CHAPTER 23

374 12 2
                                    

CHAPTER 23

Hari ini adalah hari yang membahagiakan untuk Eysha, meskipun tidak sempurna bahagia itu. Pagi ini Abraham dan Kania datang ke rumahnya dan bercerita banyak hal sebelum mereka memutuskan untuk pergi ke sebuah taman penuh bunga dengan danau di depannya. Tempat yang sering mereka datangi, entah untuk duduk-duduk saja atau mengenang masa kecil.

Rasanya sudah lama sekali tidak sedekat ini bertiga, banyak yang sudah berubah dari taman juga danau di depannya. Kania memeluk Eysha, pelukan itu hangat dan kuat tidak seperti biasanya. Tetapi, Eysha tetap saja hanya merasakan kesenangan.

Nanti sore, Calvin mengajaknya untuk pergi mencari kebutuhan pernikahan yang akan diselenggarakan sebentar lagi. Menghitung hari?

Bagaimana Eysha tidak senang jika tiba-tiba Calvin bersikap baik seperti itu bahkan memiliki niat untuk mencari keperluan-keperluan untuk menikah, dan setelah menikah. Menetap di rumah yang hanya ada dirinya dan Calvin, apakah Eysha akan siap memulai lembar baru itu dalam kehidupannya?

Kania tersenyum lembut. "Tambah besar aja baby. Bentar lagi lahiran ya?" tanyanya.

Abraham selalu gemas dengan apa saja yang Kania katakan dengan begitu polosnya. Bagaimana bisa kandungan berusia 4 bulan bentar lagi lahiran? "Kania, mengandung itu butuh waktu berapa lama, sih?" tanya Abra dengan nada sabar.

"Aku tau Abra!" sewot Kania.

Abraham? Salah lagi, salah lagi. Ia tersenyum terpaksa. "Kalo udah tau gak usah nanya dong."

"Suka-suka aku dong? Ini mulut aku!"

"Iya-iya, Kania. Sensian banget?"

"Gak suka?"

"Suka, Kan."

"Jadi kamu suka aku marah-marah, Abra?!"

Abraham terdiam. Harus menjawab seperti apakah?

"Jawab, Abra!"

Abraham menghela napas panjang dan menghembuskannya perlahan. "Kania, Kania yang lucu.. Baikan, ya?" Abraham mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

Kania dengan wajah sangat kesal menyambut tangan itu seadanya. "Awas aja!" ancamnya.

Eysha tertawa kecil. "Selalu aja," ucapnya. "Masih 5 bulan lagi, Kan."

"Ngomong-ngomong kenapa kemarin-kemarin kayak hilang gitu aja, Kan? Gue chat gak dibalas juga," tanya Eysha ingin tahu.

Kania menggeleng cepat, tetapi seperti tengah menyembunyikan sesuatu. "Gak apa-apa kok, lagi mau sendiri aja kemarin."

Kania memang sudah kembali seperti Kania yang dulu, yang bersahabat dengan Abraham dan Eysha. Tetapi hatinya, siapa yang tahu? Kania terpaksa mengubur dalam perasaannya untuk Abraham, karena ia tahu bagaimanapun dirinya sudah kalah jauh. Kalah sebelum memulai.

Sejak tadi Kania enggan menatap Abraham, walaupun tengah berbincang dengan laki-laki itu. Kania hanya berusaha untuk tetap kuat meskipun sebenarnya telah retak hatinya setiap kali mengingat bahwa cintanya adalah sepihak.

"Beneran? Gak mau cerita aja nih?" tanya Eysha sekali lagi.

"Cerita aja dong, Kania. Kita dari dulu juga selalu terbuka," bujuk Abraham.

Kania menggeleng lagi, seolah berkata tidak ada apa-apa yang terjadi. "Kok jadi bahas aku sih, aku baik-baik aja gini. Kemarin emang lagi begitu aja, gak apa-apa juga," kekehnya.

"Eysha boleh gak nama anak kamu aku yang kasih?" tanya Kania random.

"Itu anak Eysha, bukan anak lo. Masa lo yang kasih nama," ujar Abraham. Memulai perdebatan lagi.

Kania memutar kedua bola matanya. "Iya. Ini anak Eysha, bukan anak kamu. Jadi aku tanya ke Eysha, bukan kamu. Bisa gak kamu diam aja? 5 menit aja aku ngobrol sama Eysha tanpa suara kamu!!" Kania kesal lagi.

Abraham tertawa, ocehan Kania selalu lucu untuknya. Ia mengusap rambut Kania lama, perempuan itu baru saja potong rambut sampai pendek.

"Gak biasa liat lo rambutnya pendek, Kan. Selama ini selalu panjang," ujar Eysha memandang Kania. "Tapi cantik."

Kania tersenyum, kikuk. "Iya, lagi pengin aja. Makasih banget Eysha, kamu juga

cantik!!"

"Lucu kok, kayak dora."

"Kamu kali, Abra. Kayak boots!"

Abraham tertawa lagi. Suasana ini sudah lama ia rindukan karena akhir-akhir ini mereka seolah memisahkan diri satu sama lain.

Eysha yang pusing dengan kehidupannya sekarang, Abraham yang tertolak cintanya, dan Kania yang mencintai dalam diam. Seperti inikah rumitnya jika memiliki perasaan yang tidak searah ketika menjalin sebuah persahabatan?

Kabar pernikahan Eysha dan Calvin pun sudah diketahui oleh keduanya. Jika bisa masuk ke dalam hati terdalam Abraham, pasti sudah hancur lebur di dalamnya. Cinta? Masih adakah harapan untuk itu?

"Berarti sekitar satu minggu lagi dong, Sha?" tanya Kania.

Eysha mengangguk. "Nanti sore mau cari kebutuhan pernikahan sama Calvin. Doain ya, Kan, Bra. Semoga semuanya berjalan dengan lancar," kata Eysha, terharu.

Abraham termenung beberapa saat. Kembali mengulang segala kenangan dirinya bersama Eysha yang datang begitu saja dalam pikirannya. Tetapi sebentar lagi Eysha akan sah menjadi istri dari laki-laki lain. "I hope you have a happy married life, Eysha."

Eysha hanya tersenyum. Ia tahu pasti kabar itu mengejutkan untuk Abraham ketahui, tetapi cepat atau lambat mereka pun harus tau, kan? Eysha tidak mungkin menyembunyikan itu.

"Makasih, Abra. Kamu juga harus bahagia, ya."

***

"Anak kita perempuan?" tanya Calvin setelah berada di dalam mall.

Eysha mengangguk semangat. "Iya."

"Jadi kita mau beli apa dulu untuk keperluan kita nanti? Baju bayi?"

"Iya, Vin! Aku udah gak sabar pilih-pilih. Pasti lucu," ujar Eysha sangat senang.

"Kita sebentar lagi menikah, Sha. Kamu siap untuk itu?" tanya Calvin, ragu?

"Aku yakin kalo kamu juga yakin, Vin. Pernikahan itu dijalanin sama dua orang, kalo kita sama-sama siap aku yakin semua bakal baik-baik aja."

Sambil berjalan tanpa arah, keduanya banyak berbincang tentang kehidupan setelah menikah. Umur mereka berdua terbilang masih sangat muda untuk benar-benar serius melanjutkan ke jenjang itu, tetapi ini pernikahan yang memang harus dilaksanakan.

"Kamu yakin kita bakal jadi orang tua yang baik nanti?"

"Yakin, Vin. Jadi orang tua itu selalu belajar."

Calvin berdeham, sepertinya akan sangat berat menjalani hari yang baru itu. Jujur ia masih belum yakin, tetapi pikirnya apa salahnya untuk mencoba dulu?

"Anak kita juga butuh papanya, Vin. Aku yakin kok kita berdua bisa jadi yang terbaik," kata Eysha memecah keheningan.

"Tapi aku juga butuh keyakinan dari diri kamu. Aku gak bisa berdiri sendirian di kehidupan yang seharusnya ada dua orang."

"Tapi apa kamu pernah mikir kalo kita masih muda banget?"

"Semua udah terjadi, kita harus bertanggung jawab."

"Kita putus sekolah, Sha. Pasti satu sekolah pun udah tau keadaan kita sekarang kayak apa. Aku juga udah gak punya teman," kata Calvin.

"Aku tau banyak keraguan dalam diri kamu sekarang. Sebelum semuanya terjadi dan kita benar-benar menikah, pastiin dulu diri kamu benar siap sama aku atau nggak? Kamu selalu punya pilihan, aku nggak akan pernah maksa apa-apa."

Keadaan membuatku paham bahwa cinta semasa remaja tidak akan pernah sama dengan cinta pada masa pernikahan. Akan mudah dijalani jika kedua orang sama-sama merasa perlu, tetapi jika hanya salah satunya?

Setelah baca tolong kasih vote yaa!! Thank you💗

Expect A Happy Ending [completed🧚🏻‍♀️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang