Perjanjian-3

66 5 0
                                    

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Tejo dan kawan-kawannya yang kala itu tengah bermusyawarah di kejutkan oleh suara ketukan pintu di depan. Tejo segera membuka pintu depan. Di depan pintu, tampak Bu Lurah dan salah satu anaknya yang masih kecil di depan pintu.

"Nak, ini makan pagi untuk kalian," kata Bu Lurah sambil memberikan rantang susun itu pada Tejo.

Tejo terkejut sekaligus merasa sungkan. Dia keheranan.

"Terima kasih, Bu. Maaf kalau kamu merepotkan ibu," kata Tejo sambil tersipu malu.

"Oh, gak apa-apa. Ini tugas saya untuk menjamin keselamatan kalian selama disini," kata Bu Lurah.

Tejo terkejut. "Keselamatan?"

"Iya, Nak. Tadi Bapak berpesan pada ibu untuk menyampaikan hal ini. Kemarin Bapak sempat lupa mengenai pantangan di desa ini untuk kalian. Kalian jangan pernah memakan apapun has dari perkebunan di sini. Itu sebabnya, kami akan terus mengantarkan makanan ini untuk kalian. Dan ingat, selama di sini jangan sekalipun kalian mengambil makanan atau hasil kebun disini," pesan Bu Lurah.

Tejo terheran-heran mendengarny, namun dia sembunyikan perasaan herannya.

"Baik, Bu. Saya mengerti," kata Tejo menutupi keheranannya.

Setelah itu, Bu Lurah dan anaknya segera pergi dari tempat itu. Dia berjalan pulang kembali ke rumahnya.

"Teman-teman, ini sarapan pagi dari Bu Lurah," kata Tejo sambil membawa rantang.

"Waduh, kok kita jadi ngerepotin gini ya?" ujar Hendy keheranan.

"Teman-teman, kita gak boleh makan buah ataupun makanan dari warga sini. Pak Lurah lupa menjelaskan," kata Tejo menjelaskan pantangan itu

"Kok aneh ya? Kenapa?" tanya Heni keheranan.

"Sudahlah, Heni. Kita ikuti saja aturan ini. Kan kita bertamu di sini," balas Dinda yang sudah tahu sebelumnya.

Tejo membagi sarapan itu pada teman-temannya, dan mereka segera melahapnya. Dan, tak lama kemudian datanglah Pak Lurah bersama seorang pamong desa.

"Anak-anak, untuk memulai kegiatan kalian, nanti akan di dampingi sekertaris saya, Bu Lasmi karena hari ini saya sedang ada kegiatan di luar desa," kata Pak Lurah memperkenalkan pamong desa itu.

"Baik, Pak," jawab mereka semua.

"Bu, tolong dampingi mereka ya," kata Pak Lurah.

Pamong desa itu hanya mengangguk. Pak Lurah segera pergi. Sepeninggalnya Pak Lurah, Bu Lasmi mengajak mereka untuk menemui tokoh desa dan sesepuh di sana. Namun, dia menatap Heny dengan tatapan yang berbeda.

"Kenapa Bu Lasmi menatapku begitu tajam?" gumamnya dalam hati.

Akhirnya, mereka diajak oleh Bu Laksmi ke rumah seorang ketua RT. Di tengah perjalanan, Bu Laksmi menjelaskan bagaimana tradisi masyarakat desa itu. Di tengah perjalanan, ada sekelompok pria menatap mereka. Pandangan mereka tampak begitu sinis, namun genit pada pada gadis. Tejo dan kaean-kawan merasa risih. Dengan suara berbisik, Silvy bertanya pada Bu Lasmi.

"Bu, kenapa para pria tadi memandangi kami sebegutunya?" katanya dengan suara lirih.

Bu Lasmi tersenyum, "Kalian harus hati-hati disini. Mereka masih belum seberapa. Nanti, kalian akan mengetahui hal yang lain."

Mendengar perkataan Bu Lasmi, Hendy sempat tercengang.

"Lebih aneh bagaimana?" tanya Hendy penasaran.

Dan, tak lama kemudian apa yang di katakan Bu Lasmi pun mereka jumpai. Di sebuah balai yang ada di sebuah rumah, mereka melihat seorang gadis tengah bersenggama dengan seorang pria paruh baya tanpa merasa malu sedikitpun. Mereka semua terbelalak.

Kumpulan Cerpen HororTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang