"EVELYN!" kejar Nadira sekuat tenaga, sahabatnya itu berlari begitu kencang sampai ia tidak bisa menyamai lari mereka. "Jangan terus menghindarinya!"
Evelyn terhenti, ia berbalik. "Aku belum bisa menghadapinya, Nad. Aku belum siap. Sama sekali."
Nadira ngos-ngosan, ia sampai bertumpu pada lututnya. Dadanya kembang-kempis tak menentu. Kemudian ia menarik napas yang dalam, mendekati sahabatnya yang dilanda keraguan cinta itu dan berusaha untuk menghilangkan keraguan dalam dirinya. Ia memegangi kedua pundaknya.
"Semakin kau hindari, semakin jauh kau terjebak di dalamnya. Masalahmu saat ini seperti lingkaran yang melingkari hatimu, dengan kau menghindarinya, itu hanya akan membuatmu berpindah ke sisi yang lain. Yang harus kau lakukan hanyalah melangkah dari lingkaran itu."
"Bagaimana caranya, Nad? Katakan padaku, bagaimana caranya!"
"Hadapi, siap atau tidaknya dirimu, hadapi."
"Bagaimana jika aku kembali luluh?"
Nadira menghela napas berat. Ia merasa ini akan menjadi proses move on yang panjang. Evelyn adalah orang yang ketika sudah jatuh hati, mau orang berkata apapun, dia akan tetap pada pendiriannya. Namun, saat ini, dihadapannya, ia hanyalah perempuan yang sedang goyah.
"Yakinkan dirimu, Lyn. Saranku, beri kepastian pada hubungan kalian. Jangan menggantungkan hubungan kalian seperti ini. Kau seolah memberi harapan yang mana harapan itu hanyalah omong kosong semata. Buat keputusan yang tegas, Lyn, yakinkan dirimu pada satu keputusan yang tidak akan kau sesali."
"Apa menurutmu aku harus meninggalkannya?"
"Aku tidak tahu. Kau yang menjalaninya, Lyn, kau juga yang akan merasakannya akibat dari keputusanmu itu. Sebagai sahabat, aku hanya memberikanmu pencerahan dan jalan yang bisa kau lalui. Namun, keputusan akhirnya tetaplah padamu, apakah kau akan berjalan di jalan yang aku sarankan, atau pergi ke arah lain."
"Ayolah, Nad! Jangan bermain kata denganku. Aku semakin bingung." Evelyn mulai tak bisa menahan air matanya, ia mulai terisak pelan.
"Eh?--" Nadira baru tersadar jika kata-katanya agak berlebihan. Ia seolah bicara seperti seorang yang sudah ahli dalam percintaan. Ini pasti karena drama melow yang ia tonton semalam.
"--pada intinya, aku pribadi ingin kau putus dengannya, aku sangat menantikan kau bisa menjalin hubungan yang baik dengan lelaki yang baik juga. Yang tidak mempermainkan perasaanmu."
"Begitu." Evelyn menundukkan wajahnya, kemudian berbicara pelan. "Ayo, kita putus, Bram."
Nadira tersenyum lega, pada akhirnya, Evelyn benar-benar akan menyudahi hubungannya dengan pria itu. Nadira tidak berniat apapun, ia hanya merasa jika Bram bukanlah lelaki terbaik yang akan membahagiakan Evelyn.
Ia kemudian memeluknya, menenangkannya dalam dekapan penuh kasih sayang dari seorang sahabat. Nadira benar-benar tulus ingin Evelyn bahagia, ia bahkan tidak memikirkan kebahagiaannya saat ini.
***
Keduanya kembali ke meja kerja Evelyn, terlihat Akmal yang langsung menghampiri mereka dengan wajah yang panik.
"Kalian berdua tidak apa-apa?" tanyanya penuh dengan rasa khawatir.
Nadira menggeleng. "Dia cuma trauma, Mal. Harap maklumi ya."
Evelyn menatap Akmal lembut. "Maaf ya, Mal, aku membuat kekacauan dan membawa masalah pribadi ke area kantor. Kau bisa memotong gajiku nanti."
"Apa yang kau katakan, Lyn? Sudahlah, tidak perlu berlebihan. Di sini, kita adalah keluarga, jangan memendamnya sendirian. Jika kau tidak ingin melihatnya lagi di kantor ini, aku bisa meminta satpam untuk mem-blacklist nya dari tamu kantor."
"Sebaiknya jangan, Mal. Aku sudah cukup berani sekarang, tidak perlu sampai seperti itu. Baiklah, mari kita bekerja seperti biasanya. Aku tidak ingin menunda pekerjaan yang sedang berseliweran di mejaku saat ini."
