Gladys terbangun dari tidurnya. Tubuhnya terasa panas, dan keringat dinginnya begitu deras membasahi tubuhnya. Dia merasakan ada yang salah pada dirinya. Tubuhnya begitu lemas dia merasakan panas di tubuhnya dan juga sakit kepala. Selain itu, perutnya begitu sakit.
"Ugh, perutku begitu sakit. Apa aku salah makan tadi?" tanyanya dalam hati.
Gladys berusaha untuk bangun, namun tubuhnya begitu lemas. Dilihatnya botol air mineral yang hendak dia berikan pada ayahnya di meja dekat tempat tidurnya. Karena begitu lemas, dia akhirnya mengambil botol itu dan meminum airnya. Diminumnya air itu hingga habis.
Setelah meminumnya, tubuhnya terasa makin panas.
"Lho, kenapa badanku makin panas?" keluhnya keheranan.
Perutnya semkin terasa sakit. Keringat dinginnya semakin deras mengucur, dan beberapa kali Gladys muntah. Setelah beberapa kali dia muntah, dia akhirnya muntah darah. Setelah muntah darah, dirasakannya tubuhnya begitu lemas, namun sakit kepalanya mulai mereda. Gladys kembali berbaring.
Dilihatnya hari telah pagi, namun dia masih lemas. Tak lama terdengar suara pintu kamarnya di ketuk.
"Ya , Bi. Masuk aja," kata Gladys dengan suara lemas.
Pintu di buka, dan seorang wanita paruh baya muncul.
"Non, kok wajah non Gladys pucat?" katanya dengan wajah keheran.
"Bi, badanku lemes banget," kata Gladys yang masih terbaring lemah.
Wanita itu begitu terperanjat melihat bekas muntah di sekitar tempat tidur Gladys. Wajahnya begitu sedih sekaligus ngeri.
"Ya ampun, Non. Ini bukan penyakit biasa," kata wanita itu.
Gladys mengernyitkan dahinya.
"Maksud Bi Inah apa?" tanya Gladys dengan wajah heran.
"Non, penyakit Non Gladys ini teluh," kata Bi Inah sambil melihat bekas muntahan Gladys.
Tampak bekas paku dan belatung di bekas muntahan Gladys. Sambil membersihkan lantai itu, wajahnya bergidik ngeri. Bi Inah segera mengambil kain dan tak berani menyentuh bekas muntahan Gladys. Bekas paku yang berasal dari muntahan itu diletakkan di dalam kresek dan di masukkan ke tempat sampah.
Gladys menceritakan mimpi buruk yang dialaminya semalam, dan juga kejadian yang menimpanya.
"Non, sebaiknya coba cari orang pintar. Kalau dari ceritanya, Non ini kena teluh. Beruntung Non Gladys masih selamat, tapi alngkah baiknya Non Gladys segera ke orang pintar buat jaga-jaga," kata Bi Inah sambil merapikan kamar Gladys.
Setelah memberaihkan kamar Gladys, Bi Inah segera pergi untuk mengambil makanan yang dia hidangkan untuk dirinya. Sepeninggal Bi Inah, Gladys teringat pesan Tono semalam.
"Waduh, air untuk papa ... ," katanya sambil memandangi botol air mineral yang kosong.
Buru-buru dia menghubungi Tono dan menceritakan kejadian yang dia alami semalam. Setelah selesai menelepon, Bu Inah masuk ke kamarnya sambil membawa sarapan pagi.
"Non, ini sarapan pagi buat Non," kata Bi Inah.
Gladys berusaha keras untuk duduk di ranjang, dan memakan hidangan itu.
"Oh ya, Bi. Papa kemana?" tanya Gladys sambil menyantap hidangan itu.
"Bapak sudah berangkat kerja, Non. Tadi pagi-pagi sekali Bapak berangkat. Katanya ada meeting di luar kota. Mungkin Minggu depan baru pulang," kata Bi Inah.
Gladys tampak cemberut, namun dia tetap berprasangka baik. Setelah sarapannya habis, Bi Inah kembali melanjutkan pekerjaan rumahnya, sementara Gladys kembali berbaring. Sore harinya, datanglah Tono bersama seorang ulama. Tono langsung di persilahkan BI Inah untuk masuk. Namun, sang kyai yang bersama Tono melihat ke sekeliling. Dia seperti mencari sesuatu.
"Saya akan kelilingi dulu rumah ini. Mungkin, ada hal yang tak beres," kata Kyai itu.
Tono membiarkan orang itu mengelilingi rumah Gladys. Ketika di samping kiri, Kyai itu mengambil beberapa kerikil. Dia berdo'a sambil menggenggam kuat-kuat kerikil itu, lalu kembal ke pintu depan. Dilemparkannya kerikil itu, dan terdengr ledakan keras. Tono dan BI Inah terkejut.
"Pak, tadi itu apa?" tanya Tono.
"Nanti saya jelaskan," jawab Pak Kyai singkat.
Bersama Ni Inah dan Tono, Pak Kyai mulai masuk ke rumah. Ruangan yang begitu besar itu dia amati. Tatapannya terhenti di sebuah ruangan. Dia berjalan ke sebuah ruangan dan berhenti di depan ruang kerja Rheinaldy. Dia menatap lemari arsip di ruang kerja itu.
"Hei kamu! Siapa yang suruh kamu?!" bentaknya sambil menatap tajam.
Tiba-tiba angin di dalam ruangan itu berhembus kencang. Pak Kyai tetap melakukan perlawanan, sementara Tono dan BI Inah begitu ketakutan. Dengan tenang, Pak Kyai terus berdo'a. Setelah membaca suatu ayat, dia mengambil surbannya, dan memukulkannya dengan keras ke depan lemari arsip.
DHUAR!! kembali terdengar ledakan, dan situasi akhirnya kembali tenang. Angin yang berhembus itu seketika berhenti.
"Alhamdulillah," kata Pak Kyai.
Pak Kyai langsung melangkah menuju ke lantai dua. Dan, dia kembali berhenti di depan sebuah kamar. Dia menatap ke arah pojok kamar itu, lalu melempar kerikil. Dan, sesuatu terjatuh dari atas lemari. Dengan tenang, dia hampiri lemari itu.
"Astaghfirullah ... ," katanya sambil mengambil benda itu.
Sambil berdo'a, Pak Kyai membuka buntalan kecil itu, dan ternyata berisi paku dan pecahan beling.
"Tono, masukkan benda ini ke dalam botol yang tadi aku berikan kepadamu," perintah Pak Kyai.
Tono segera melaksanakannya. Dia mengambil botol kecil dan di masukkan ya benda itu ke dalam botol. Selanjutnya, mereka berjalan ke kamar Gladys. Di depan pintu kamar, Pak Kyai kembali memukulkan surbannya. Namun, kali ini dia terpental.
"Pak Kyai, apakah anda baik-baik saja?" tanya Tono sambil menolongnya.
"Alhamdulillah saya baik-baik saja," katanya dengan nada tenang.
Pak Kyai kembaliembaca Do'a. Dia membaca ayat kursi sambil memegang surbannya kuat-kuat. Dan, setelah beberapa kali membaca ayat kursi, dia kembali memukul pintu dengan surbannya.
"Hei, pergi kamu dari sini!" bentaknya.
Setelah beberapa saat, Dia menatap Bi Inah.
"Bi, tolong pintunya di buka," kata Pak Kyai.
"Baik, Pak," balas Bi Inah sambil membukakan pintu kamar Gladys.
Setelah pintu di buka, tampak Gladys yang masih terbaring lemah. Dengan wajah pucat, dia pandangi Tono dan Pak Kyai.
"Syukurlah dia masih selamat," kata Pak Kyai pada Tono.
Tono melihat air mineral yang sudah habis. Pak Kyai langsung melakukan Ruqyah untuk mengobati Gladys. Baru saja Do'a di bacakan, Gladys langsung berteriak histeris. Tatapan matanya begitu liar dan tajam. Tubub yang tergolek lema itu mendadak bangkit dan menantang Pak Kyai.
"Hei kamu! Jangan campuri urusanku!" katanya dengan suara berat dan menunjuk ke arah Pak Kyai.
Pak Kyai menjawab dengan tegas,"Kamu keluar dari tubuh ini, atau aku akn membakarmu!"
Sosok itu tetap tak mau keluar. Dia justru menantang Pak Kyai. Dengan kekuatan besar, sosok itu berusaha menghajar Pak Kyai, namun usahanya sia-sia. Pak Kyai tak bisa tersentuh. Do'a-do'a yang di lantunkan Pak Kyai membuat sosok itu merasa panas.
"Tidak! Aku tidak mau keluar! Aku harus bawa tubuh ini!" teriaknya histeris.
Pak Kyai terus membaca Do'a sambil memukulkan surbannya ke tubuh Gladys. Teriakan itu makin histeris, dan akhirnya Gladys kembali pingsan. Bu Inah dengan di bantu Tono kembali membopong tubub Gladys yang masih pingsan. Ketika membaringkan tubuh itu, Pak Kyai melihat sesuatu di sudut kamar Galdys. Dia langsung menghampirinya.
"Ya Allah," katanya sambil mengambil sebuah buntalan kecil di sana.
Dia membukanya, dan ternyata berisi jarum, tulang bekas, dan potongan rambut yang di ikat dengan karet gelang.
"Kasihan dia. Rupanya, ada orang di tempat kerjanya yang menginginkan kematiannya," kata Pak Kyai.
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen Horor
TerrorKumpulan cerpen horor dengan berbagai kisah. Semoga cerita ini menghibur.