30

45 15 5
                                    

TOK! TOK! TOK!

Pintu diketuk tanpa suara, membuat Nadira yang tengah bersantai pun harus menyudahi kesenangannya. Ia segera memasang sepasang sendal rumah itu dan berjalan ke arah pintu depan. Tanpa rasa curiga, ia buka pintu itu dan mendapati sosok yang cukup mengejutkan.

"Akmal?!" Cepat-cepat ia tutup kembali pintu, tetapi pria itu berhasil menahannya dengan ujung kaki. Nadira terus menekan pintu dan membuat penderitaan Akmal bertambah. Namun, ia pura-pura kuat dan seolah tidak merasakan kesakitan sedikit pun.

"Nadira, bisa kita bicara sebentar?"

"Pergi! Pergi! Kau tidak akan mendapatkan apapun, Evelyn tidak akan jatuh ke tanganmu."

"Atas dasar apa, Nad?" Akmal masih berada di posisinya, semakin lama, tekanan yang Nadira lakukan semakin membuat kakinya kian mati rasa.

Kemudian tekanan itu meredah, pintu sudah terbuka kembali, Akmal mendapati wanita yang diam di tempat sambil menundukkan kepalanya.

"Nad?" Ia coba memanggilnya perlahan, sedikit menyeramkan, dengan rambut acak-acakannya, ia berhasil membuat bulu kuduk Akmal berdiri.

"Kenapa kau tidak kunjung mengerti?" Nadira berkata lirih.

Akmal memiringkan kepalanya, kebingungan. "Apa maksudmu?"

"Mustahil tidak ada sesuatu, Mal, logikaku menolak dengan keras pernyataan itu. Kau pria, tapi bukan berarti kau tidak memiliki nafsu yang akan membawa Evelyn ke alam kegelapan dalam hidupnya. Jika itu terjadi, dia mungkin tidak akan bisa memasang wajah bodoh tersenyumnya."

"Apa yang kau katakan sejak tadi? Nafsu? Walaupun aku memiliki nafsu terhadapnya, aku akan terus bertanggung jawab atas dirinya, lahir dan batin." Akmal mencoba mendekat, tetapi Nadira mundur menjauh, menjaga jarak.

"Kalau begitu, mau ditaruh dimana wajah Evelyn? Apa yang harus ia katakan pada keluarganya?! Menikah karena dihamili teman sekantor, begitu? Setidaknya, jika kau benar-benar mencintainya, jaga dia sampai ia benar-benar jadi milikmu, Mal. Semenjak kalian dekat, aku mulai merasakan niat terselubung terhadapmu."

"Mungkin saja kau benar, tapi jika memang seperti itu, maka kau kuijinkan untuk melakukan apapun terhadapku. Mungkin semua yang kau katakan padaku, 'lelaki brengsek, cabul' itu benar adanya."

Nadira berbalik, ia mulai tidak bisa menahan tetesan air matanya yang mulai berjatuhan. Akmal yang melihat itu pun ikut tertegun sejenak, kenapa ia merasa bersalah sekarang?

"Nad." Akmal hendak memegangi pundaknya agar rasa sedih yang dialami olehnya bisa berkurang, tapi niatnya itu ia urungkan karena merasakan keraguan. Ia akhirnya hanya menghela napas pelan, kemudian ia hendak beranjak pergi.

"Evelyn ada di kantor." Nadira sekuat mungkin menenangkan ucapannya, ia tidak ingin ketahuan jika sedang tersedu-sedu menangis.

"Aku tau," jawab Akmal, "setelah urusan di kantor selesai, aku ingin kita membicarakan hal ini dengan lebih baik lagi. Aku merasa kau masih mencurigaiku. Kalau begitu, aku pergi, Nad."

Nadira masih tetap pada posisinya bahkan setelah mobil Akmal pergi menjauh dari pekarangan rumah sekalipun. Ia terjatuh, menangis sejadi-jadinya, apa yang salah dengannya. Ia merasa kesal, menyesal, gelisah dan merana di saat yang bersamaan. Ia sendiri bingung mengekpresikan apa yang sedang ia rasakan. Seolah ada sebuah teka-teki yang harus ia pecahkan.

"Itu melenceng dari rencana." Suara dari telepon itu berbicara di dekat telinga Akmal yang sedang mengemudikan mobil.

"Aku tidak tahu apa saja rencana yang sudah kau siapkan, tapi jika itu menyakiti seseorang, aku pastikan akan membongkar kejahatan itu."