"Oh, silahkan. Katakan padaku jika kau perlu sesuatu, aku akan menolongmu kapan saja."
"Terima kasih banyak atas perhatiannya, Mal. Tapi, kurasa cukup untuk hari ini. Terima kasih juga telah mengkhawatirkan kami."
Aku hanya mengkhawatirkanmu, Lyn.
"Kalau begitu, aku balik ke mejaku ya, aku percayakan Evelyn padamu, Mal."
"Baiklah, aku akan menjaganya sebaik mungkin."
Nadira pergi, kembali ke meja kerjanya. Sedangkan Akmal menatap Evelyn yang mulai berkutik di layar monitornya. Ia kembali mengerjakan file dokumen yang tertunda tadi.
Evelyn berusaha untuk selalu fokus pada monitornya, tetapi setiap beberapa saat, tau-tau dia sudah melamun saja. Itu terjadi beberapa kali, bahkan pekerjaan yang harusnya beres, kini membutuhkan waktu yang lebih lama diselesaikan.
"Nggak, aku nggak bisa kayak gini! Aku benar-benar kacau parah. Aku harus melakukan sesuatu."
Evelyn mengambil teleponnya, ia segera mencari kontak Bram dan bersiap untuk melakukan panggilan. Namun, saat hampir melakukan panggilan, hatinya kembali ragu. Ia merasa belum siap untuk mendengarkan suara Bram, meski itu dibalik telepon sekalipun.
Ia menggeleng cepat. Tidak, Evelyn, kau harus menghadapinya sekarang! Jika kau tidak melakukan sekarang, kau hanya akan dipermainkan oleh Bram lagi.
Panggilan berhasil, sedang menunggu untuk diangkat. Ia menunggu dengan cemas, setelah beberapa saat, akhirnya panggilan itu diangkat.
"Hallo?" Sapa Bram dari balik teleponnya.
"Ha, hallo..." Evelyn menempelkan teleponnya ke telinga.
"Ada apa? Kupikir kau belum mau berhubungan denganku."
"Memang belum, tapi ada yang harus kukatakan padamu. Datanglah ke taman sore nanti. Sudah dulu ya, pekerjaanku sedang banyak. Dah!"
Panggilan berakhir, benar-benar singkat. Baru sesaat saja, tapi itu berhasil membuat Evelyn kalang-kabut tidak karuan. Untunglah ia bisa menjelaskan tujuannya dengan jelas.
Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Semua pegawai kantor mulai mematikan monitor kerja mereka dan bersiap untuk pulang. Sementara Evelyn masih menatap monitornya dengan tatapan kosong.
"Lyn, ayo pulang," ajak Akmal.
Evelyn tersadar dan mendongak ke arah Akmal. "Ah, itu Mal, bisa kau duluan saja? Aku masih ada beberapa urusan sedikit. Nanti aku pulang bersama Nadira saja ya."
"Ah, begitu. Baiklah, aku menghargainya, kalau begitu ... aku pulang dahulu ya. Semoga sisa harimu menyenangkan."
Akmal pergi, meninggalkan Evelyn seorang diri di ruangan itu. Semua pegawai telah pulang, sementara ia sendiri masih menunggu kabar dari Bram.
Nadira muncul, tetapi ia membawa berkas di dekapannya. "Kau sudah siap kan? Kumohon, pilihlah dengan bijaksana, Lyn. Aku yakin kau bisa menghadapinya dengan berpikir jernih. Jangan terhasut pada apapun yang ia katakan nanti."
"Baiklah, terima kasih sarannya, Nad."
"Bukan masalah. Larilah ke kantor jika dia berani macam-macam denganmu ya. Aku akan menghajarnya saat itu juga. Atau mungkin kau ingin kutemani?"
Evelyn menggeleng cepat. Ia merasa, untuk masalah ini, akan lebih baik jika diselesaikan empat mata saja. Ia benar-benar berharap semuanya berjalan sesuai dengan apa yang Evelyn harapkan.
"Tidak perlu, Nad. Cukup stay di kantor saja, itu sudah lebih dari cukup untukku. Kau bisa memandangi kami dari kaca kantor lantai dua, aku akan berada di taman dan mengobrol dengannya di kursi yang bisa kau pantau."
Nadira mengangguk. "Baguslah jika kau sudah mempersiapkannya serapih itu. Good luck, Lyn."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
It's Never Enough!!! [REVISI]
RomanceSeolah tersadar dari kesalahan masa lalu. Evelyn tidak akan memaafkan perbuatan bejat Bram lagi. Bisa-bisanya dia menyentuh mahkota perempuan bersuami, terlebih Evelyn mengenal selingkuhannya kali ini. Tapi, tak disangka, bukannya mengakui perbuata...