بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
Tak usah terlalu jauh mencari surga, sebab di bawah telapak kaki ibu pun ada.
KULETAKKAN semangkuk bubur beserta segelas air putih yang sengaja ditaruh di nampan ke atas nakas samping pembaringan. Lantas setelahnya kubangunkan Mama secara perlahan, beliau harus segera sarapan. Jangan sampai jadwal makannya berantakan.
"Makan dulu yah, Ma," kataku setelah membantu beliau untuk duduk bersandar di bantal yang sengaja kuletakkan di belakang punggung.
Kusuapi sedikit demi sedikit, sembari sesekali berbincang agar tak terlalu diliputi keheningan. Namun, beliau menolak untuk menghabiskan dan aku pun tak ingin memaksakan. Mungkin hanya setengahnya saja yang berhasil masuk lambung.
"Diminum dulu obatnya," kataku seraya menyerahkan beberapa jenis pil dan kapsul sesuai dengan dosis yang dokter berikan.
"Mama harus banyak istirahat, kalau perlu apa-apa bilang sama aku yah," tuturku sembari merapikan bekas makan beliau.
Mama mengangguk pelan. "Maafkan Mama karena jadi merepotkan kamu."
Aku menggeleng tegas lantas berujar, "Mama jangan banyak pikiran, supaya pemulihannya cepat. Aku gak tega lihat Mama sakit kayak gini, aku juga kasihan lihat Bang Fariz yang selalu mengkhawatirkan kondisi Mama. Mukanya masam, gak enak dilihat."
Mama terkekeh pelan. "Fariz memang begitu, kalau Mama sakit dia yang rungsing dan kepikiran."
"Itu tandanya Bang Fariz sangat menyayangi Mama."
Beliau tersenyum tipis dan mengaminkan.
"Mama istirahat lagi aja, aku mau beres-beres rumah dulu. Kalau perlu apa-apa teriak aja yah," ucapku lantas kembali berdiri dan mengambil nampan.
Aku terkejut saat tanganku ditahan oleh Mama. "Kenapa, Ma?"
"Makasih," katanya diiringi sebuah senyuman tulus.
Aku pun membalas senyuman beliau tak kalah lebar. "Sama-sama. Sehat-sehat yah, Ma."
Setelahnya aku melesat pergi ke dapur untuk mencuci piring, dan menyiapkan sarapan untuk Bang Fariz yang saat ini tengah bersiap-siap di kamar.
"Nasi goreng aja gak papa, kan?" tanyaku saat Bang Fariz sudah duduk di kursi meja makan.
Aku belum mengambil belanjaan di warung langganan. Cukup kerepotan karena belum terbiasa untuk membagi waktu antara merawat Mama, melayani kebutuhan Bang Fariz, dan menuntaskan pekerjaan rumah. Belum lagi, aku pun harus mempersiapkan beberapa pesanan pembeli yang juga jumlahnya tidak sedikit.
"Gak papa, ini lebih dari cukup," sahutnya membuatku bisa sedikit bernapas lega.
Baru kali ini aku hanya menghidangkan nasi goreng dan telur dadar. Biasanya menu makanan lengkap, empat sehat lima sempurna. Dan, aku pun tak sempat untuk membuat bekal makan siang untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
No Khalwat Until Akad || END
SpiritualSELESAI || PART MASIH LENGKAP NIKAH itu bukan penyelamat hidup, tapi pergantian fase. Dari yang semula melajang menjadi berpasangan. Bukan pula sebagai ajang pelarian agar terbebas dari masalah, justru dengan menikah trouble yang dihadapi akan sema...