بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
Dendam tidak akan pernah bisa menyelesaikan permasalahan, justru akan semakin memperunyam keadaan.
KUHIDANGKAN teh hangat beserta biskuit di atas meja. Bang Fariz terlihat mengernyitkan kening, bisa kutangkap saat ini dirinya tengah kebingungan. Sebab, aku memang sangat jarang menghidangkan teh, lebih sering menyeduhkan kopi yang memang menjadi minuman favoritnya.
"Tumben teh? Ditambah biskuit pula," katanya terheran-heran.
"Gak papa, biar bervariasi aja. Jangan terlalu banyak mengonsumsi kopi, gak baik buat kesehatan Bang Fariz," jawabku.
Bang Fariz manggut-manggut lantas meneguk tehnya hingga sisa setengah gelas. "Kenapa gitu banget lihatin Abangnya? Ada yang salah?"
"Abang capek gak? Mau mandi atau makan dulu?" tawarku karena Bang Fariz memang baru saja pulang kerja.
"Kok kamu aneh sih? Ada apa?"
"Abang capek gak? Mau mandi atau makan dulu?" ulangku enggan menjawab pertanyaannya.
Bang Fariz menghela nafas singkat lantas berucap, "Nggak capek, alhamdulilah kerjaan hari ini gak terlalu banyak. Mandi dan makannya nanti aja."
Aku pun mengangguk dan tersenyum tipis. "Ada yang mau aku omongin sama Abang."
Bang Fariz malah terkekeh pelan dan mengacak gemas puncak kepalaku yang saat ini tak tertutup hijab. "Apa?"
Aku membawa tangan Bang Fariz dalam genggaman, menatapnya dengan penuh kelembutan, lalu berujar, "Besok antar aku ke rumah sakit, bisa?"
Sontak Bang Fariz pun melepaskan genggamannya dan beralih memegang keningku. "Kamu sakit apa, hm? Kenapa gak bilang dari tadi. Sekarang juga Abang anterin. Gak usah nunggu besok. Jangan buat Abang khawatir."
Aku tertawa kecil melihat raut kepanikan di wajahnya. Di mataku sangat amat menggemaskan. "Abang lucu," komentarku masih dengan diiringi tawa.
"Abang khawatirin kamu, malah dibilang lucu. Kesehatan jangan dibuat bercandaan, Kirania."
"Aku gak papa, alhamdulilah sehat wal afiat. Aku minta anterin ke rumah sakit buat ketemu dokter kandungan. Kita program hamil yah, Bang," terangku.
Tak ada sedikit pun respons, Bang Fariz malah berkawan geming.
"Bang Fariz kenapa?"
Sebuah gelengan Bang Fariz berikan. "Kenapa tiba-tiba? Ada orang yang julidin kamu lagi yah?"
Tak mungkin aku berterus terang, alasan mendatangi dokter kandungan hanya alibi agar aku bisa membawa Bang Fariz ke rumah sakit tempat Papanya dirawat.
"Memangnya Abang gak mau punya momongan? Kok malah kayak gak antusias gitu."
Bang Fariz kembali menggenggam tanganku. Tatapannya begitu teduh menenangkan. "Ada atau tidak adanya anak di tengah-tengah kita, Abang gak masalah. Anak itu rezeki, kalau diberi kita syukuri kalaupun tidak jangan sampai kita berkecil hati. Tujuan kita menikah bukan untuk itu, kamu jangan pikirkan apa kata orang. Mereka gak tahu apa-apa tentang hidup kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
No Khalwat Until Akad || END
SpiritualitéSELESAI || PART MASIH LENGKAP NIKAH itu bukan penyelamat hidup, tapi pergantian fase. Dari yang semula melajang menjadi berpasangan. Bukan pula sebagai ajang pelarian agar terbebas dari masalah, justru dengan menikah trouble yang dihadapi akan sema...