19

82 18 14
                                    

DI SEBUAH taman dekat kantornya, berdiri seorang pria yang menantikan kehadiran seseorang. Ia memandangi sekitar dengan santai, berdiri sambil memasukkan tangannya ke saku celana. Ia berpose seolah-olah menjadi model dan Evelyn berada tak jauh dari punggung pria itu.

Sore ini, Evelyn harus menghadapi rasa yang selama ini ia selalu hindari. Mungkin ini adalah waktu yang pas, meski ia sendiri ragu dengan keberanian yang ia punya. Ia terus berjalan pelan, melewati jenis taman yang penuh dengan warna-warni kasnya.

Suara ujung heelsnya terdengar cukup jelas. Bram memutar tubuhnya, melihat kehadiran yang ia tunggu beberapa puluh menit lalu. Kemudian ia mendekat, berdiri tepat di hadapan Evelyn yang masih menundukkan kepalanya, menghindari tatap mata.

"Aku sangat senang saat tau kamu mau bertemu denganku."

"Bisa kita langsung ke intinya saja, Bram?"

Ia mengangguk setuju.

"--Aku tau hal ini menyakitkan bagi kita. Aku tahu, kau akan berat untuk menerima keputusan ini. Aku juga sudah siap untuk menerima setiap hujatan yang akan kau lontarkan padaku."

Senyum Bram yang begitu panjang, perlahan turun mendatar. Raut wajahnya berubah menjadi dingin dan dia tau arah pembicaraan ini akan kemana.

"Pasti Akmal kan yang menyuruhmu berkata seperti itu?" tuduh Bram tanpa dasar. Ia merasa, ucapan yang baru saja Evelyn katakan bukanlah dari lubuk hatinya, Bram tau hal itu dengan pasti. Akmal adalah pelaku sebenarnya dari ucapan konyol tadi. Ia pikir Bram terlalu bodoh untuk terkecoh dengan trik murahan seperti ini.

"Tidak." Evelyn masih menghindari tatapan mata.

"Kalau begitu, tatap mataku," pinta Bram dingin.

"Tidak," tolak Evelyn pelan. "Aku ... tidak ingin melihat raut wajah sedihmu. Lontarkan saja apa yang kau rasakan, aku akan menerimanya dengan lapang dada."

"Evelyn," panggil Bram seraya memegangi pipinya, yang ditepis cepat oleh Evelyn.

"Jangan sentuh aku, Bram. Kita tidak ada hubungan lagi."

"Kau ingin putus, kan? Ya sudah, tatap aku. Dan setelahnya, kita akan berjalan di jalan masing-masing. Aku tidak akan mengganggumu lagi."

"Aku ... tidak bisa menuruti permintaanmu, Bram. Cukup seperti ini."

"Kupikir kita akan baik-baik saja setelah pertemuan ini. Apa ada yang salah? Katakan padaku, Lyn, katakan yang sejujurnya, aku tau Akmal lah dibalik semua kata-kata yang baru saja kau lontarkan."

"TIDAK, BRAM!" pekiknya seketika, Bram terkaget dengan mata membesar. "Semua kata-kata itu murni berasal dari mulutku. Akmal tidak merencanakan apapun, dia bahkan tidak menanyaiku apapun soalmu. TIDAKKAH KAU MENGERTI, BRAM?!"

"KALAU BEGITU, TATAP AKU!" pinta Bram. "Kenapa? Hah?! Tidak bisa? Kenapa kau tidak bisa menatap orang yang ingin kau pisahi?! Jawab Evelyn, apa skenario tatap mataku tidak ada di dalam rencana Akmal? Makanya kau terlihat ling-lung seperti ini. Iya kan?"

"KUBILANG TIDAK, BRAM!" Akhirnya Evelyn menatapnya dengan tatapan penuh emosi. Ia juga ikutan berteriak kencang, emosinya ikut meluap dan stuck di otaknya.

"Kau ingin aku menatapmu kan? Baiklah, lihat! Aku melihatmu dengan perasaan jijik dan muak terhadap sikapmu ini. Kau kekanak-kanakan, tidak bisakah kau percaya begitu saja dengan apa yang orang lain katakan?! Aku merasa, semua yang kau lakukan selama ini hanyalah kebohongan semata, dan kau sedang menunjukkan sifat aslimu sekarang. Ubahlah sifatmu itu, jika tidak, tidak akan ada wanita manapun yang mau kau nikahi."

"Tapi kau dulu mau menerimaku."

"Itu karena aku terlalu buta dengan tipu dayamu. Baik, baik, sekarang apa maumu?" tanya Evelyn dengan menaikkan dagunya, menurunkan nada bicaranya. "Kutanya, apa maumu? Kenapa? Kau hanya menemuiku saat kau membutuhkan sosok pelampiasan. Tak perlu khawatir, kau bebas sekarang, mencari pelampiasan lain. Dah!"

Evelyn hendak pergi, tapi Bram segera menahan pergelangan tangannya. "Bukan begitu."

"Lalu apa?!" cegat Evelyn, tidak memberikan Bram kesempatan untuk menjelaskan. Ia melayangkan tatapan tak berperasaan itu, membuat raut wajah Bram turun dan hancur berantakan. "Dan, kau anggap apa hubungan ini?"

"Kupikir kau merasakan hal yang sama, dengan yang aku rasakan saat ini. Ini terlalu tiba-tiba. Kenapa--"

"Benar. Maaf karena aku selalu merasa tidak keenakan untuk memarahimu dan selalu berusaha untuk menjadi pacar yang baik dan juga setia meski berulang-ulang kau selingkuhi."

Evelyn memutar matanya malas.

"Sejak saat itu, aku menyadari satu hal. Betapa bodohnya aku memberikanmu kesempatan yang tidak akan pernah kau tepati. Meskipun aku tau bahwa rasa sukamu hanyalah KEPALSUAN, TAPI AKU. Tapi aku ..." Tetap mencintaimu apa adanya. "Sudahlah, aku merasa perdebatan ini hanyalah kekonyolan semata."

Ia bertatap mata cukup lama dengan Bram, hingga akhirnya ia menghela napas berat dan membuang muka sesaat. "Cukup, aku sudah tidak sanggup berada di sekitarmu. Mari kita akhiri saja."

"Apa?" Nada Bram terdengar gemetar, ia syok berat mendengar kata-kata itu. Seolah dunianya runtuh tak menyisakan apapun. Mata keduanya memerah, emosi yang meruap, isak tangis yang ditahan, hampir tidak terbendung dengan sendirinya.

"Lucu sekali, aku mengakhiri hubungan yang memang tidak pernah ada. Hanya aku yang menganggap hubungan ini ada, sementara dirimu ... aku tak tahu sama sekali, dimana letak hatimu berada."

Evelyn memutar tubuhnya kemudian pergi dengan air mata yang mulai berjatuhan lagi. Selesai sudah. Bram melihat punggung kepergian Evelyn yang semakin menjauh.

Tidak, tidak! Aku tidak bisa membiarkannya pergi sekarang.

"Evelyn tunggu!" Bram berlari mengejarnya, ia langsung memeluknya dari belakang, Evelyn merasa terkejut dan risih serta berusaha melepaskan diri.

"Bram, apa yang--"

"Tetaplah seperti ini. Kumohon!"

"Apa lagi ini?" Evelyn pasrah dan meneteskan air matanya, ia tak sanggup melihat wajah menyedihkan yang Bram tampilkan sekarang. Meski tau itu semua hanyalah kebohongan Bram semata, tapi hati Evelyn sangat sakit melihatnya.

"Tak bisakah kita bertahan seperti sebulan terakhir ini? Aku ... lebih baik digantung seperti sebelumnya dari pada ditinggalkan seperti ini. Kumohon Evelyn, setidaknya berikan aku kesempatan."

"Maaf." Kemudian ia melepaskan genggaman yang melekat di lehernya itu dan berlalu pergi dari sana.

Bram terjatuh, pandangannya kosong dengan tubuh yang gemetaran. Evelyn tak menoleh sama sekali ke belakang, ia tau, jika ia menolong Bram sekarang, ia akan kembali ke lubang yang sama.

Ini adalah awal yang harus kuperjuangkan. Memulai hidup baru, dan kuharap kau juga akan memiliki hubungan yang baru.

Rintik hujan mulai turun perlahan, membasahi wajah Bram yang masih terduduk di tempat yang sama. Matahari mulai tenggelam, entah berapa lama ia berdiam diri di sana. Walau petir mulai menyambar pun, ia tak bergidik sama sekali. Dunianya telah begitu hancur tak tersisa.

Kemudian, ada payung yang dibawahkan oleh seseorang yang berdiri tepat di belakangnya.

Bram mendongak, melihat siapa si pembawa payung itu....

***

It's Never Enough!!! [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang