Jarum jam terus berputar, dari detik, menit, dan jam. Hingga hari juga berganti menjadi Minggu dan bulan, sepuluh bulan berlalu sejak penangkapan seorang pria yang akan menjatuhkan bangsawan besar Inggris. Tak ada yang berubah sejak hari itu, Draco tetap memimpin perusahaan bersama tiga orang sahabat yang selalu membantunya. Banyaknya pertemuan dengan berbagai kolega, tumpukan berkas yang perlu di urus, inspeksi lapangan, dan semua kesibukan lain pria yang sebentar lagi berusia 28 tahun itu menikmatinya. Kegalauan hatinya berhasil di alihkan oleh banyaknya jadwal padat yang harus Draco penuhi.
Hari itu, Draco cukup santai. Berjalan-jalan mengunjungi tiap-tiap divisi kantornya, melihat bagaimana para staf bekerja. Inggris bercuaca cerah, tanpa awan dengan langit berlukis biru indah. Setengah jam lagi waktu makan siang, lelaki berambut pirang platina itu membawa langkahnya menuju ruang kerjanya.
Begitu sampai di ruangan, Draco melihat ada Pansy sedang mengikat rambutnya yang mulai memanjang. Hitam kelam dan abu-abu dingin saling tatap beberapa detik, "hai, Boss." Sapa Pansy, lelaki jangkung tersebut mendudukkan diri di atas empuknya sofa.
"Bawakan makan siang ku." Pinta Draco.
Pansy mengangguk kemudian berjalan keluar meninggalkan Draco.
Melonggarkan dasi yang serasa mencekik leher, Draco menarik napas panjang. Punggung tegap itu melesak ke sandaran sofa, bahu turun, mata terpejam merilekskan diri. Pekerjaan hari ini tak terlalu menumpuk, tapi Draco merasa sangat lelah.
Kelopak mata terbuka, menatap langit-langit ruang kerja dengan pandangan menerawang. Draco membenci saat-saat ia sendiri dan tak melakukan apapun, itu hanya akan membuat perasaan rindu pada seseorang muncul sendirinya.
Sungguh, Draco sangat membenci perasaan cinta dan rindu yang tak pernah bisa terobati.
'Apa yang sedang Harry lakukan?'
'Apa Harry sudah makan?'
'Apa Harry baik-baik saja?'
'Dimana Harry sekarang?'
Pertanyaan itu berkelebat silih berganti tanpa bisa di jawab, Draco tampak sangat menyedihkan sekarang. Ingin rasanya menghilangkan perasaan ini, mencari seseorang untuk menggantikan posisi Harry di hatinya sangat sulit bagi Draco.
Draco tak mampu membiarkan dirinya pergi dan mencari pengganti sosok Harry yang mungkin tak membalas cintanya, apa karena ini gara-gara darah Malfoy yang hanya bisa setia seumur hidup pada satu cinta yang telah mereka temukan? Betapa kejamnya bila memang itu benar, Draco tersiksa.
BRAK
Alis Draco terangkat sebelah mendengar pintu ruangannya di buka dengan cara kasar, ia memperbaiki posisi duduknya menjadi tegap. Menoleh ke tempat di mana Pansy datang — tidak membawa makan siang— di belakangnya tubuh jangkung Blaise dan Theo berdiri, air muka keduanya terlihat begitu aneh di mata Draco. "Ada apa dengan kalian?"
Ketiganya tidak menjawab.
"Mana makan siang ku?" Tanya Draco beranjak dari sofa berjalan mendekati ketiga sahabatnya.
"Drake, kau harus melihat ini." Kata Theo wajahnya pucat sekali seperti habis bertemu hantu, Pansy dan Blaise mengangguk. Kepala mereka terarah menuju pintu masuk ruangan, Draco mengikuti kemana arah pandang ketiganya.
Abu-abu dingin itu mendapati seorang wanita berambut coklat gelap berdiri di luar ruang kerja Draco, di tangannya membawa sebuah gumpalan kain berwarna putih. "Granger?"
Hermione menatap lurus Draco, tanpa ekspresi. Ia mengangguk, "masuklah."
Kaki jenjang berbalutkan flat shoes berwarna merah mengetuk lantai, mengayun masuk ke dalam ruangan. Draco bisa melihat jelas apa yang di bawa Hermione dalam gendongannya, seorang bayi berambut putih dan berwajah rupawan. Draco diam-diam mengamati wajah itu, ia membuat gestur supaya Hermione duduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mille Fleur | Drarry
FanfictionKaburnya Draco dari tanggung jawab perusahaan, secara tak sengaja mempertemukannya dengan cinta yang telah lama hilang dan ia cari. Besar harapan Draco dari pertemuan tak di sengaja itu untuk bisa terus bersama dengan si pemilik hati, hanya sayangn...