evelyn, dengarkan aku, oke? Aku mohon, setidaknya dengarkan aku."

Bram menggosok-gosok tangan Evelyn untuk menghangatkannya. "Dia akan baik-baik saja dan kita akan menemukannya seseorang mungkin. Percaya padaku."

Namun, Evelyn tidak merespons apapun. Ia seperti boneka, tidak memiliki kesadaran. Bahkan ia tidak berkedip untuk waktu yang cukup lama.

"Pergilah ke basemen rumah ini, wanita itu ada di snaa." Sebuah suara asing mengisi kekosongan di ruangan itu. Ia berdiri tak jauh dari pintu masuk.

Bram menatapnya dan sontak berkata, "Amalia? Tidak, kau bukan Amalia." Ia berdiri. "Siapa kau?"

"Aku adiknya. Oh ya, kuperingatkan dirimu, untuk segera menolong wanita itu, Akmal melukainya cukup fatal, aku ragu dia bisa bertahan lebih dari 2 jam dari sekarang."

"Sialan!" Ia menatap Evelyn sesaat, tapi ia tidak punya pilihan lain saat ini. Segera mungkin ia berlari keluar dan langsung menuju ke basemen rumah itu. Namun, sialnya basemen rumah itu begiru luas dan banyak ruangan dan lika-liku seperti labirin.

***

It's Never Enough!!! [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang