CHAPTER 27

325 11 2
                                    

CHAPTER 27

Abraham, mungkin aku hanyalah perempuan yang telat menyadari perasaan yang telah kamu punya selama ini. Kini, aku bagimu hanyalah harapan kosong yang tidak bisa diperjuangkan sekali lagi. Aku telat menyadari bahwa ternyata selama ini secara terang-terangan telah menghancurkan perasaanmu sedikit demi sedikit. Hal ini telat untuk aku ketahui, Abra. Andai saja belum sampai sejauh ini aku berlabu, bisa jadi untuk mencoba menumbuhkan perasaanku kepadamu masih ada kesempatan.

Aku kira saat kamu berniat untuk menikahiku, itu hanyalah penguat karena kamu merasa bertanggung jawab sebagai seorang sahabat. Aku kira kamu tidak berniat sungguh-sungguh dengan cinta. Tetapi mengapa aku baru tahu hal ini setelah menikah dengan laki-laki yang salah?

Abra, aku tahu kamu adalah laki-laki yang sangat baik. Dan bila waktu telah membawamu untuk menikah juga, teman hidupmu akan bahagia, anak-anakmu akan bangga memiliki orang tua seperti kamu. Tetapi maaf karena telat menyadari itu, Abra. Aku tidak punya banyak kemampuan untuk keluar dari lingkaran kesalahan ini, tetapi setidaknya melihat kamu menemukan perempuan yang lebih baik akan membuat aku sedikit lega.

Kelak ketika anakku sudah besar, akan aku ceritakan dirimu sebagai sosok yang sangat baik semasa pertumbuhannya di dalam kandunganku. Yang selalu berusaha untuk membuat aku tidak banyak pikiran, yang selalu membawakan makanan-makanan yang katanya sehat untuk ibu hamil, dan juga sebaik kamu yang selalu punya waktu untuk mengantarkanku ke rumah sakit. Semua itu telah aku catat baik-baik dalam ingatan, Abra.

Meskipun bukan kamu yang akan dipanggil oleh anakku dengan sebutan "Papa", tetapi setidaknya ia akan tahu bahwa laki-laki bernama Abrahamlah yang selalu mencintai dirinya bahkan jauh sebelum hari kelahirannya.

Seperti itulah isi hati Eysha ketika mengetahui sebuah kabar yang sangat mengejutkan baginya. Kania yang memberi tahu bahwa Abraham suka kepadanya sejak lama. Kania kesal karena semenjak hari pernikahan Eysha dan Calvin, laki-laki itu benar-benar berubah dengan menutup diri dan hatinya.

Eysha mengusap air matanya sesekali, bagaimana bisa Eysha menganggap ajakan menikah Abraham sebagai hal candaan saja? Lalu setelah dirinya dan Calvin menikah, Abraham jadi menjaga jarak seperti ini. Eysha tidak pernah berharap bahwa persahabatannya akan putus karena salah satunya sudah ada yang berumah tangga.

"Abra, gue tau lo orang baik. Untuk bisa menikah nanti, pasti lo bakal nemuin perempuan yang lebih baik dari gue. Yang bakal kasih lo anak murni dari lo, bukan dari laki-laki lain," ujar Eysha pelan.

Sedangkan Calvin, bertanggung jawab saja tidak. Kesehariannya adalah bertengkar, tidak ada kebahagiaan sama sekali. Apakah harus merasakan kehilangan untuk kedua kalinya agar Calvin bisa menyadari bahwa menghidupi keluarga itu merupakan tanggung jawab kepala keluarga?

"Kenapa lo Sha?" tanya Calvin yang melihat Eysha melamun.

Eysha tak acuh dengan pertanyaan itu. "Vin, haruskah rumah tangga kita gak bahagia kayak gini? Yang selalu diisi berantem setiap hari, gak pernah harmonis. Lo gak capek? Emang gak bisa kita jalanin kayak dulu semasa pacaran dan semuanya baik-baik aja?" tanya Eysha.

"Siapa yang selalu mulai, Sha? Gue gak pernah memulai," jawab Calvin.

"Tapi pertanyaan gue selama ini untuk keluarga kita. Kalo lo gak kerja dan keuangan kita gak bagus, gimana buat ngebesarin anak kita? Jangan selalu berharap ke Mama sama Papa, udah berapa kali gue bilang? Gak akan selalu dibantu, Vin. Kita udah menikah dan udah seharusnya kita memulai ini sama-sama," ucap Eysha panjang lebar lagi seperti kemarin-kemarin.

"Anak kita udah 6 bulan. Berapa lama lagi bakal lahir? Dan lo bisa bayangin kebutuhannya apa aja."

"Sha. I never agreed to marry you. I'm not ready," tegas Calvin.

Eysha tertawa pasrah. "Not ready? Siapa yang menyetujui pernikahan ini?"

"Bukan pilihan gue, Sha. Setelah anak itu lahir kita cerai aja, gue juga gak bahagia lagi," putus Calvin.

Eysha masuk ke dalam kamar dan membanting pintunya keras. Ingin rasanya ia berteriak kemcang untuk meluapkan semua yang ada di dalam dirinya. Ditinggal kedua orang tua dan adiknya, salah satu anaknya meninggal, Abraham menjauh, Calvin yang suaminya pun memilih untuk berpisah dan tidak merangkul kelemahannya. Semuanya hancur, tetapi ketika berusaha untuk pergi dari dunia, seakan selalu ada cahaya yang berasal dari satu anak di kandungannya yang meminta untuk bertahan. Kalau saja bukan karena kamu, aku pasti sudah pergi sejak lama.

***

Calvin pergi ke sebuah klub malam karena tidak tahan dengan suara Eysha yang menurutnya sangat berisik. Suara tangisan itu membuatnya pusing. Hal ini menjadi kebiasaan baru Calvin ketika merasa tidak nyaman di rumah, mencari kebahagiaan dengan perempuan lain tanpa memedulikan istri bahkan anaknya.

Calvin enggan mengakui bahwa dirinya jahat. Menurutnya, ia tidak salah karena sejak awal sudah berusaha menolak tetapi pernikahan tetap harus berjalan akibat paksaan kedua orang tuanya itu. Lalu kini jika ia tidak mau bertindak sebagai kepala keluarga, ia tetap tidak mau.

"Jadi istri lo marah-marah lagi?" tanya Alden, teman baru Calvin di sini. Karena Kenzo, William, dan Bryan sudah sibuk dengan urusannya tanpa memedulikan Calvin, Calvin pun akan bertindak seperti itu. Baginya teman di dunia ini bukan hanya mereka bertiga.

"Kayak biasa."

Alden tertawa. "Bagus lah lo ke sini, banyak hiburan."

"Mau cerai aja gue, baru umur segini mana mungkin siap nikah," jawab Calvin.

"Cerai tinggal pilih mau cewek yang mana. Itu di depan banyak," jawab Alden sambil menunjuk banyak wanita di depannya.

"Nikah gak penting," ucap Calvin menutup obrolan itu karena ia sudah berpindah untuk duduk dengan wanita di sana.

Andai saja Eysha tahu hal ini, pastinya bercerai adalah pilihan yang tidak akan ia tunda-tunda.


Setelah baca tolong kasih vote yaa!! Thank you💗

Expect A Happy Ending [completed🧚🏻‍♀️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang