APA lagi yang Pria itu lakukan? Pikir Evelyn saat dirinya bersama Akmal dan Nanda pergi ke meja kasir. Dari kejauhan, terlihat seseorang yang menunggu di depan meja kasir. Tak perlu ditebak, Evelyn sudah tahu persis punggung pria itu. Ia hanya tak habis pikir, kenapa pria berkarisma sepertinya harus komplen untuk masalah sekecil ini?
Nanda mengambil alih pelayanan, ia kemudian menyapa pelanggannya kemudian meminta penjelasan apa ada yang salah dengan menunya?
"Pelayanmu salah memberiku jenis ramen." Ia menggeser nampan berisi ramen tersebut. Dengan wajah datarnya, ia berdecak kesal. "Aku tau restoran ini masih baru, tapi bukan berarti orang yang mencoba makan di sini harus menormalkan kesalahan seperti itu."
"Ah, baik, kalau begitu, ijinkan kami memberikan ramen yang baru, yang sesuai dengan apa yang Bapak mau."
"Tidak perlu." Kemudian Bram mengeluarkan dompetnya dan membayarkan sejumlah uang di atas meja. "Kali ini kumaklumi, tapi aku harap tidak terjadi lain kali, itupun jika aku masih mau menginjakkan kaki di sini."
Setelah berkata demikian, ia langsung pergi tanpa menunggu respons dari pemilik restoran itu. Ia melirik sesaat ke arah Evelyn dan Akmal yang tak jauh dari sana, tetapi ia seolah tak melihat keduanya, memilih untuk mengabaikan rasa kesal dalam hatinya.
Nanda menghela napas lega. Ia benar-benar merasa seperti kena serangan jantung barusan. Tak ia sangka, dengan wajah datar dan omongan yang cukup pedas, sudah membuat dirinya kena mental.
Keduanya mendekat, Akmal berkata. "Aku minta maaf jika perilakunya seperti itu. Mungkin harinya sedang buruk atau ada masalah dengan pekerjaannya."
Nanda menjawab, "Memangnya dia bekerja sebagai apa?"
"Dokter bedah di rumah sakit tak jauh dari sini."
"Benar-benar kasar. Tak bisa kubayangkan wajah pasiennya jika bertemu dokter dengan wajah datar seperti itu."
"A...." Hampir Evelyn memotong ucapan Nanda, habisnya ia merasa jika yang diucapkan olehnya itu tidaklah benar. Bram sangat menyayangi setiap pasien yang ia tangani. Namun, ia segera sadar dengan posisinya sekarang. Ia dan Bram bukanlah apa-apa, ia hanya tak lebih bagian dari masa lalu kelam pria itu.
"Kenapa, Lyn? Apa kamu barusan mau berbicara?"
Evelyn menggeleng cepat, ia tersenyum canggung. "Tidak, tidak, tadi lidahku bergerak sendiri, aku pun bingung harus bersikap seperti apa."
"Ya sudah, kalian berdua kembalilah ke meja makan kalian. Aku tidak enak hati sudah membuat suasananya kacau begini. Aku harus pergi ke bagian dapur dan mencatat saran yang dia berikan tadi. Dah!"
Ketiganya berpisah, ia dan Akmal kembali menikmati ramen itu. Namun, kali ini tidak ada obrolan apapun, keduanya berfokus menikmati ramen yang sudah mereka pesan. Hingga saat hendak melakukan pembayaran, Akmal menghentikannya.
"Kamu tunggu di sini aja, Lyn, aku mau sekalian pesan beberapa bungkus sushi."
"Ah, iya."
Akmal pergi ke kasir, ia menunggu sesaat, kemudian menerima plastik belanjaan yang dalamnya adalah beberapa porsi Sushi.
"Yuk pulang," ajak Akmal setelah dari kasir.
Evelyn terkejut. "Eh? Tapi kan--"
"Tadi sekalian aku bayarin. Gak papa lah ya, soalnya lagi diskon. Jangan merasa nggak keenakan kayak begitu. Kan aku yang ngajak ke sini, berarti sudah tanggung jawabku untuk mentraktirmu."
"Kalau begitu, terima kasih banyak." Evelyn malu-malu, ia perlahan bangkit dari tempatnya dan berjalan di samping Akmal. Menuju parkiran.
Akmal mengeluarkan mobil dari parkiran, mereka menuju pulang, pertama ia akan menghantarkan Evelyn ke rumah mereka. Perjalanannya cukup lancar, hanya beberapa kali lampu merah dan mobil yang cukup padat.
"Kalau begitu, aku pulang dulu, Mal. Makasih udah nganterin aku pulang." Evelyn melepas sabuk pengamannya, kemudian membuka handle pintu dan keluar dari mobil. Belum dua detik ia turun dari mobil, matanya membesar sebab melihat kehadiran seseorang yang menunggu di teras rumahnya.
"Kenapa, Lyn?" Akmal juga ikut memandang ke arah yang sama, ia juga cukup terkejut melihat kehadiran pria itu. Kemudian ia memutuskan juga ikut turun dari mobilnya.
"Kenapa?"
"Sudah, jangan kau hiraukan. Berjalanlah masuk seolah tak melihat siapapun di sana. Aku tau tak sepantasnya berbicara seperti ini, tetapi jika kau merasa harus menghindar darinya, itu hanya akan membuatmu terlihat lemah di matanya."
Akmal memegang jemari Evelyn dan mengaitkannya dengan plastik belanjaan tadi. "Masuklah, kemudian berikan makanan ini ke Nadira. Aku yakin dia akan sangat senang, aku akan pergi jika kau sudah masuk ke dalam rumah."
"Aku tak tahu, apakah aku bisa menghadapinya, Mal. Rasanya kakiku enggan melangkah ke arah sana."
"Apa mau aku bantu masuk ke dalam rumah? Baiklah, sini." Akmal melingkari tangannya di bawah bahu Evelyn dan menuntunnya mendekati teras rumahnya.
"Evelyn!" Bram beranjak dari kursi panjang itu dan hendak menghampiri keduanya.
"Bram, kau tidak lihat kondisinya saat ini? Dia cukup tertekan sekarang, tolong pengertiannya. Kudengar juga hubungan kalian sudah kandas. Jadi, tolong jangan ganggu Evelyn lagi."
"Kau tidak berhak ikut campur, Akmal."
"Kau juga tidak berhak menganggu kehidupan damai yang sedang Evelyn rasakan."
"Cukup!" Akhirnya Evelyn bersuara di tengah rasa cemasnya. Ia tak tahu kenapa, tapi ketika melihat Bram, rasanya sesak sekali, seolah ia memiliki gangguan pernapasan. "Ingat permintaan terakhirku, Bram, jangan muncul di hadapanku sebelum aku memintamu datang ke hadapanku."
"Aku tahu, tapi aku tak mampu, Evelyn!"
"Mampu tidaknya dirimu tidak ada kaitannya denganku, Bram. Saat ini, kau seperti monster yang siap menyerangku kapan saja. Aku merasa tidak nyaman, dan tetaplah menghilang seperti yang kau lakukan sebulan ini."
"Evelyn, setidaknya dengarkan--"
"Berhentilah memaksanya, Bram, kau hanya akan membuatnya semakin takut padaku."
"Sudah kubilang jangan ikut campur urusan kami." Bram bernada tinggi, emosi sudah menguap-nguap di kepalanya. Di sentuh sedikit lagi, dinding sabar Bram akan pecah, selayaknya kaca yang berserakan.
"Kalian berdua cukup!" Evelyn menurunkan tangan Akmal dari lengannya. "Terima kasih banyak untuk sushinya, Mal, aku akan masuk dan menyerahkannya ke Nadira. Dan untukmu, Bram, tolong pergilah dari sini, apapun yang kau katakan, itu tak akan merubah apapun. Aku masih belum mau melihat wajahmu."
"Kau dengar itu? Pergilah dari sini." Akmal menyuruh Bram pergi dengan tangannya.
Bram mengepal erat tangannya, rahangnya mengeras, sorot matanya menatap tajam Akmal yang berdiri di samping Evelyn. Kemudian ia tersadar dan hampir saja tersulut oleh emosi yang akan membuatnya semakin buruk di mata Evelyn.
"Baiklah jika itu yang kau mau. Aku pergi dari sini, Evelyn. Semoga itu membuatmu bahagia dan kenyamananmu kembali damai."
Bram membalik badannya perlahan, ia pergi dari sana. Meninggalkan dua orang itu dengan emosi yang sangat luar biasa marahnya.
"Kamu pun begitu, Mal, pulanglah, sekarang aku sudah aman."
"Baiklah, jaga dirimu baik-baik, Evelyn, aku berharap yang terbaik untukmu."
"Dah!" Evelyn melambaikan tangannya saat Akmal melajukan mobilnya pergi dari sana.
"..."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
It's Never Enough!!! [REVISI]
RomanceSeolah tersadar dari kesalahan masa lalu. Evelyn tidak akan memaafkan perbuatan bejat Bram lagi. Bisa-bisanya dia menyentuh mahkota perempuan bersuami, terlebih Evelyn mengenal selingkuhannya kali ini. Tapi, tak disangka, bukannya mengakui perbuata...