"APA, Nad? Kamu serius cuti hari ini?" Evelyn yang sudah bersiap-siap hendak pergi kerja pun terhenti mendengar pengakuan itu. Memang, sejak pagi buta tadi, dia tampak santai dan berleha-leha di atas sofa panjang sambil mengemil menonton TV. Ia mengira kalau sahabatnya itu tengah malas saja untuk berangkat awal.
"Ya, aku serius. Kunci mobilnya ada di atas meja makan, tidak perlu isi bensin, kemarin aku sudah mengisinya."
Nadira berkata santai, ia tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun dari televisi ini. Ia melemparkan kacang itu ke udara dan tepat masuk ke dalam mulutnya. Begitupun seterusnya.
"Kalau begitu, aku juga ingin ambil cuti."
"Kau tidak bisa mengambil cuti hari ini, client yang kau handle hendak datang. Atau, silahkan saja cuti, dan kau akan mendengarkan ceramah panjang dan konsekuensi dari Pak Deddy."
Evelyn menghembuskan napas panjang, ia merasa jika semua ini sudah direncanakan oleh Nadira. Apa tujuannya? Kenapa ia memaksanya untuk datang ke kantor?
"Oke, tapi kuharap ini hanyalah kebetulan semata."
Ia pergi, sikap dingin yang Nadira tampilkan barusan benar-benar membuatnya menjadi overthinking berkepanjangan. Selama mengemudi, ia hampir beberapa kali menabrak pengendara motor yang ada di depannya. Akhirnya, ia memilih menepih untuk menenangkan kepalanya.
"Ah!!! Aku kenapa sih?!"
Ia menarik rambutnya, stress sekali, semuanya kacau, benar-benar kacau sampai ia sendiri tidak tahu harus memikirkan kekacauan yang mana. Berawal dari ide mabuk yang justru menambah parah keadaan, di tambah lagi Nadira marah terhadapnya. Lagi pula, ia baru terpikirkan sekarang, kenapa Nadira bersikeras mengatakan bahwa Akmal memiliki niat buruk terhadapnya?
Bukankah itu suatu fitnah? Maksudnya, hei, ayolah, kau tidak akan bisa menuduh seseorang tanpa bukti yang valid. Namun, Nadira tidak mungkin ngotot seperti itu tanpa alasan yang jelas.
Lagi, lagi, ia menghela napas setelah memikirkan semua kemungkinan itu. Kemudian ia menatap ke depan, menggeratkan cengkraman, menginjak pedal gas sekencang mungkin dan memotong banyak kendaraan yang sedang melaju di depannya.
Hanya ada satu orang yang harus Evelyn temui saat ini. Ia membelokkan arah mobilnya ke kanan, yang mana itu adalah arah berlawanan dari tempat kantornya. Ia terus seperti itu sehingga ia sampai ke sebuah rumah sakit.
Evelyn turun begitu saja, masuk dengan percaya diri dan menemui resepsionis yang sedang bertugas.
"Bisa panggilkan Dokter Bram Stoker? Katakan padanya, keluarganya datang."
"Keluarga ya, Kak? Saya pikir Anda itu istrinya." Si resepsionis itu senyam-senyum sendiri.
"Saya bukan istri Dokter Bram. Tolong ingat itu."
Evelyn membantahnya dengan ekspresi dingin.
"Ah, iya Kak." Resepsionis itu merasa tidak enak karena mengatakan hal yang salah. Kemudian ia segera menelpon ke ruangan dokter muda itu tetapi tak kunjung mendapati jawaban. "Sepertinya Dokter Bram sedang tidak ada di ruangannya, Kak."
Evelyn melirik jam tangannya. Menunjukkan pukul 08.30 pagi, "saya bisa menunggu. Tolong hubungi dia secara berkala, ada urusan yang cukup penting."
"Sepenting apa?" Sosok yang Evelyn cari sejak tadi muncul tepat di belakangnya, sedang mengenakan Jaz putih kedokteran dengan stetoskop tergantung melingkari tengkuknya.
Ia berbalik, menatap sosok itu dengan ekspresi yang datar. "Bisa kita bicara secara lebih pribadi? Tidak pantas rasanya membawa rana ini ke tempat umum."
"Tentu bisa. Silahkan, ikuti aku...." Bram berjalan duluan, Evelyn mengekorinya sepanjang lorong itu. Hingga ia menaiki anak tangga di samping gedung dan pergi ke rooftop yang disambut oleh semilir angin sepoi-sepoi yang menyejukkan.
Ia berbalik, menatap wanita itu.
"Kupikir kau sedang bekerja dan mesra-mesraan dengannya." Bram memulai serangannya.
"Aku tidak pernah melakukan hal intim ke dalam pekerjaan. Seorang wanita karir harus bisa memiliki prinsip itu dalam hidupnya."
"Ya, teruslah seperti itu. Oh, ya, ada apa menemuiku?"
"Hanya ingin menanyaimu satu hal, apa benar kau yang memengaruhi Nadira sampai ia membenci Akmal seperti itu?"
Pertanyaan konyol! Itulah yang terlontar dalam benak Bram setelah mendengar ucapan Evelyn. Ia memutar matanya malas, sejenak ia menunduk menahan tawa.
"Kenapa kau tertawa? Memangnya ada yang lucu?"
"Kau."
"Aku?"
Ia mengangguk sekali. "Iya, kau lucu sekali. Mungkinkah ini efek dari mabukmu waktu itu? Tidak kusangka efeknya akan menjalar ke pikiranmu."
"Berhenti berbelit-belit, Bram. Aku tidak punya waktu untuk meladeni sifat kekanak-kanakanmu itu."
"Siapa yang kekanak-kanakan? Justru kau di sini yang bertingkah seperti orang baru siuman. Mengigau tidak karuan."
"Cukup jawab pertanyaanku saja, Bram, tidak perlu berbelit-belit."
"Kau sudah tau jawabannya."
"Dan jawabannya adalah 'iya'. Bantah jika aku salah."
Bram kembali menahan tawanya. Ia merapatkan mulutnya agar tidak melengkung ke atas.
"Aku tidak sedang ingin bermain-main."
"Aku pun begitu." Bram sukses menghilangkan rasa ingin tertawanya.
"Kau tidak serius ya, Bram? Tolonglah kerja samanya. Ah, sudahlah, kau memang sengaja menghindari pertanyaan itu."
Evelyn berbalik, hendak pergi dari sana. Tiba-tiba Bram berkata, "Jawabannya adalah tidak. Jika aku melakukan itu, maka akan kulakukan padamu, bukan pada Nadira. Ia tidak berpengaruh terhadap apa pun."
"Jangan berbohong!" Evelyn kembali menolehnya. "Semalam, ia bertemu denganmu bukan? Sebelumnya, ia tidak pernah mengatakan hal seaneh itu."
"Hal aneh? Bukannya itu fakta, Lyn? Tidak seperti dirimu yang tidak percaya sedikit pun dengan fakta lewat mulut, Nadira bisa mencerna yang ia terima, kemudian dia pikirkan, dan selanjutnya ia tahu apa yang sebenarnya terjadi bahkan jika ia tidak ada di sana sekalipun."
Ternyata benar, Bramlah pelaku dibalik sifat Nadira yang sangat aneh akhir-akhir ini. Evelyn merasa ini tidak benar, tidak ia sangka jika Bram akan melakukan hal selicik ini demi menyingkirkan seorang Akmal. "Kumohon, Bram, jangan pengaruhi siapapun lagi, aku tidak ingin membuat semuanya semakin kacau, dan membencimu lebih dari ini."
"Maaf, Evelyn, aku tidak akan mundur selangkah pun untuk itu. Kau saat ini dalam genggamannya, wajar saja jika kau berkiblat kepadanya, tapi aku percaya dan yakin suatu saat nanti, kau akan sadar betapa buruknya dia."
"Sudahlah, aku mulai muak dengan setiap kata-kata yang kau lontarkan, Bram. Aku pamit."
Evelyn melangkah pergi, meninggalkan pria itu sendirian di atas rooftop rumah sakit. Dalam sakunya, Bram mencekam keras jemarinya, ia sangat kesal dengan sifat keras kepala yang Evelyn tunjukkan. Ternyata sesulit ini menembus pertahanan yang ia bentuk. Harusnya, ia bisa saja membiarkan mantannya itu menghancurkan dirinya sendiri, tapi hati kecil Bram tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Sebisanya, ia hadang, meski harus memakai cara kebencian sekalipun.
Menurutnya, lebih baik wanita itu membencinya lebih dari siapapun ketimbang melihatnya jatuh ke dasar jurang yang menakutkan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
It's Never Enough!!! [REVISI]
RomanceSeolah tersadar dari kesalahan masa lalu. Evelyn tidak akan memaafkan perbuatan bejat Bram lagi. Bisa-bisanya dia menyentuh mahkota perempuan bersuami, terlebih Evelyn mengenal selingkuhannya kali ini. Tapi, tak disangka, bukannya mengakui perbuata...