16

92 17 12
                                    

CLEK!

Pintu terbuka setengah, Nadira segera menarik tangannya hingga masuk ke dalam rumah dan segera mengunci pintu. Ia bernapas lega setelah itu, ia tatap sahabatnya itu dan meraba-raba sekujur tubuhnya.

"Kau tidak apa-apa kan, Evelyn? Aku sedikit histeris mendengarmu berteriak tadi. Kupikir si brengsek itu sudah berani main tangan! Maafkan aku ya, aku terlalu pengecut untuk mengusirnya."

"Jadi, dia sudah ada di sini sejak kau pulang?"

Ia mengangguk. "Dia juga sudah kuberitahu soal dirimu yang sedang di luar rumah, tetapi dia tetap bertekad untuk menunggu. Wajahnya kusut, ia seperti marah tapi tertekan juga. Aku sedikit pun tak mengerti dengannya."

"Kami tadi bertemu di Mall."

Nadira yang mendengar itu langsung syok berat! Ia segera mengekori Evelyn yang meletakkan sushi itu di atas meja makan. Mulutnya terbuka lebar dan matanya menyorot seolah tak percaya dengan apa yang barusan dia dengar.

"Ka, kau tidak bercanda kan, Lyn? Bagaimana bisa takdir selucu ini? Bukankah itu suatu hal yang tidak mungkin? Kau tau, mungkin dia membuntutimu sebelumnya? Iya kan!"

Nadira menerka-nerka, ia merasa bertemu Bram di tempat seramai itu bukanlah sesuatu yang kebetulan. Bisa jadi Bram sudah mengikuti mereka sejak di kantor dan memanipulasi keadaannya seolah-olah dia sudah ada di sana sebelum mereka.

"Sepertinya tidak, Nad. Dia juga sama terkejutnya dengan kami. Oh ya, makanlah sushi itu, aku tadi sudah memakannya saat di Mall, rasanya cukup enak ... dan maaf tidak bisa membawakanmu ramen, tidak tersedia take away."

"Ah, sudahlah, Lyn, jangan terlalu dipikirkan. Aku bisa mendatanginya saat ini juga kalau mau, tapi mau bagaimana pun, terima kasih telah membawaku sushi ini, aku suka rasanya."

"Baguslah. Sepertinya pilihan Akmal memang cocok untukmu. Lain kali, datanglah ke sana dengannya, sejujurnya aku tidak terlalu suka makan ramen maupun sushi."

"Ya, baiklah." Meski begitu, dalam hatinya, Nadira sangat menentang ucapan itu, jika dia yang pergi bersama Akmal, maka rencananya untuk mendekatkan dia dan Akmal otomatis gagal. Namun, Nadira juga tidak bisa bohong betapa nikmatnya Sushi yang tengah ia konsumsi saat ini. Mulutnya bahkan tak bisa berhenti menguyah.

"Kalau begitu, aku ke kamar dulu."

"Ehm!!!" Nadira menahannya dengan ujung sumpit yang ia gunakan untuk makan sushi, ia menatap lurus Evelyn yang sudah bersiap-siap ke kamarnya.

"Man, di!" Ia menelan sushinya terlebih dahulu sebelum melanjutkan bicaranya. "Kau udah lupa ya sama peraturan rumah kita? Sebelum tidur itu, wajib mandi, apalagi dari luar gitu. Aku nggak mau tau, pokoknya kudu mandi sebelum tidur."

"Ayolah, Lyn, mager rasanya aku mau mandi, besok aja ya."

Ia menggeleng cepat. "Gak ada besok-besok, sekarang!"

Evelyn memajukan mulutnya, "Ya sudah, iya, iya, aku mandi."

"Good job!" Nadira memberinya dua jempol.

Ia meneruskan makannya, tetapi di tengah kunyahannya, tiba-tiba nada pesan masuk berbunyi. Ia segera mengambil teleponnya kemudian meng-klik pesan tersebut.

Amalia:
Kabarku baik-baik saja, Nadira. Kau tak perlu khawatir, aku sudah berkompromi dengan suamiku, dia tidak keberatan sedikit pun. Bagaimana dengan Evelyn dan Bram? Mereka masih bertengkar? Haruskah aku turun tangan lagi untuk mendamaikan mereka? Tidak, itu bercanda, yang ada aku hanya akan membuatnya semakin kacau. Aku ingin main-main ke kantor lagi, tunggu kehadiranku ya. Tapi aku tidak bisa janji.

Setelah membaca pesan itu, Nadira segera membalasnya, ia mengetik sambil sesekali menyuapi sushi ke mulutnya. Ia terus berkirim pesan hingga tak menyadari jika Evelyn sudah ada di depannya, sudah mengenakan pakaian tidur sama seperti dirinya, hanya berbeda di gambar, punyanya bertema hello Kitty sedangkan Evelyn berwarna biru penuh dengan kepala Doraemon.

"Oh, kau sudah selesai mandinya? Cepat juga."

"Padahal aku menghabiskan waktu 30 menit, apa itu terlalu cepat untukmu?"

"Ah, iyakah? Entahlah, tapi aku merasa seperti waktu yang sebentar. Ya sudahlah, malam ini apakah kau memiliki agenda?"

"Agenda?"

"Iya, agenda. Seperti curhat, atau begini saja. Ceritakan bagaimana Bram ada di sana! Kau tau, aku sungguh penasaran dengan hal itu." Nadira sampai menyudahi chattingannya dan membalik layar teleponnya.

"Oh, itu bukan cerita menarik untuk diceritakan."

"Tetap saja, aku penasaran, Lyn. Tolong ceritakan, sedetail-detailnya."

Evelyn menghela napas panjang sebelum akhirnya ia mulai menceritakan kejadian siang tadi. "Kami datang ke Mall, ke sebuah restoran milik temannya Akmal, di sana ada promo untuk makan berdua sampai bertiga, aku tak tahu apa yang ada di pikiran Bram, tetapi ia ke sana dan makan sendirian--"

"Fix, dia penguntit."

"--dengar dulu, cuma semuanya berjalan damai dan kami duduk di meja masing-masing. Kemudian saat tengah mengobrol dengan pemilik restorannya, namanya Nanda kalo nggak salah. Tiba-tiba pelayannya datang dan bilang ada costumer yang komplen, dan itu si Bram tadi. Si pelayannya salah kasih ramen, itu buat Bram marah dan pergi dari sana dengan kesal. Aku hanya memandanginya dari jauh kemudian suasana kembali tenang, hingga saat aku kembali, ia sudah ada di sana, menungguku di depan pintu."

"Cerita yang sangat diluar nalar."

"Lalu, bisa kauceritakan bagaimana dia ada di sini?"

"Ceritanya singkat. Aku tidak tahu-menahu, begitu aku tiba di rumah setelah mengerjakan tugasku, tiba-tiba ia sudah duduk di kursi teras rumah, aku ingin menegurnya tetapi ia bahkan tak menyadari kehadiranku. Aku tanya ada apa kemari, kemudian dia menjawab, 'menunggunya' dengan raut wajah yang gelisah. Dan berdasarkan cerita yang kau katakan tadi, sepertinya penyebab dia gelisah itu karena melihat kalian berduaan kan? Mungkin juga dia di bakar rasa cemburu yang dimana ia sampai melakukan hal gila seperti tadi."

"Aku sudah benar-benar tak tahu harus bersikap bagaimana terhadapnya, Nad. Sebulanan ini, aku tidak bisa tidur nyenyak, dalam mimpiku pun, aku melihatnya sedang menatapku dengan tatapan yang sulit kujelaskan, ia hanya berdiri diam menatapku dari satu sudut. Aku tak mengerti dengan semua ini."

"Wah, jangan-jangan dia pakein kau pelet, Lyn?"

"Pelet?" beo Evelyn.

"Iya, pelet! Semacam sesajen santet biar orang yang kena peletnya terpikirkan si pengirim secara tak normal."

"Tapi, Bram kan dokter, Lyn, dia juga tak akan pernah mempercayai hal-hal mistis seperti itu. Itu sangat tidak masuk akal, bahkan orang kesurupan sekalipun, ia mempercayainya sebagai penyakit bukan karena adanya gangguan jin. Jadi, menurutku dengan beberapa fakta itu, tidak mungkin Bram melakukan pelet kepadaku."

"Jika demikian, lalu kenapa kau terus memimpikan dia? Jangan bilang kalau setiap hari, selalu terpikirkan dirinya seorang?!"

"Tidak!" Evelyn menolak keras. "Aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk melupakannya, tetapi tetap saja, Lyn, setiap ada peristiwa, entah kenapa hal itu pasti sudah pernah kulalui bersama Bram."

"Aku tau keadaanmu sedang sulit, Lyn. Jikalau begitu, cobalah ikhlaskan Bram."

"...."

***

It's Never Enough!!! [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang