4-Sebelas Duabelas

368 49 63
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

Hidup harus dibawa santai, tak usah terlalu dipikirkan, agar tak menjadi beban.

Hidup harus dibawa santai, tak usah terlalu dipikirkan, agar tak menjadi beban

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

KENINGKU mengernyit heran kala mendapati Bang Fariz yang pulang seorang diri. Bahkan, lelaki itu dengan santainya memarkirkan motor di pelataran rumah. Perasaan tadi pamit untuk mengantar Mama ke pasar, tapi pulangnya kok sendirian?

"Mamanya mana, Bang?" tanyaku setelah menyalami punggung tangannya.

Bang Fariz hanya mengedikkan bahunya acuh tak acuh, lantas memasuki rumah dan duduk di sofa. Aku pun ikut duduk di sisinya, meninggalkan sejenak kegiatanku yang tengah menyapu teras.

Beberapa saat kami terjebak keheningan, aku pun memilih untuk menelaah mimik wajahnya. Bibir Bang Fariz sedikit berkedut, seperti tengah menahan tawa. Tapi karena apa?

"Bang Fariz kenapa?" tanyaku pada akhirnya.

Dia malah menggeleng seraya terkekeh. Benar-benar aneh. Kira-kira apalagi yang lelaki ini perbuat? Otakku begitu gencar menerka-nerka.

"Bang Fariz langsung antar Mama pulang ke rumahnya?" tanyaku penasaran.

Setahuku, tadi Mama mengatakan akan mampir dulu ke mari. Terlebih aku pun menitip sesuatu pada beliau, tapi entah di mana keberadaan Mama sekarang.

Sebuah gelengan singkat tanpa penjelasan dia berikan. Kepalaku mendadak pening, tak mengerti dan tak bisa membaca isi kepala lelaki ini.

Tolonglah buka suara. Aku bukanlah paranormal, ataupun pakar mikro ekspresi yang bisa tahu hanya dengan melihat mimik wajah. Aku ini manusia normal yang butuh akan penjelasan.

Semakin hari, semakin banyak hal-hal baru yang kuketahui ihwal pribadi Bang Fariz. Tapi itu hanya sebagian kecil saja, sisanya hanya menerka-nerka. Bang Fariz terlalu berkawan dengan banyak keanehan.

"Ya udah aku mau nyapu lagi. Bang Fariz mau aku buatkan kopi dulu, gak?"

"Sirup melon aja. Tenggorokan Abang butuh kesegaran," sahutnya.

Senyum tipis lelaki itu berikan, dan aku pun mengangguk mengiyakan. Membiarkan dirinya sejenak beristirahat, siapa tahu masih kelelahan karena sudah berkendara. 

Aku pun bergegas ke dapur untuk menyiapkan pesanannya. Walau pikiranku masih riuh, memikirkan keberadaan Mama mertuaku saat ini.

Setelah selesai, aku pun membawa gelas berisi sirup melon tersebut di atas nampan. Namun, tungkaiku berhenti sesaat kala mendapati Mama berdiri tak jauh dari Bang Fariz.

"Lho, kok Mama ada di sini?" tanyaku bingung.

Tangan kanan beliau memegang wajan, sedangkan tangan lainnya membawa sebuah panci. Terlihat sangat kerepotan, tapi ekspresi beliau sangat bertolak belakang.

No Khalwat Until Akad || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang