بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
Terkadang yang membuat kita gelisah bukanlah masalah yang menguji, tapi bahasa rindu Allah yang gagal kita pahami.
KERIKIL kecil yang dibiarkan, tanpa ada niat untuk disingkirkan, suatu saat akan membahayakan. Begitu pula dengan masalah, sekecil apa pun jika tak langsung diselesaikan pasti akan menjadi konflik berkepanjangan.
Mengikuti hawa nafsu memang tidak akan pernah menemukan titik temu. Tapi, salahkah jika aku meminta waktu untuk sekadar menepi dan menenangkan hati?
Jujur saja, saat ini aku benar-benar butuh kesendirian, untuk menelaah berbagai rasa yang tumpang tindih tak keruan.
"Abang bisa tidur di kamar lain kalau kamu nggak nyaman."
Aku yang saat itu belum terpejam dan masih berusaha untuk menghadirkan kantuk, sama sekali tak merespons. Mungkin Bang Fariz bisa merasakan kegelisahan yang saat ini tengah menghimpitku.
"Kamu perlu waktu, Abang akan pahami itu," imbuhnya lantas bergerak turun dari ranjang.
"Jangan. Aku gak mau sampai ketahuan Mama," cegahku menahannya.
Bang Fariz tersenyum tipis. "Nggak usah mengkhawatirkan soal Mama, itu urusan Abang. Lebih baik Abang kena semprot Mama, dibanding harus lihat kamu gak bisa tidur. Kamu perlu istirahat."
Setelah mengatakan itu Bang Fariz benar-benar melangkah pergi. Aku pun hanya bisa menatap atap kamar dengan tangan yang sengaja dijadikan sebagai bantal.
Dosakah jika aku memperlakukan Bang Fariz seperti ini?
Antara ego dan hati saling berperang, mengutarakan hal yang berlainan. Membuat kepalaku semakin pening, dan tanpa sadar air mata kembali mengalir tanpa persetujuan.
Menangis tanpa suara, menahan sesak di dada, seolah dunia tengah baik-baik saja. Padahal, hatiku sedang porak-poranda.
Menjalin hubungan dengan seseorang yang belum selesai dengan masa lalunya merupakan awal dari sebuah petaka. Secara sadar saling menyakiti, hingga tega mengenyampingkan rasa yang tersimpan dalam dada.
Suara ketukan pintu spontan membuatku segera menghapus linangan air mata. Sejenak merapikan rambut dan mengambil khimar instan lalu memakainya dengan kecepatan kilat.
Aku sedikit terkejut saat mendapati Mama yang tengah berdiri dengan nampan berisi semangkuk soto, lengkap dengan air minumnya.
"Barusan ada tukang soto keliling, kasihan dagangannya belum habis, padahal sudah malam. Mama keinget kamu, jadi Mama beliin deh," terangnya tanpa diminta.
Aku tersenyum tipis. "Sebenernya masih kenyang, tapi kalau untuk soto aku nggak akan bisa nolak."
Mama terkekeh pelan. "Ya udah mau makan di mana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
No Khalwat Until Akad || END
EspiritualSELESAI || PART MASIH LENGKAP NIKAH itu bukan penyelamat hidup, tapi pergantian fase. Dari yang semula melajang menjadi berpasangan. Bukan pula sebagai ajang pelarian agar terbebas dari masalah, justru dengan menikah trouble yang dihadapi akan sema...