Kelopak mata terbuka perlahan, mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retina sewarna giok pucat. Samar-samar telinganya mendengar seseorang berbicara, pandangannya tidak jelas menangkap visual di sekeliling. Buram.
"Akhirnya kau bangun juga. Ku pikir, kau akan menyerah dan mati begitu saja."
Dia tak tahu dimana sekarang, tak ada satupun hal yang bisa di ingat. Dia tak bisa merasakan seluruh tubuhnya, selain itu, entah bagaimana rasa kantuk dan penat menguasainya. Kelopak mata turun perlahan, kembali menyembunyikan sepasang cantik kristal emerald.
"Dia baik-baik saja?" Tanya pria pirang platina setelah Nix keluar dari ruang inap Harry, wanita itu tersenyum kecil seraya mengangguk.
"Ya, dia baik-baik saja. Mau mengobrol lebih panjang?"
Nix membawa putra tunggal Malfoy tersebut menuju kafetaria, memesan seporsi burger, cola, kentang goreng, dan kopi hitam. Draco merasa aneh, mengapa kantin rumah sakit menyediakan fast food?
"Makanan sehat hanya untuk orang sakit," seolah menjawab keheranan Si pirang, Nix menjawab santai sembari menggigit roti isi, Draco tak menimpali. Abu-abu terangnya memandang ke luar jendela besar, mereka berada di lantai empat gedung utama. Bukan di bangunan bawah tanah.
Cuaca nampak cerah, ia bisa melihat gedung pencakar langit mengkilap di terpa terik cahaya matahari. "Metabolisme tubuhnya mengalami peningkatan yang baik, tingkat kesadaran mulai ada perubahan— Draco mengalihkan perhatiannya dari luar jendela pada wanita yang duduk di bangku seberang, seporsi burger tandas menyisakan piring kosong.
Nix melanjutkan, "secara medis Harry sudah bisa di katakan siuman, meski belum sepenuhnya sadar, hanya saja dia masih memerlukan banyak istirahat, dan belum bisa di ajak berkomunikasi. Imunitas tubuhnya sangat rentan, dia mungkin membutuhkan beberapa rehabilitasi, dan latihan bicara jika kondisinya sudah lebih baik dari sekarang." Jeda cukup lama, Nix memandang Draco lamat-lamat. Ia bisa melihat binar kelegaan dan senang di light grey Draco, "ini bagian paling sulitnya, Malfoy."
Draco mengerjap sekali, "kenapa kau sebut sulit?"
"Harry mengalami cedera parah, proses pemulihannya mungkin akan memakan waktu lama. Selain itu, tentang kesehatannya... Sewaktu-waktu ia akan keluar-masuk rumah sakit karena imunnya. Apa kau siap untuk itu? Apa kau siap menopangnya di saat-saat krisisnya? Dan apa kau siap jika Harry tidak mengingat dirimu karena luka tembak di kepala, apalagi setengah dari peluru itu masih bersarang di sana."
Draco menelan ludahnya susah payah, bila di tanya apakah ia siap berada di samping Harry saat pemulihan? Maka jawabannya Draco selalu siap, ia akan berada di samping kesayangannya kapanpun itu. Namun, apa Draco akan siap bila Harry sama sekali tak mengingat dirinya?
"Pertanyaan terakhir dari ku mengganggu mu."
Draco mengangguk, tak menyangkal. Bahwa ia takut tak di ingat Harry adalah sebuah kebenaran, "berapa persen— kemungkinan Harry mengalami amnesia?"
"Estimasi kami 60%, mengingat seberapa besar kerusakan yang di timbulkan. Tapi, semoga saja tidak."
"Apa dia akan melupakan putranya juga?"
Nix menggeleng, "aku tidak tahu, tapi... Kau hanya perlu bersabar, Malfoy. Lihat bagaimana perkembangan selanjutnya."
"Apa aku sudah bisa membawanya ke Inggris?"
"Dua bulan lagi, kau bisa membawa Harry pulang ke kampung halamannya. Kami masih harus melakukan observasi, Sir. Regulus mengkabarkan kalau lingkungan Malfoy mulai kondusif."
"Syukurlah." Lega Draco mengetahui jika di Inggris orang tua dan anaknya baik-baik saja, "apa sekarang Harry tidur?"
Nix tersenyum miring, "ya... Bukankah dia selalu tidur, tadi dia bangun sebentar. Tidak ada dua menit, dia tidur lagi." Canda Nix.
"Aku akan menemuinya." Draco beranjak dari kursinya, meninggalkan secangkir kopi yang bahkan tak di sentuhnya bersama Nix yang mengemil kentang goreng sembari melambaikan tangan.
Draco merasa tenang melihat bagaimana dada itu naik turun dengan teratur, tidak seperti pertama kali ia melihatnya— bergerak lamban dan mengkhawatirkan. Saat ini Harry sedang tertidur, hanya tidur. Sewaktu-waktu ia akan terbangun, Draco tak perlu lagi di bayangi rasa takut.
Di kecupnya kening Harry lembut, kelopak mata terbuka setengah. Abu-abu dingin bersibobrok hijau terang, sudut bibir tipis nan pucat tertarik kecil. Membentuk seutas senyum kecil, sebelum akhirnya dia kembali memejamkan mata. Hati Draco bergetar melihatnya, sudah berapa lama? Ia tak lagi menghitungnya, betapa rindu Draco melihat senyum cintanya.
Draco memejamkan mata, tergugu oleh rasa haru melihat Harry menyadari ia ada disini, genggamannya di balas lemah oleh jemari ramping. "Lekas sembuh, sayang... Kita akan segera pulang." Bisiknya.
⌛⌛⌛
Draco merasa hari ini menjadi hari terbaik di sepanjang hidupnya, mengapa? Satu bulan, ia hanya bisa melihat Harry terbangun sebentar— Draco tak ingin menghitung masa dimana kondisi Harry masih di perjuangkan para dokter.Air mata lelaki berusia 29 tahun tersebut mengalir tanpa bisa di cegah kala melihat seorang pria yang selalu terbaring di ranjang pesakitan kini setengah terduduk, meski di seluruh tubuhnya masih harus di pasangi ragam alat medis yang mengerikan untuk di lihat. Sudah seminggu ini Draco tak bertemu Harry karena harus kembali ke Inggris menemui Scorpius. Dengan kasar, Draco mengusap cairan asin yang membasahi pipi. Kembali melanjutkan langkah untuk lebih dekat.
"Dari mana saja kau?" Tanya Nix beranjak dari kursi di samping ranjang, hanya diam saat Harry juga menyadari keberadaan dirinya di ruangan ini.
"Hai." Sapa Draco parau.
Mata hijau sayu itu menatap Draco polos, ahh... Jantungnya berdebar keras. Dia tak mengatakan apa-apa, bibir pucat tipis itu mengulas senyum tipis, bola matanya bergerak menatap Nix. Meja kecil di depannya terdapat sebuah buku dan tangannya yang terbebas infus memegang pulpen, Draco berdiri di samping ranjang—tepatnya di depan Nix empat langkah.
Draco bisa melihat apa yang Harry tulis di sana, 'who?'
Dadanya terasa mencelos saat membaca tiga huruf berantakan di atas kertas, Draco menatap Nix nanar, mempertanyakan bagaimana bisa Harry tidak mengenalinya.
Nix tidak menjawab tatapan Draco, justru ia malah tersenyum amat tipis." Dia, Draco Malfoy... Seseorang yang kau cintai dan kau janjikan sebuah kepulangan."
Sepasang pupil itu tampak bergetar dan tersentak, ia menatap lekat pria pirang platina yang berdiri mematung di samping ranjangnya. Tangannya yang kuyu dan kurus bergerak kembali di atas kertas, menuliskan sesuatu.
Gemetaran, Draco tak tega melihat bagaimana Harry berusaha sangat keras hanya untuk menulis di atas sana. Lima menit lebih ia menunggu, sebaris kalimat tercipta. Pensil jatuh dari genggaman tangan, lolos begitu saja menyisakan jejari yang mengalami kejang. Nix bergerak cekatan, di gamitnya lengan Harry kemudian ia memberikan berupa pijatan ringan di punggung telapak tangan guna mengurangi kejang.
'Maaf, aku tak bisa mengingat mu saat ini. Nix bilang, ini tak akan lama.'
Lost love is sweeter when it’s finally found
I’ve got the strangest feelin’
This isn’t our first time around
"Can I hug you?" Tanya Draco nyaris berbisik, hanya ada mereka bertiga di ruangan ini dan di temani suara monitor pendeteksi detak jantung di sisi lain. Harry mengangguk kecil, membulatkan keberanian Draco mengikis jarak.
Pria beranak satu tersebut duduk di bibir ranjang, menarik tubuh ringkih Harry ke dalam pelukannya. Pria ini terasa sangat kecil dalam dekapan Draco, terasa begitu rapuh.
Sesekali Draco mengecup puncak kepala Harry dan mengelusnya penuh sayang, "aku senang kamu bangun, Harry."
Harry memejamkan mata, menyamankan kepalanya di ceruk leher pria berambut pirang platina.
⌛⌛⌛
Bersambung
Sampai jumpa di Issue selanjutnya, terima kasih atas apresiasinya 🌻
KAMU SEDANG MEMBACA
Mille Fleur | Drarry
Hayran KurguKaburnya Draco dari tanggung jawab perusahaan, secara tak sengaja mempertemukannya dengan cinta yang telah lama hilang dan ia cari. Besar harapan Draco dari pertemuan tak di sengaja itu untuk bisa terus bersama dengan si pemilik hati, hanya sayangn...