14

76 16 7
                                    

"BRAM?"

Akmal menyapa segera, ia tidak terkejut sama sekali dengan kehadiran pria itu. Berbeda jauh dengan Evelyn, ia diam seribu bahasa saat melihat pria itu begitu kusut dengan kemeja biru yang sedang ia pakai. Kedua tangannya memegang nampan pesanan berisi satu mangkuk Ramen dengan beberapa potong susi dan segelas besar minuman bersoda.

"Ya? Kalian datang juga ya ke sini."

Akmal mengangguk kecil. "Begitulah, ini restoran milik temanku. Oh, kau sendirian ya?"

"Tidak, aku bersama seseorang."

"Ah, begitu."

Seseorang? Pikir Evelyn, itu artinya Bram sudah melupakannya ya. Meski dirasa sedikit perih mendengarnya, tetapi ia tetap bersyukur karena pria itu sudah bisa move on darinya.

"Kalau begitu, ayo masuk, Mal. Kami duluan ya, Bram." Evelyn menyeret lengan Akmal dengan tergesa-gesa, meski dia terlihat santai, tetapi wajahnya begitu pucat dan matanya sedikit berkaca-kaca.

"Ah, iya." Bram berbalik, ia melihat punggung dua orang tersebut yang sedang menuju ke tempat pemesanan. Hatinya sakit saat melihat dua instan itu begitu dekat satu sama lain, bahkan Evelyn melingkarkan dirinya di lengan pria itu.

"Kamu mau pesan apa, Lyn?"

Ia melihat-lihat menu yang terpampang, semuanya ada mulai dari yang termurah hingga termahal dengan paket lengkap.

"Samain aja sama kamu, Mal."

"Loh, kok gitu?"

"Nggak masalah, kan? Soalnya aku jarang makan ramen. Atau begini saja, kamu rekomendasi ramen yang paling enak."

"Yang paling enak ya? Kamu ada alergi sama kedelai?"

"Tidak. Tapi aku suka kurang jahe."

"Oh, begitu. Bagaimana dengan Ramen Wakayama? Ramennya terdiri dari telur setengah matang, Baraniku, dan topingnya pakai daun bawang."

"Ah, itu boleh deh." Evelyn mengiyakan.

"Oke. Mbak, pesan Ramen Wakayama-nya dua ya, dan dua sushi Sashimi ya."

"Baik, Mas. Untuk minumannya mau apa ya, Mas?"

"Ocha boleh deh, Mbak. Dua ya."

"Baik, saya pastikan terlebih dahulu pesanannya ya, Mas. Dua Ramen Wakayama, dua sushi Sashimi, dan dua Ocha? Benar begitu, Mas?"

"Iya, Mbak."

"Baik, terima kasih telah memesan, mohon menunggu di meja yang telah disediakan ya, Mas." Pelayan itu mempersilahkan keduanya untuk menunggu.

Mereka memilih meja agak ujung, duduk berhadapan. Karena keadaan begitu canggung, Evelyn memutuskan untuk memainkan teleponnya, bersosial media seperti wanita pada umumnya.

Akmal melihat-lihat sekitar sambil menunggu pesanan. Tak lama pelayan datang, tapi hanya memberikan air putih masing-masing satu gelas.

"Untuk pesanannya, masih di proses ya, Kak, mohon menunggu."

"Ah, iya, terima kasih," kata Akmal, sementara Evelyn mengangguk sekali.

"Hei!" Seorang yang tampak seperti karyawan itu melambai ke arah mereka. Akmal membalas lambaian tangan itu dan ia mendekati meja mereka.

"Widih, cie, kau nggak ada ngomong kalau mau ke sini bareng pacar baru."

"Bukan-bukan!" Evelyn segera membantah pernyataan itu. Mulutnya bergerak begitu saja, ia bahkan tak sadar mengucapkannya.

"Eh, tapi kalian tampak cocok loh, seperti pasangan pada umumnya."

Akmal tertawa renyah. "Sudah, hentikan kebiasaanmu itu, Nanda. Setiap aku main ke tempatmu membawa teman, pasti kau anggap pasanganku."

"Karena memang kau secocok itu untuk memiliki pasangan, Mal, kau itu manusia yang paling gampang beradaptasi, selama aku hidup."

"Kau barusan memujiku agar aku menambah porsi makanku, kan? Sudahlah, Nda, carilah topik lain. Aku takut ia terganggu." Akmal menatap Evelyn.

"Eh, nggak kok, Mal, santai aja. Selama bisa di jelasin, aku tidak terlalu mempermasalahkannya sih."

Nanda tersenyum licik. "Oh, iya, tadi aku melihat temanmu si dokter itu, aku lupa namanya."

"Bram?" tebak Akmal gamblang.

"Nah iya, si Bram. Tapi dia tadi datang sendirian sih, katamu dia sudah punya pacar, kan. Kok datang ke sini sendirian sih?"

Evelyn dan Akmal saling menatap, merasa keadaan ini kurang menyenangkan. Apalagi itu pertanyaan yang sensitif untuk Evelyn.

"Kurang tau, Nda. Bisa aja pacarnya itu sibuk dan akhirnya dia ke sini sendirian."

"Kalau begitu, sayang banget dong. Secara, diskon restoranku kan untuk berdua atau bertiga. Jadi ragu aku. Atau jangan-jangan mereka udah putus ya?"

"Berhentilah sok tau begitu, Nanda. Mau putus atau masih nyambung, bukan urusan kita." Akmal sedikit tersulut emosi. Ia merasa bersalah karena Evelyn berada di dekatnya dan harus menghadapi pertanyaan tak berbobot seperti itu.

"Duh, santai dong, Mal. Kok jadi emosi gitu? Aku kan cuma menduga-duga. Tapi ya udahlah."

Dua pelayan membawakan nampan berisi pesanan mereka. Menghidangkan ramen hangat itu di hadapan Evelyn dan Akmal. Juga sushi Sashimi dan Ocha.

"Mel," panggil Nanda pada salah satu karyawannya. "Sashimi sama Ochanya gratisin ya. Masukkan ke bonus."

"Baik, Pak." Kemudian ia pergi.

"Mari, silahkan menyantapnya. Tolong review jujur ya. Aku masih merasa kalau ramen itu belum sempurna. Jadi, mungkin butuh penyesuaian di lidah pelanggan."

Akmal menyeruput kuah pertamanya, ia mengecap beberapa kali. Menimbang-nimbang, berusaha mengenali rasa yang kurang dalam kaldu tersebut. Ia sedikit kesulitan mendeskripsikannya.

"Bagaimana? Jika itu diluar ekspektasimu, aku akan memberikanmu kupon gratis sepuluh ramen. Bebas pilih. Oh, berlaku juga untuk Anda, nona."

"Namanya Evelyn Sharman, ia teman kantorku, sebenarnya kami ke sini bertiga, tetapi yang satunya terhalang sesuatu--"

"Oh, begitu."

"--ngomong-ngomong soal ramenmu, rasanya tidak buruk. Kaldunya langsung pecah dan menyebar dalam mulut. Tapi kusarankan untuk mengurangi minyaknya ya, aku agak sedikit terganggu dengan hal itu. Ini hanya pendapatku saja, kau boleh mengabaikannya. Toh, aku cuma seorang costumer bukan juri MasterChef."

"Siap, siap. Nona Evelyn bagaimana? Apa ada sesuatu yang mengganjal di hati nona?"

"Kak Nanda," kata Evelyn melepas sendok ramennya, "tidak perlu terlalu formal padaku. Aku memang wanita karir, tapi bukan berarti aku gila hormat. Kurasa memanggilku dengan sebutan 'Nona' itu agak sedikit berlebihan, aku kurang nyaman. Panggil saja aku dengan namaku."

"Ah, maaf kalau sudah membuat Dik Evelyn tidak nyaman. Terima kasih banyak atas sarannya."

"Sama-sama Kak Nanda, terima kasih juga untuk pengertiannya--"

"Hei, kalian merusak suasananya, terlebih kau Nanda." Akmal berkomentar. "Tak biasanya kau memanggil perempuan asing dengan sebutan Nona. Atau kau naksir dengannya?"

"Tutup mulutmu itu!" Nanda langsung menjulurkan tangannya menutup paksa mulut Akmal, ia melihat-lihat sekitar dengan panik. "Bagaimana kalau dia mendengar ucapanmu? Kau memang suka ya, melihat kami bertengkar."

"Biarin!" Akmal mengejek dengan menjulurkan sedikit lidahnya.

Ia menghela napas berat. Akmal memang suka menggodanya, begitupun ia. Persahabatan keduanya sudah sejak kecil, tetapi Nanda memang suka berbisnis sejak kecil, berbeda dengan Akmal yang menuruni sifat Ayahnya yang seorang pembisnis handal.

"Pak Nanda, maaf menganggu. Ada pelanggan yang komplen." Pelayan yang sebelumnya dipanggil Nanda mendatanginya lagi.

"Komplen?" ulang Nanda memastikan.

"Iya, Pak, kalau tidak salah namanya Bram."

"...."

***

It's Never Enough!!! [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang