بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
Namanya juga hubungan, tidak selalu berjalan indah sesuai dengan yang diharapkan.
BELANJA bulanan untuk kebutuhan rumah tangga merupakan sebuah keharusan. Dan sebagai suami yang baik Bang Fariz pun dengan senang hati mengintili ke mana pun langkah kaki ini pergi. Tangannya terampil mendorong sebuah troli, sedangkan tanganku dengan lincah mengambil berbagai jenis produk.
"Ambil sesuai kebutuhan, jangan mengikuti keinginan," peringat Bang Fariz berhasil menghentikan gerak tanganku yang hendak mengambil camilan.
"Iya, bawel!" sahutku malas, pasalnya kalimat itu sudah berulang kali Bang Fariz lontarkan, bahkan aku sudah mengingatnya di luar kepala.
"Semakin banyak barang yang kamu ambil, akan semakin lama kita di kasir," imbuhnya.
Aku menghela napas singkat dan mengangguk pelan. "Iya, Bang Fariz aku paham."
Bang Fariz memang seperhitungan itu jika sudah menyangkut ihwal pengeluaran. Dia ini tipikal orang yang menganut paham minimalis, membeli sesuatu sesuai dengan kebutuhan. Tapi, di mataku Bang Fariz itu terlampau pelit dan terlalu rewel dalam mengatur keuangan.
Jika aku ada di posisi Bang Fariz yang memiliki cukup uang, pasti aku akan membeli apa pun yang aku inginkan. Prinsipku lebih baik menyesal karena telah membeli dibandingkan harus menyesal karena tidak sempat membelinya. Beginilah jika si pemboros berjodoh dengan si perhitungan.
"Kamu kalau belanja tanpa bawa catatan suka ambil seenak hati. Abang kurang suka, selain mubazir kamu juga menghambur-hamburkan uang untuk hal yang tidak penting," cetusnya lagi.
Aku mendengkus kasar.
Belanja bulanan kali ini memang mendadak, tanpa persiapan. Selepas Bang Fariz pulang dinas dari luar kota aku langsung mengajaknya ke supermarket, sebab kebutuhan rumah tangga kami sudah habis tak tersisa.
Dan, yang paling penting kali ini kami menggunakan lembaran sebagai alat tukar sebab stok uang receh Bang Fariz belum diisi ulang. Sebenarnya tinggal mengambil di kediaman Mama, tapi dengan tegas aku menolak dan memaksa Bang Fariz untuk menggunakan uang kertas.
Terjadi perdebatan yang cukup alot memang, tapi dengan jurus memelas akhirnya dia mau mengalah. Menghadapi suami seperti Bang Fariz memang harus menggunakan akal yang cerdik.
"Ada yang mau Abang beli?" tanyaku memastikan.
Bang Fariz melihat ke arah troli yang sudah penuh sesak barang, dan dengan tegas dia pun menggeleng.
"Berlebih-lebihan itu perilaku setan, Kirania. Gak baik!" tegur Bang Fariz.
"Nah itu Abang tahu. Jadi, Abang juga jangan berlebihan pelitnya!" sahutku tak mau kalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
No Khalwat Until Akad || END
DuchoweSELESAI || PART MASIH LENGKAP NIKAH itu bukan penyelamat hidup, tapi pergantian fase. Dari yang semula melajang menjadi berpasangan. Bukan pula sebagai ajang pelarian agar terbebas dari masalah, justru dengan menikah trouble yang dihadapi akan sema...