Bab 45 - Gavin Andreas: Believe

116 7 7
                                    

Percayalah, jika jodoh pasti bertemu. Saatnya belajar untuk memantaskan diri dan mendekatkan diri dengan Pencipta.

_____

Happy Reading.

_____

Kehilangan perempuan yang kucintai menjadi masa terburuk dalam kehidupanku. Aku tidak bisa memilikinya, padahal sangat berharap hubungan itu bisa terjalin hingga ke pernikahan lalu langgeng sampai tua.

Tapi pada akhirnya, itu semua pupus. Bahkan bila aku meminta untuk diberi kesempatan kedua rasanya tidak akan sama seperti semula. Besar kemungkinan ia akan curiga. Rasa percayanya sudah tak lagi seperti semula. Mungkin saja jika aku diberi kesempatan kedua, lalu apa yang akan terjadi?

Ketika sudah menikah, oke mungkin awal-awal terlihat biasa. Lama kelamaan justru akan timbul kecurigaan. Aku jalan sama siapa. Lagi sama siapa. Pulang larut malam abis dari mana. Lagi di mana. Bagi setiap pasangan hal itu biasa karena memang sudah seharusnya saling berkomunikasi dan jujur terhadap pasangan. Tapi bagaimana bila sebaliknya? Si perempuan memberi kesempatan kedua bagi pasangannya karena sebelum itu pernah selingkuh. Apa tidak besar kemungkinan kecurigaan-kecurigaan tadi timbul?

Setelah kusadari. Merenung setiap saat. Membiarkan diriku melihat sejenak terhadap hal-hal apa saja yang kulakukan selama ini rasanya memang pantas aku mendapatkan ini semua.

Semenjak Papa sakit dan mengharuskan istirahat di rumah, Dokter bolak-balik control Papa di rumah, aku semakin cemas dan tidak mau kehilangan Papa. Kondisinya kian memburuk. Penyebab salah satunya adalah stress. Papa sangat mendukung hubunganku bersama Indry. Bahkan Papa sudah menganggap Indry seperti anak sendiri. Tapi aku tidak bisa membuat Indry menjadi menantu Papa. Namun, Papa lagi-lagi selalu ada di barisan paling depan saat aku sudah tak tahu lagi harus bagaimana. Papa menegurku ketika hanya berdua. Ketika di luar, Papa membela dengan tidak mencemarkan nama baikku, Indry dan juga Nadia. Meski kecewa yang dialaminya belum bisa kutebus.

"WOY SADAR!" teriak Irwan memekakkan telinga. Pagi-pagi Irwan sudah heboh datang ke resto.

"Gila lo. Untung nggak jantungan," ucapku kesal sambil mengelus dada.

"Lagian ngapain bengong pagi-pagi. Belom ngopi apa gimana kau? Masih muda udah pikiran banyak, macam tak ada lagi kehidupan kutengok."

"Sendiri lo?"

"Noh sama Akbar. Dia lagi minta dibikinin kopi tuh sama Ujang," jawabnya terkekeh.

Aku menatap ke arah bar. Hanya ada Akbar di sana sedang meracik kopi. "Ujang perasaan belom dateng. Baru ada gue sama anak-anak kitchen."

"Gurau aja. Biar mata lo melek terus otak lo mikir."

Akbar kemudian membawakan tiga black coffee. Restoran ini kayak punya mereka sendiri aja. Datang tiba-tiba, buat kopi kayak ngambil air.

"Kapan Vin lo ke Amerika?" tanya Irwan meneguk secangkir kopinya.

"Lo ngusir gue? Dateng-dateng nggak ada adab, ngagetin orang, tau-tau bikin kopi, tau-tau nanya kapan gue ke Amerika."

"Astaga Gavin. Ini anak satu sensitifnya ampun-ampunan dah. Ya kau tengok sikit lah kawan kau ini. Aku udah gak sabar jadi CEO Reasto."

"Secepatnya. Kalo lo udah siap, gue tinggal."

"Anjir." Irwan menggebrak meja, langsung dipukul tengkuk leher oleh Akbar. "Akbar. Santai aja sih mukulnya. Kayak dendam amat. Maksud gue itu gue udah siap sentosa nih. Kalau perlu sekarang ya ayok. Oh ya, Vin. Kan Reasto itu dari nama bokap lo. Nah saat gue yang megang ini resto, gimana kalo namanya diubah jadi apa ya?"

Secret Admirer ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang