"AKMAL!"
Ia memergoki Akmal yang sedang bermain gawainya di depan teras rumah. Ia menoleh, mendapati sosok perempuan sedang menatapnya dengan tatapan sedikit menyeramkan.
"Apa?" Respons pria itu ringan, ia masih belum mengerti situasi. Dia pikir, raut wajah ekspresi seolah sedang naik pitam itu hanyalah efek bangun tidur saja.
"Berani-beraninya kau, Akmal!" Nadira mendatanginya, memaksanya beranjak dari kursi teras itu. Tangannya menggenggam erat kerah kemeja biru muda itu.
"Apa yang--" ia menatapnya dengan tatapan heran. Kenapa dia bisa se-barbar ini. Apa yang sedang terjadi?
"Nad! Hentikan." Evelyn datang dari dalam rumah dan berusaha menghentikan aksi sahabatnya yang diluar nalar itu.
"Nggak, Evelyn. Dia harus dikasih pelajaran."
"Ada apa, Lyn?" Akmal memutuskan beralih kepada Evelyn, dengan kondisi yang seperti ini, ia tidak akan mendapatkan jawaban dari perempuan tersebut.
"Nadira mengira kalau kau mencabuliku, Mal."
"Apa?!" Kedua alis Akmal terangkat, kemudian ia beralih pandang. "Nad, apa penyebabnya kau menuduhku seperti itu?"
"Itu sudah jelas, bukan? Kau semalam menculik Evelyn ke rumahmu kan? Dasar cabul!" Nadira mengangkat tangannya lebih tinggi.
"Aku tidak menculiknya. Lepaskan tanganmu, aku mulai kesulitan bernapas!"
"Nad, sudah. Coba dengarkan dulu alasan Akmal. Nanti kau akan mengerti kok."
Nadira mendengus dingin dan melepaskan tangannya dari Akmal. "Oke. Jelaskan padaku sekarang."
Akmal merapihkan bajunya yang mulai tidak beraturan. Ia menatap Nadira dengan tatapan kesal. "Dengar ya, Nad! Aku tidak mungkin menculik Evelyn, apalagi dia ini teman sekantor kita. Aku tidak sebodoh itu."
"Justru itu, Mal!" Nadira menolak pernyataan Akmal barusan. "Kau jadikan hal yang sekiranya tidak masuk akal seperti itu sebagai tameng. Orang-orang mungkin akan berpikir jika kau tidak akan mungkin melakukan hal sebodoh itu. Tapi nyatanya, kau pasti sedang beraksi."
"Kau ngelantur. Sana, cuci wajahmu. Semua kata-kata yang kau ucapkan sama sekali tidak benar."
Akmal berniat pergi, tapi Nadira langsung menamparnya dengan kasar. Pipi kiri Akmal langsung memerah karena tamparan itu. Sedangkan mata Evelyn langsung terbuka lebar melihat adegan itu. Akmal kembali menatapnya dengan ujung mata.
"Nad!" Evelyn segera menahan tubuhnya, tubuhnya langsung gemetaran hebat. "Apa yang kau lakukan? Cepat minta maaf."
"Kau buta ya, Lyn?! Dia baru saja menghindari dari pertanyaanku. Itu berarti, dia memang sedang berniat jahat padamu."
"Nggak, Nad. Akmal nggak berniat jahat sama aku. Dia baik, kok."
Nadira mendengus dengan bibir terangkat. "Udah berapa kali kata itu kau ucapkan saat bersama Bram dulu?"
"Tapi ini beda, Nad. Kamu tuh udah salah sangka sama Akmal."
"Aku pergi, Lyn, kayaknya ada yang nggak senang sama keberadaanku di sini." Akmal berlalu begitu saja, memasuki mobilnya dan melaju meninggalkan area rumah itu.
"Pantes sih, Bram segampang itu selingkuhin kamu, Lyn. Kamunya buta kayak gini. Kalau tau sifat kamu lemah kayak gini, sampai mati pun nggak bakal aku ijinin dia ngurusin kamu. Dalam keadaan mabuk sekalipun."
"Kamu belum dengar penjelasan dari Akmal, Nad. Jangan ngejudge orang begitu saja tanpa adanya bukti."
Nadira menghela napas kesal. "Terserah kamu deh, Lyn. Udah jelas-jelas ada kesalahan di depan mata masih aja nggak sadar. Cape aku tau!"
"Nad." Ia menahan kepergian sahabatnya. "Kamu berpikir kayak begitu, itu karena kamu belum dengar penjelasannya aja."
"Ya!" Nadira melepaskan genggaman tangan Evelyn di lengannya. "Silahkan dengarkan saja dia. Aku pergi."
"Nad." Evelyn memanggilnya lirih, ia tidak mengharapkan kejadiannya akan semakin rumit lagi. Semakin ia ingin memperbaiki masalah, kenapa masalahnya semakin berbelit-belit? Kenapa sebuah kesalahpahaman kecil bisa berakibat separah ini. Harusnya tidak seperti ini! Evelyn tertunduk pasrah.
"Evelyn."
Ia menoleh, mendapati Amalia sedang menatapnya dari dalam rumah.
"Ya, Mbak?" Evelyn berusaha tersenyum sebisanya, ia tidak ingin menampilkan kesedihan dan menutupinya serapat mungkin.
"Kenapa kau sendirian di sana? Tadi aku mendengar percakapan yang ramai, kemana semua orang?"
"Oh, itu, Mbak. Tadi Akmal pergi karena ada urusan, Nadira juga katanya mau nelpon seseorang." Evelyn berbohong, ia sampai selancar itu mengucapkan kalimat yang tidak pernah ada.
Amalia mengangguk paham. "Ayo, masuk, Lyn. Sebentar lagi makan siang. Aku sudah masak beberapa makanan kesukaanmu."
"Ah, iya, Mbak. Nanti Evelyn masuk ya, sekarang lagi pengen menghirup udara segar."
"Ya, mari." Amalia masuk ke dalam. Beralih menatapnya lewat jendela. Ia tersenyum miring sambil melihat Evelyn yang masih berdiri sendirian di teras rumahnya.
***
"Maaf banget karena udah bikin Mbak kerepotan kayak gini. Apalagi Mbak sedang hamil." Evelyn duduk di salah satu kursi meja makan bundar itu. Di sebelah Amalia ada Bram yang sedang mengambil beberapa centong nasi.
"Ah, sudahlah, aku tidak merasa direpotkan. Lagi pula, ini masih tergolong kehamilan muda. Dan juga, banyak bergerak untuk ibu hamil itu bagus. Iya, kan, Bram?" Amalia tiba-tiba menyenggol sikut pria itu.
"Ah?" Bram gelagapan, pasalnya ia tidak begitu menyimak percakapan keduanya. Hatinya fokus ke adegan beberapa saat lalu. Ia ingin muncul, tapi karena situasinya tidak mendukung, jadi ia putuskan untuk menyimak secara diam-diam. "Iya, yang dikatakan Amalia itu benar."
"Tuh kan, dokter aja udah mengakui."
Evelyn tersenyum tipis. "Iya, Mbak, makasih banyak atas tipsnya."
"Ngomong-ngomong, Nadira kok belum balik ya?" tanya Amalia iseng.
"Mungkin masih nelpon, Mbak."
"Ah, masa nelpon selama ini. Coba aku telpon ya."
Mati aku! Bagaimana jika Nadira mengatakan bahwa ia sedang kesal karena menaruh curiga pada Akmal?! Padahal Evelyn ingin menutupi kejadian tadi dan menguburnya rapat-rapat.
Telepon tersambung, jantung Evelyn berdetak lebih kencang. Ia menatap lurus dan memasang telinganya agar lebih peka dengan suara dari telepon itu.
"Hallo, Nad?"
"Iya, Kak?"
"Kamu dimana ya? Kok belum datang ke sini? Kami udah mulai makan loh."
"Aduh, maaf, Kak, aku lagi di luar, ada urusan sedikit."
"Wah, kamu ini. Seharusnya bilang kalau mau pergi ke luar. Jangan ngilang seperti itu. Nanti kejadian dulu terulang lagi." Kejadian yang Amalia maksud adalah kejadian saat dirinya sengaja menghilang.
"Iya, Kak, Nadira minta maaf. Oh, iya, tidak perlu menungguku, Kak. Aku mungkin akan datang sedikit sore. Jadi, aku makan di luar saja."
Setelah mendengar penjelasan Nadira. Ia merasa lega, setidaknya Amalia tidak akan menanyai soal siapa yang ia telepon tadi.
"Hem, begitu." Amalia mengangguk. "Ya sudah, kalau begitu kami makan dulu ya."
"Iya, Kak."
Telepon terputus. Amalia meletakkan gawainya dan mulai fokus pada makanannya. Sedangkan Evelyn menghela napas lega, ia akhirnya bisa menyuapkan makanan itu ke mulutnya dengan perasaan yang cukup tenang. Hanya Akmal yang menjadi beban pikirannya saat ini. Bagaimana caranya ia bisa membuat keduanya berdamai kembali? Bagaimana caranya menghilangkannya kecurigaan Nadira terhadap Akmal?!
***
KAMU SEDANG MEMBACA
It's Never Enough!!! [REVISI]
RomanceSeolah tersadar dari kesalahan masa lalu. Evelyn tidak akan memaafkan perbuatan bejat Bram lagi. Bisa-bisanya dia menyentuh mahkota perempuan bersuami, terlebih Evelyn mengenal selingkuhannya kali ini. Tapi, tak disangka, bukannya mengakui perbuata...