Perempuan itu mendesah kesal. "Jangan bodoh! Sudah berapa kali aku bilang, cukup ikuti saja petunjuk dariku, Anda tinggal menjalankan saja, semuanya sudah tersusun sempurna."

"Aku tidak akan berada dibawah kendalimu, aku yang memutuskan akan menjalankan rencana itu atau tidak. Kau lama-lama semakin ngelunjak ya?" Akmal mulai kesal berbicara dengannya, ia paling benci ketika harus melakukan sesuatu yang tidak ingin ia lakukan.

"Ini semua demi Anda."

"Bukan, ini bukan demi aku, tapi demi keuntunganmu sendiri. Aku juga menyetujui rencana itu hanya karena menguntungkan diriku, jadi tidak perlu ada kemunafikan diantara kita. Sudahi dahulu, aku sudah hampir mendekati kantor."

"Wanita itu juga sudah mendekati kantor, ia baru datang. Sepertinya ia pergi ke suatu tempat."

"Kau membuntutinya?!" Akmal bertanya cepat, ia mencekam keras backdoor teleponnya, menantikan jawaban dari penelpon itu. Namun, tiba-tiba suara perempuan itu mendadak senyap. "Aku tanya, apa kau membuntutinya?!"

Terdengar suara gemericik di panggilan telepon itu, Akmal menatap teleponnya sesaat, memastikan jika panggilan itu masih terhubung. "Jawab!"

"Iya."

"KEPARAT!" Ia melempar telepon itu dengan kasar, kemudian mengambilnya kembali, panggilan masih terhubung. "Katakan sekali lagi. KATAKAN!"

"Aku mengirim seseorang membuntutinya."

"YA! PEREMPUAN KURANG AJAR." Akmal berteriak kencang dalam mobilnya, ia menepih ke pinggir jalan raya dengan emosi yang meluap-luap. "Aku sudah peringatkan untuk tidak mengganggunya, kan?! Kenapa kau-- AH!"

"Aku punya alasanny--"

Lagi-lagi Akmal melemparkan smartphone nya sembarang arah hingga layar telepon itu sudah tidak berfungsi lagi, panggilan terputus. Ia berdecak kesal. "Kubunuh kau, lihat saja! Aku akan membunuhmu saat ini juga."

Ia putar arah, memotong jalur yang berlawanan, hampir menabrak sejumlah kendaraan dengan kecepatan yang sangat tinggi. Ia bahkan tidak bisa berpikir jernih untuk sesaat. Emosinya meluap-luap, tidak terkendali, yang ada di pikirannya hanyalah kemarahan semata.

Ia ingat betul perjanjian rencana itu, bahkan ucapan Perempuan itu masih terngiang jelas di otaknya. Bagaimana-- bagaimana mungkin bisa ia lakukan itu padanya sekarang?! Akmal tidak akan menerima kesalahan lagi.

Pantas saja perempuan itu selalu tau apa yang terjadi, ia juga sepertinya sedang melakukan sesuatu yang buruk terhadap Evelyn. Akmal tidak akan tinggal diam, selama ini dia hanya berdiam diri dan menuruti semua yang perempuan itu inginkan, tetapi sekarang tidak lagi.

Perasaannya pada Evelyn, tulus apa adanya, tidak ada rasa dusta sedikit pun. Ia memang menyukai wanita itu sejak pandangan pertama saat ia bertemu dengannya di kantor. Saat itu, usia keduanya masih 24 tahun dan baru memasuki dunia kerja.

Namun, Akmal mencoba mengalah dengan temannya—Bram—dan menunggu kesempatan mereka putus, tetapi sebaik apapun sikap Akmal terhadapnya, tetap saja Evelyn tidak peka sedikit pun dengan kehadirannya. Seluruh jiwanya hanya memikirkan Bram semata, ia bahkan tidak memandang Akmal sedikit pun. Matanya benar-benar sudah dibutakan oleh Bram yang hampir setiap saat melukai perasaannya.

Pria mana yang bisa terima perlakuan itu terhadap pujaan hatinya. Meski Akmal harus bermusuhan dengan temannya sekalipun, ia tidak merasa keberatan, ia bahkan rela jika harus menghabisi temannya itu agar Evelyn bisa hidup tenang. Dan sekarang, kesempatan hadir di tengah-tengah keduanya, tetapi muncul penghalang lain yang mengancam tali hubungan keduanya. Ia hanya berniat jahat untuk para pengacau.

***

It's Never Enough!!! [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang