بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
Jangan hanya karena lelah menunggu, kamu memilih kereta yang tidak sesuai dengan tujuanmu.
AKU merebahkan diri di pangkuan Mama yang tengah duduk selonjoran, tak segan beliau pun membelai suraiku dengan kelembutan. Status kami memang menantu dan mertua, tapi beliau memperlakukanku selayaknya anak sendiri.
"Dari dulu Mama pengen banget punya anak perempuan, alhamdulilah sekarang Mama punya kamu," katanya sembari tersenyum lebar.
Aku menatap lekat wajah beliau, dan memberikan senyum terbaik, tak lupa kugenggam pula kedua tangannya. "Nikah lagi aja, Ma," kelakarku diakhiri dengan kekehan.
Mama tertawa dan menjawil hidungku tanpa izin. "Fariz ngamuk kalau Mama nikah lagi."
Kami pun saling menatap dan tawa kami pecah tak terbendung. Membayangkan bagaimana Bang Fariz akan mengomel sepanjang hari karena Mama nekat menikah lagi.
"Memangnya Mama sudah ada calon?" tanyaku dengan alis yang dinaik-turunkan.
Mama menggeleng. "Gak ada niatan buat nikah lagi. Mama sudah sangat bersyukur dengan kehidupan saat ini. Lihat Fariz dan kamu hidup rukun aja bahagia banget," katanya seraya tersenyum manis.
"Kalau kesepian, Mama nginep aja di sini," sahutku yang langsung dibalas anggukan.
Aku bangkit dan memilih duduk di sisi beliau, takut kakinya pegal-pegal jika terlalu lama.
"Kalau ada apa-apa cerita sama Mama. Apalagi kalau soal Fariz yang kadang-kadang kelakuannya bikin jengkel hati."
Aku terkekeh lantas berujar, "Aku mau tanya sesuatu sama Mama, boleh?"
"Boleh, satu pertanyaan seratus ribu," candanya sembari tertawa kecil.
Aku terdiam beberapa saat. Mendadak kaku kala mendengar kata seratus ribu. Uang lembaran berwarna merah yang kerapkali jadi idaman orang-orang itu sangat jarang kupegang, sebab aku lebih sering mengantongi recehan, logam.
Ternyata hatiku begitu mudah goyah dan tersinggung. Hanya karena hal sesederhana ini saja mendadak melow. Seharusnya aku bersyukur, bukan malah berkeluh-kesah dan kufur.
Astagfirullahaladzim!
"Kenapa? Kok malah bengong."
Aku terkesiap lantas menggeleng cepat. "Gak papa."
Tanpa diduga Mama mengelus puncak kepalaku dan mengarahkannya untuk bersandar di bahu beliau. "Apa ada yang mengganjal hati kamu, Nak?"
Aku mengangkat kepalaku sedikit untuk bisa bersitatap dengan beliau. "Sejak kapan Bang Fariz hobi koleksi uang logam?"
Mama mendaratkan kecupan singkat di dahi, lantas memintaku untuk duduk tegak menghadapnya. "Mungkin dua atau tiga tahun ke belakang."
Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Cukup tidak percaya, sebab aku mengira kebiasaan tersebut memang sudah mendarah daging dari sejak Bang Fariz masih berusia belia.
KAMU SEDANG MEMBACA
No Khalwat Until Akad || END
SpiritüelSELESAI || PART MASIH LENGKAP NIKAH itu bukan penyelamat hidup, tapi pergantian fase. Dari yang semula melajang menjadi berpasangan. Bukan pula sebagai ajang pelarian agar terbebas dari masalah, justru dengan menikah trouble yang dihadapi akan sema...