بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
Takdir terbaik adalah takdir yang saat ini tengah kita jalani. Tak usah sibuk menghakimi dan juga mengadili, cukup luaskan hati.
KEJAHATAN jika dibalas dengan kejahatan juga, pasti tidak akan ada ujungnya. Alangkah bagusnya dibalas dengan kebaikan, agar mendatangkan ketenangan serta kesejahteraan bersama. Itu pula yang dilakukan Mama.
Kejadian buruk di masa lalu tak membuat hatinya diliputi dendam, bahkan beliau menerima dengan tangan terbuka kehadiran Tante Nadia dan juga Mbak Rumi. Tak tanggung-tanggung, Mama pun menawarkan tempat tinggal, agar mereka bisa menetap di bawah lindungan atap yang sama.
Aku benar-benar tak habis pikir sekaligus kagum. Aku tak memiliki hati seluas dan seikhlas beliau dalam menyikapi takdir.
"Pilih aja mau kamar yang mana, mau di lantai atas silakan, di bawah juga gak papa. Ada beberapa kamar kosong," tutur Mama begitu ramah.
Tante Nadia mengangguk singkat. "Makasih banyak, Mbak. Maaf saya jadi merepotkan, saya sudah sangat malu atas kesalahan saya di masa lalu."
Mama tersenyum tulus. "Kita gak bisa mengubah masa lalu, lebih baik menata masa depan agar lebih baik lagi."
Karena terlilit banyak hutang, tempat tinggal yang digadai, alhasil kini Tante Nadia dan juga Mbak Rumi tinggal bersama dengan Mama. Sekarang pun Bang Fariz tengah melunasi semua hutang-hutang keluarga Papanya, dia tidak ingin memberatkan langkah sang ayah di akhirat sana.
Sebetulnya rumah yang digadai bisa kembali menjadi hak milik Tante Nadia jika transaksinya diselesaikan. Tapi, Bang Fariz keberatan jika harus melunasi beserta bunga-bunganya.
Bang Fariz hanya bersedia membayar sebagaimana nominal yang dulu diterima Tante Nadia. Jelas, hal itu tidak bisa. Oleh sebab itulah Bang Fariz meminta Tante Nadia dan juga Mbak Rumi untuk mengikhlaskan rumah tersebut.
"Aku siapkan makan malam dulu, Bi Sri lagi libur, kan, Ma? Tante Nadia sama Mbak Rumi istirahat dulu aja," kataku seraya bangkit.
Mama menahan lenganku agar kembali duduk. "Mama sudah pesan makanan, sebentar lagi juga sampai."
Aku mengangguk dan tersenyum sebagai respons.
"Kamu bersih-bersih dulu aja, istirahat juga. Pasti capek, kan," cetus beliau penuh perhatian.
Sebuah anggukan kembali kuberikan. Sebelum melangkah pergi, aku menyempatkan diri untuk berpamitan pada Tante Nadia dan juga Mbak Rumi. Sepertinya mereka perlu waktu untuk berbincang bersama.
Setibanya di kamar, aku langsung bergegas untuk membersihkan badan yang sudah sangat lengket dan gerah. Tak memerlukan banyak waktu, kegiatan mandiku pun selesai. Tapi, aku lupa membawa pakaian ganti yang memang sengaja disediakan di kamar ini. Sangat ceroboh.
KAMU SEDANG MEMBACA
No Khalwat Until Akad || END
SpiritualitéSELESAI || PART MASIH LENGKAP NIKAH itu bukan penyelamat hidup, tapi pergantian fase. Dari yang semula melajang menjadi berpasangan. Bukan pula sebagai ajang pelarian agar terbebas dari masalah, justru dengan menikah trouble yang dihadapi akan sema...