17

80 17 10
                                    

"KUUSAHAKAN."

***

"--Jadi, sekarang kau berniat untuk mencuri Evelyn dariku, begitu?!" Ia berdiri berhadapan dengan Akmal, siapa lagi kalau bukan Bram. Hinaan terhadapnya beberapa saat lalu masih terngiang-ngiang di otaknya yang sedang memanas tidak karuan. Ia harusnya bisa berbicara lebih tenang dengan Evelyn ketika si pengganggu itu tidak muncul dan mengacaukan segalanya.

"Aku tidak berniat, tapi aku sedang berusaha. Kau sudah diberi kesempatan, tetapi kesempatan itu sudah berlalu. Roda terus berputar, Bram."

"Aku dan Evelyn masih memiliki hubungan, tidakkah kau malu mengenai fakta itu? Pria macam apa yang mendekati pacar seseorang?"

Akmal mendengus seketika, ia menahan tawanya. "Oh, lucu sekali, ada seorang pria yang menganggap hubungan mereka masih berjalan sedangkan pasangannya sudah tidak menganggapnya lagi."

"Apa maksudmu!" Bram mendekat, mencengkam kerah kemeja putih Akmal dengan kasar, mata keduanya beradu. "Katakan, apa maksud perkataanmu barusan!"

Akmal terbatuk-batuk karena pernapasannya terganggu, ia berusaha sebisa mungkin melepaskan cengkraman tangan Bram darinya. "Kalian ... sudah putus!"

"Siapa yang bilang!"

"Evel .. yn."

"Katakan sekali lagi!"

"Evelyn!"

"Pembohong besar!" Sebuah bogem mentah berhasil mendarat di rahang tirus Akmal, ia terpental ke bawah, Bram segera mendudukinya, masih berusaha mencengkram bajunya. "Katakan bahwa semua itu bohong!"

Akmal tertawa renyah mendengar keputusasaan yang sedang ditunjukkan oleh Bram, ia begitu senang melihat pria itu hanyut dalam kesedihan.

"AHHH!!!"

Bram kembali memukuli wajah mulus Akmal dengan membabi-buta! Ia begitu frustasi dan tidak bisa berpikir jernih, di tengah kegelapan malam, ia berteriak kencang sambil terus melancarkan pukulannya.

Sementara Akmal mencoba menghalangi pukulan itu dengan kedua tangannya, ia tidak sekuat Bram dari segi pertarungan, tapi di sisi lain, ia memiliki keuntungan dibuat babak-belur seperti ini. Setidaknya, ia akan membawa ini ke meja hukum.

Setelah puas memukuli Akmal, ia berdiri, ngos-ngosan. Kemudian pergi begitu saja, meninggalkan Akmal yang tangan dan wajahnya penuh goresan luka dari samsak tinju yang ia layangkan.

"Brengsek kau, Bram. Lihat aja, kau bakal menyesali setelah berbuat sebrutal ini." Akmal tergeletak tak berdaya, ia memandangi langit malam yang dipenuhi bintang-bintang. Kemudian dering ponselnya berbunyi, ia segera mengangkatnya.

"Ya?"

"Saya harap, Anda tidak membawa penyerangan tadi ke meja hukum."

"Kenapa?"

"Itu hanya akan memengaruhi perkembangan perusahaan, tetaplah diam hingga Anda menguasai perusahaan itu sepenuhnya. Setelah itu, Anda bebas berbuat semau Anda."

"Dasar kotoran, aku sebenarnya tidak peduli sedikitpun dengan perusahaan itu. Jika kau terus menghalangiku seperti ini, aku akan mengakhiri kerja sama kita. Dan kau tau kan, apa yang akan terjadi jika semua itu kubongkar? Aku tidak peduli meski harus ikut terseret, ingat itu."

"Ini semua demi Anda, saya pun memiliki beberapa alternatif yang lebih tepat untuk membalasnya. Seperti membuatnya dipecat atau membuat reputasinya hancur."

"Untuk sekarang tetaplah diam, dia bukan prioritasku saat ini. Evelyn jauh lebih penting dari segalanya, kesempatanku sudah ada di depan mata. Aku tidak akan menyia-nyiakannya lagi."

Akmal mematikan teleponnya, berbicara dengan wanita penjilat seperti itu benar-benar menguras tenaganya. Namun, tak apa, selama Evelyn masih menjaga jarak dari Bram, kesempatannya masih terbuka lebar.

Ia perlahan berdiri, sedikit gemetaran dan seluruh tubuhnya kesakitan. Ia berjalan sedikit sempoyongan, kemudian masuk ke dalam mobilnya dan menghilang di keramaian jalan.

***

Evelyn telah sampai di depan kantor, di belakangnya ada Nadira yang baru keluar dari mobil. Keduanya berjalan ke dalam, mereka menyapa seperti biasanya, kemudian duduk di meja kerja masing-masing. Semua rutinitas sehari-hari berjalan normal, Akmal masih menolong Evelyn sesekali saat wanita itu kesusahan. Nadira juga tampak mendekat-dekatkan keduanya secara terang-terangan.

"Bapak Akmal, Ibu Evelyn dan Nadira. Kalian punya tamu di depan."

Ketiganya yang sedang asik bercanda terhenti seketika. Akmal memiringkan kepalanya, bertanya-tanya, siapa tamu yang menemui ketiganya. Namun, Akmal tidak ambil pusing dan segera menemui tamu tersebut. Di ekori oleh Evelyn dan Nadira.

"Siapa?" tanya Akmal sembari membuka pintu, wajahnya berubah menjadi datar saat tahu tamu yang datang adalah Bram. Entah apa maksud kedatangan pria itu, Akmal masih tidak habis pikir dengan kedatangannya.

"Siapa, Mal?--" Evelyn yang baru sampai pun terdiam setelahnya. Ia membuang wajah seketika.

"Bram?" Justru Nadira cukup terlihat santai dengan kedatangan pria itu. Ia memang tidak pernah mengira bahwa dia akan datang seperti ini.

"Ada perlu apa?" timpal Akmal mengambil alih, ia duduk tepat di hadapan Bram.

"Aku hanya ingin minta maaf atas keributan kemarin."

"Kemarin?" Akmal pura-pura tak tahu.

"Ya, maafkan aku semuanya. Evelyn, aku tahu kamu masih belum mau menemuiku, tak apa, tapi setidaknya terimalah permintaan maafku ini. Akmal, aku minta maaf telah memarahimu. Nadira pun begitu, aku minta maaf karena telah berbuat hal tak sopan mengabaikanmu kemarin."

"Bukan masalah." Nadira memaafkannya begitu saja, sementara Evelyn pergi setelah berkata 'ya'. Nadira mengejarnya, sekarang tinggallah Akmal dan Bram seorang di ruangan itu.

"Kau hanya minta maaf karena telah memarahiku? Kau tidak melupakan sesuatu?"

"Tidak." Bram menatapnya dengan tatapan sinis namun santai.

"Lalu bagaimana dengan ini? Ini? Dan ini?" Akmal memperlihatkan luka goresan hasil samsaknya semalam.

"Kau memang pantas mendapatkan itu."

Akmal mengangguk kecil. "Dan kau memang pantas diputuskan oleh Evelyn, seorang playboy sepertimu memang tidak pantas untuknya."

"Berhenti memprovokasiku, atau tidak kau akan menyesal."

"Kau yakin? Kali ini aku lebih bisa mempersiapkan diri dan membawanya ke rana hukum."

"Aku memang tidak sepintar dirimu mencari untung dari sisi hukum. Namun, kuingatkan satu hal, Evelyn tidak akan semudah itu berpindah hati."

"Itu karena kau tidak pandai merawat kasih sayangnya. Kau itu hanya pria egois yang mementingkan ego sendiri dan menganggap bahwa hubungan adalah hal remeh."

Bram menggertak meja cukup keras. Giginya rapat, "Jangan sok tau soal diriku. Kita memang pernah berteman, tapi soal hubungan percintaan, kau tidak mengetahuiku sedikitpun."

"Aku tahu, aku mengawasimu, aku bahkan mencatat wanita club mana saja yang kau kencani. Perlu kutelpon salah satunya?"

"Kau semakin melunjak ya."

"Aku sudah menantikan kesempatan ini sepanjang hubungan kalian. Dan kali ini, Evelyn benar-benar akan meninggalkanmu, ia tidak akan memandang ke arahmu lagi, ia hanya akan melihatku sebagai pria yang mencintainya."

"Kau tidak mencintainya, itu hanya obsesi semata."

"Tidak ada obsesi dalam percintaan. Cinta ya cinta, belajarlah untuk mengikhlaskan, sebelum kau menjadi gila dan frustasi karena tidak bisa melupakannya. Bersiaplah untuk masa-masa terburukmu."

"Aku tidak akan membiarkan itu terjadi, Mal. Jangan kau pikir, aku akan membiarkanmu begitu saja memasuki zona nyaman Evelyn tanpa ada rintangan."

"Aku menunggu tantangan itu." Kemudian Akmal beranjak dan pergi begitu saja setelah mengatakan, "Kalau basa-basinya sudah selesai, saya ijin undur diri, Dokter bedah umum, Bram Stoker."

***

It's Never Enough!!! [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang