CHAPTER 37

331 12 6
                                    

CHAPTER 37

Kania berjalan dari dalam rumahnya menuju tempat di mana Eysha dan Abraham berada. "Maaf ya kalo lama," katanya.

Abraham memperlihatkan kertas yang sejak tadi ia perhatikan, dibacanya baik-baik. "Lo lagi kenapa, Kan?" tanyanya pelan.

Eysha pun menoleh pada arah yang sama dengan Abraham, memperhatikan Kania. "Kok tulis begitu, Kan? Kita bakal selalu sama-sama kok bertiga. Kayak janji kita waktu kecil."

Kania yang terkejut dengan cepat mengambil kertas tersebut berikut dengan buku miliknya yang berada di atas meja. "Kalian kok baca?!" ujar Kania panik, nadanya sedikit meninggi.

"Maaf, Kan. Tadi cuma mau liat bukunya karena bagus, tapi tiba-tiba kertas itu jatuh," ungkap Abraham jujur.

"Aku gak apa-apa! Jangan mikir yang aneh-aneh," peringat Kania.

Sedangkan Eysha memilih untuk mengusap-usap pipi anaknya, Abraham justru semakin curiga kalau Kania tengah menyembunyikan sesuatu dari dirinya serta Eysha.

"Kan, kita udah temanan lama, udah bertahun-tahun. Lo gak perlu bohong," ujar Abraham pelan-pelan, Kania menghampiri Eysha untuk duduk di sebelahnya.

"Lo gak akan pernah sendirian, Kan. Sampai lo nikah, kita tetap sahabat," lanjutnya.

Kania terduduk dengan kikuk. Ia tidak suka situasi seperti ini yang membuatnya terasa menjadi pusat perhatian. "Udah. Gue gak mau bahas soal ini."

Abraham dan Eysha mencoba untuk memahami, karena semakin bertambahnya usia mungkin ada beberapa hal yang tidak bisa dibagi meskipun dalam sebuah persahabatan. Setiap orang berhak memilih, termasuk Kania yang memilih untuk tidak ingin membahasnya lebih jauh.

"Walaupun semisal nantinya gue sama Eysha nikah, kita gak akan ngelupain sedikit pun tentang lo, Kan."

Eysha mengangguk perlahan-lahan. Anggukan yang membuat Kania terus memperhatikannya dengan perasaan sakit. Apa itu artinya Eysha sudah mulai menerima perasaan Abraham?

Kania mengangguk singkat. "Iya itu cuma ketakutan biasa aja kok. Gue selalu dukung jalan apa pun yang kalian pilih, yang buat kalian bahagia," katanya.

"Kita juga masih terlalu muda untuk nikah, kok, Kan. Kalo bukan karena anak gue, gue juga gak akan pernah mutusin untuk nikah semuda ini. Gue sama Abraham tetap sahabat, kita bertiga bakal sama-sama terus," ujar Eysha.

"Kita ke sini buat ajak lo pergi ke danau. Mau?" tanya Abraham.

Kania berpikir sejenak. "Kayaknya lo berdua aja deh, Bra, Sha. Hari ini gue lagi ada kerjaan," tolaknya.

"Kerjaan apa? Lo udah mulai kerja, Kan?" tanya Eysha yang sama sekali tidak tahu. Kania memang sudah jarang sekali bercerita sejak kejadian berbulan-bulan yang lalu.

Kania mengangguk. "Kerja sambil kuliah. Nanti sore gue harus kerja, jadi kemungkinan untuk saat ini gue belum bisa."

"Tumben gak cerita-cerita, Kan. Yaudah kalo kayak gitu, mungkin lo lagi butuh waktu buat sendiri, ya? Jangan pendem apa-apa sendirian, ya, Kan. Kita selalu ada buat lo, buat segala cerita yang mau lo bagi," ujar Abraham penuh perhatian.

"Iya, Kan. Kita berdua dari dulu selalu cerita-cerita tentang rencana-rencana kita di masa depan, untuk bisa kuliah dan kerja bareng. Tapi keadaan gue sekarang gak memungkinkan buat ngelanjutin kuliah, lo harus semangat ya jalanin kedua kegiatan baru itu? Lo hebat banget," timpal Eysha dengan senyumannya.

Kania mengangguk lagi. "Makasih ya, Abra, Eysha."

Kania mengantar Eysha dan Abraham keluar rumahnya dengan senyuman, senyuman kebohongan itu. Kania merasa sebentar lagi ia harus jujur dengan perasaannya di depan kedua orang tersebut, mungkin setelah itu ia akan merasa lebih tenang. Walaupun akan ada rasa canggung di antaranya, Kania pikir itu akan tetap lebih baik dibandingkan memendam rasa sakit lebih lama lagi.

***

"Udah lama kita gak ketemu. Apa kabar, Kan?" tanya Bryan yang berada di salah satu kedai kopi, tempat di mana Kania bekerja.

"Eh?" Kania mengangkat wajahnya. "Bryan?"

Bryan tersenyum lebar. "Kamu apa kabar? Sekarang kerja di sini?"

"Iya, Bry. Aku bosen di rumah terus, itung-itung buat nambahin bayar kuliah, deh," ujar Kania yang tengah melayani pelanggan. Ya, kini pelanggannya adalah Bryan. "Mau pesan apa, Bry?"

"Ngobrol dulu, yuk? Udah lama engga," ajak Bryan yang langsung disetujui oleh Kania. Mereka duduk di salah satu meja dalam kedai tersebut setelah Kania meminta izin kepada temannya.

"Kenapa chat terakhir aku gak dibales-bales, Kan? Bahkan berkali-kali aku chat, tetap gak dibaca. Kamu baik-baik aja, Kan?" tanya Bryan memulai percakapan.

Kania menghembuskan napasnya pelan. "Maaf ya, Bry. Aku gak bermaksud apa-apa, aku cuma gak mau kasih kamu harapan palsu. Aku tau kamu punya perasaan ke aku, tapi aku masih belum bisa," ucap Kania hati-hati. Setelah berkata seperti itu, Kania mengangguk samar. "Aku baik, kamu sendiri gimana?"

Bryan mengangguk sadar diri. "Baik, Kan," jawabnya.

"Lagi juga hubungan kamu sama mantan pacar kamu itu lama loh, Bry. Secepat itukah kamu bisa berpaling ke perempuan kayak aku yang baru kamu kenal?" tanya Kania.

"Aku udah lupain dia."

"Secepat itu?"

"Iya."

"Apa alasannya?"

"Alasan apa? Mau gimanapun aku sama dia gak bisa dilanjutin karena perbedaan di antara kita."

"Kamu bisa terus berjuang kalo emang kamu serius sama dia. Aku dukung kamu, Bry."

"Berjuang kayak gimana? Dia udah tunangan, dia bahagia sama pasangannya yang seagama."

"Selama belum menikah," kata Kania datar.

"Aku mau dia bahagia. Dengan atau tanpa aku," kata Bryan sedih.

"Kamu sedih, Bryan. Itu artinya kamu belum selesai sama masa lalu. Jangan ajak aku masuk ke dalam hidup kamu, Bry. Aku udah berkali-kali sakit hati dan aku gak mau lagi."

"Kita bisa mencoba, Kan?"

"Gak ada hati yang bisa dicoba-coba, Bry."

"Kita bisa berteman, kan? Kita gak harus lebih dari itu buru-buru," timpal Kania. "Kamu bilang kamu mau jadi tempat cerita aku, jadi teman curhat aku. Kalo begitu aku juga bisa, Bry. Kita sama-sama nguatin satu sama lain, ya?"

Bryan tersenyum pahit. Apa mungkin benar kalau dirinya belum benar-benar bisa melepas? Tetapi setiap mendengar ucapan dari mulut Kania, hatinya terasa tenang dan nyaman. Bryan tidak mengerti perasaan seperti apakah ini?

"Iya, aku paham, Kan."

"Teman?" Kania menjulurkan jari kelingkingnya.

Bryan menyambutnya meskipun sedikit terpaksa dengan kata teman itu. "Iya, teman."

Setelah baca tolong kasih vote yaa!!💓

Expect A Happy Ending [completed🧚🏻‍♀️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang