15-Janggal

252 42 11
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

Sebatas mengingatkan saja, aku merasa tidak pantas, sebab ilmuku yang sangat amat terbatas.

ARUMI Syahiba, seorang dokter kandungan yang saat ini bekerja di salah satu rumah sakit ternama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ARUMI Syahiba, seorang dokter kandungan yang saat ini bekerja di salah satu rumah sakit ternama. Muda, cantik, pintar, dan juga berpenampilan menarik. Tak heran mengapa Mas Rezza begitu tergila-gila pada tunangannya. Sebab, sebagai perempuan pun aku mengagumi sosoknya.

Akhirnya kini kami kembali bertemu, dan untuk kali pertamanya aku berbincang hanya berdua dengannya. Sedikit gugup dan canggung, takut salah bicara dan bertindak. Hubungan di antara kami memang tidak dekat, cenderung seperti orang asing. Mbak Rumi yang menurutku terlalu kaku, ditambah aku yang juga sama kakunya jika bertemu orang baru.

Padahal hubungan yang terjalin di antara Mas Rezza dan Mbak Rumi sudah sebelas tahunan. Tapi, rasa sungkan dan segan itu bersemayam nyaman. Mau heran, tapi ini adalah kenyataan. Berbincang dengan calon kakak ipar saja membuatku panas dingin tak keruan.

"Ada hal penting yang mau kamu sampaikan, Nia?" tanyanya ramah dengan suara yang lemah lembut.

"Maaf sebelumnya karena aku sudah mengganggu waktu Mbak."

Mbak Rumi tersenyum tipis dan menggeleng. "Gak usah terlalu formal dan gugup gitu, Nia. Mbak gak akan gigit kamu," katanya diakhiri sebuah kekehan.

Aku menggaruk tengkuk yang tidak gagal. Bingung harus memulai obrolan ini dari mana, tapi aku sedikit lega karena ternyata Mbak Rumi tidak sekaku seperti yang kupikirkan.

"Mau bahas soal masalah Mbak sama Mas Rezza?"

Aku mengangguk pelan.

"Mbak minta maaf karena permintaan Mama yang gak masuk akal, buat keluarga kamu kebingungan. Mbak juga bingung harus bagaimana membujuk Mama agar bersedia menurunkan maharnya."

"Apa Mamanya Mbak Rumi gak merestui hubungan kalian? Mungkin saja syarat yang beliau berikan itu, bertujuan untuk membuat Mas Rezza mundur," sahutku sehalus mungkin, tak ingin Mbak Rumi salah paham dengan perkataanku.

"Bukan karena itu, Nia. Keadaan yang membuat Mama  bertindak seperti itu," katanya lesu.

"Keadaan seperti apa maksud, Mbak?"

Mbak Rumi terlihat menghela napas berat lalu setelahnya berucap, "Mama perlu biaya banyak untuk cuci darah Papa yang semakin hari semakin parah. Beliau buntu sampai akhirnya mengambil jalan pintas seperti ini. Belum lagi, beliau pun harus menebus sertifikat rumah yang telah digadainya. Mbak tahu Papa memang sudah sakit ginjal dari lama, jadwal cuci darahnya pun rutin tak pernah tertinggal. Mbak kira finansial kami baik-baik saja, tapi ternyata Mbak baru tahu kalau Mama sudah menggadai sertifikat rumah untuk membiayai pengobatan Papa, dan juga membiayai kuliah Mbak sampai bisa selesai dan mendapat gelar sarjana."

No Khalwat Until Akad || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang