Bab 38 - Nadia Ayudia: My Birthday

42 7 5
                                    

Happy Birthday, Nadia Ayudia.

_____

Happy Reading.

_____

Kurang lebih sebulan aku menetap di Jogja bersama Bapak dan Ibu—tentunya adikku juga, sungguh hal baru yang setidaknya sampai saat ini cara adaptasi tidak begitu susah. Mungkin karena aku lahir di sini, bersekolah sampai lulus dan kemudian memutuskan merantau ke Jakarta bersama Indah adalah keputusan yang tidak pernah aku sesali. Bahkan bertemu Indry kala itu juga membantuku menjadi lebih ada teman, tidak sendirian maksudnya.

Kerja membiayai hidup sendiri dengan seorang adik perempuan kayaknya terbilang cukup berani untuk aku mewujudkan impian selama ini. Siapa sangka dari hanya magang, kerja dibayar perhari hingga jadi staff sangat tidak kusangka. Terlebih lagi aku bukan lulusan sarjana. Menggunakan uang tabungan, orang tuaku juga ikut membantu mengirimkan sebagian uang dan hasil dari kerja keras bisa menopang hidupku di Jakarta sampai membeli rumah—sederhana tapi nyaman—bukan mewah yang memakan milyaran. Tapi cukup sedih juga harus menjual rumah itu. Sebagian besar mimpiku ada di sana, kenangan tercipta di sana dan rasanya aku masih belum bisa melupakan, tapi sepertinya selamanya aku akan selalu mengingat semua yang sudah terjadi dalam hidupku di Jakarta.

Sekarang aku di Jogja. Mengingat kembali masa-masa saat aku hidup berdampingan sama Bapak dan Ibu. Mereka support system terbaik yang kupunya. Mendukung penuh atas apa yang telah aku capai selama ini. Kemudian saatnya aku harus mendukung usaha mereka di sini.

Bagas yang menjadi karyawan di toko, orangnya begitu ramah. Beberapa waktu lalu aku diajak olehnya untuk mencari pekerjaan. Dan mulai hari ini menjadi hari pertama aku bekerja di cafe. Cafe yang di mana ada Martin juga. Dunia memang sempit sekali, bahkan kecil rasanya. Lagi-lagi aku ditakdirkan menjadi rekan kerja Martin. Tapi yang ini sedikit berbeda. Dulu saat di Lufe, aku bisa dibilang seniornya. Sekarang aku jadi juniornya.

"Gila. Welcome back, Nadia. Kok lo bisa sama di sini juga bareng gue?" ungkap Martin sembari bertanya dengan tampang melongo.

"Bagas nawarin di sini, dia banyak bantuin gue buat cari kerja di daerah Malioboro. Eh malah dapetnya di sini, padahal udah naro CV di semua cafe dan kedai." Aku menjawab sambil memakai apron hitam. Dapat jadwal pagi hari ini, seraya mengikat rambutku karena pasti gerah jika aku gerai saja.

"Bagas?" tanyanya. Oh iya, Martin belum kenal siapa Bagas.

"Iya Bagas. Dia karyawan di toko. Sejak awal gue datang, kami kenalan terus jadi temenan. Nanti deh gue kenalin ke elo."

Martin tampak melirik penuh selidik. "Yakin temenan doang sampai bisa bantuin nyari kerjaan segala padahal status karyawan. Halah itu mah modus aja, palingan juga dia kepengen deket sama lo, Nad."

Aku mengerutkan dahi, seolah tak percaya Martin akan berkata seperti itu. "Suerrr. Cuman temenan aja. Udahlah, Tin. Nanti diliat sama Pak Cahyo." Pak Cahyo merupakan pemilik dari Eraya Coffee. Sekaligus anak pejabat dari Gubernur Jogja yang hingga kini masih menjabat. Dengar dari berbagai sumber, hanya Pak Cahyo yang tidak bergabung di bidang politik. Ia lebih memilih membangun usaha sendiri tanpa melibatkan sosok ayahnya sebagai Gubernur.

Martin berucap pelan dekat telingaku bernada memperingati. "Awas jangan sampai kayak sebelumnya. Berawal dari kenalan, terus nyaman, temenan ehh kepincut. Tau-tau endingnya udah punya pacar. Cari tau dulu latar belakang cowok kalo sampai kepincut, oke?"

Aku hanya mengatur napas agar tetap tenang. Benar kata Martin. Hal yang sudah terjadi sebelumnya, jangan sampai terjadi berikutnya. Salah satu warning yang tepat untuk aku berhati-hati.

Secret Admirer ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang