CHAPTER 35

402 13 2
                                    

CHAPTER 35

Eysha tidak menyangka bahwa akhir dari hubungannya bersama Calvin harus menghadapi yang namanya perceraian. Selama ini, sejauh ini, dan sudah sepanjang ini umur kisahnya tidak pernah menjamin akan menjadi akhir yang bahagia. 3 tahun sudah menjalin cerita indah yang selalu Eysha damba-dambakan, menjadi kekasih Calvin tidak pernah sedikitpun ia berpikir bahwa berpisah akan dirasakannya.

Kini Eysha mendapati dirinya tengah sibuk menyiapkan segala kebutuhan untuk proses perceraian. Eysha tahu usianya masih sangat muda dan akan ada banyak perjalanan baru di depan, tetapi Calvin, terima kasih untuk segala hal yang pernah terjadi.

Dalam kesibukannya, ada Abraham yang selalu punya waktu untuk membantu menjaga Brasha, anak kesayangannya.

Setelah berbagai cara Eysha lakukan untuk mempertahankan rumah tangganya, Calvin selalu enggan berusaha menjadi lebih baik. Kini sudah tidak ada alasan lagi untuk memilih bersama terlebih ketika Arsen menceritakan segalanya.

"Sha, gue mohon kita bisa bangun ini sama-sama lagi." Calvin menahan tangan Eysha yang sedang membawa tas-tas yang berisi pakaiannya bersama Brasha. Pergi dari rumah ini adalah pilihan yang menurut Eysha paling tepat, berpisah dan berjalan sendiri-sendiri.

"Udah gak bisa lagi, Vin. Udah cukup gue selama ini coba buat pertahanin ini semua. That's more than enough."

Calvin menahan salah satu tangan Eysha agar tidak beranjak. "Sha, gue baru sadar sekarang kalo lo dan anak kita itu berarti buat gue," mohonnya.

Eysha menghempaskan tangan itu kasar. "VIN! Lo pikir gampang buat gue ambil keputusan sebesar ini? Berkali-kali gue coba buat sekali lagi, sekali lagi, dan sekali lagi sama lo. Berapa banyak alasan gak masuk akal yang gue coba satuin sama lo biar kita bisa selalu sama-sama? Selama ini gue bilang gue cinta lo, gue mau kita selalu sama-sama. Tapi apa balasan lo, Vin? Apa?"

"Waktu gue melahirkan kemarin, lo ke mana?" tanya Eysha masih berbaik hati, walaupun kedua matanya sudah panas menahan air mata.

"Sha."

"Abraham yang selalu ada sama gue."

Abraham ada di ruangan ini, membiarkan Eysha mengeluarkan segala isi hatinya agar perempuan itu lega. Setelah ini Abraham yang akan memberikan rumah hangat baru untuk Eysha dan anaknya, tidak ada yang akan ia perbolehkan menyakiti kedua hati perempuan itu.

Usianya masih 19 tahun, tetapi Abraham tahu ia harus segera menyusun segala rencana masa depan. Ia harus memulai banyak hal baru untuk menyambut lembaran yang baru juga. Kehidupan pernikahan masih sangat jauh baginya, setidaknya bisa membuat Eysha bahagia sudah cukup untuk sekarang.

Eysha mengeluarkan air mata seraya melampiaskan kemarahannya selama ini. "Bertahun-tahun kita bareng, Vin. Udah berapa banyak kata cinta yang lo ucapin buat gue dan ngeyakinin gue atas hubungan ini? Berapa banyak jatuh-bangun yang kita hadapi? Tapi semudah itu, kan, buat lo ngejar gue cuma karena uang? Gue ini apa, Vin?" jeda Esyah. "Emang seharusnya dari awal gue gak percaya percintaan remaja, Vin. Gue gak harus percaya sama cinta anak umur 16 tahun."

Mengusap air mata yang turun di kedua pipinya, Eysha menoleh kepada Abraham yang tengah menggendong Brasha. "Lo tenang aja Vin, waktu anak gue udah besar pasti gue kasih tau siapa papa dia. Gue gak akan ngelarang kalo dia mau ketemu sama lo, tapi gue harap lo ngehargain keputusan gue buat pisah."

"Ini juga gak mudah buat gue, Vin. Lo orang yang gue idam-idamkan untuk jadi suami tapi ternyata harus berakhir kayak gini. Gue minta maaf kalo selama jadi pacar bahkan istri lo, gue masih banyak kekurangannya yang gak pernah bisa menuhin ekspektasi lo itu."

"Sha, kita bisa mulai semuanya dari awal kalo kita sama-sama mau. Gue percaya gak ada kata terlambat buat jadi lebih baik. Bayi itu anak kita, Sha, bukan anak lo sama Abraham. Apa kesalahan gue ini buat lo ngelupain gue gitu aja?" Calvin masih mencoba untuk mengembalikan apa yang sudah hancur.

"Gak ada jaminannya, Sha." Abraham berdiri dari duduknya. "Tolong hargai keputusan Eysha, dia pantas bahagia."

"Gue gak bicara sama lo, Abra!"

"Eysha tanggung jawab gue sekarang," ujar Abraham seraya mengambil sebelah tangan Eysha dan menggenggamnya keluar rumah ini.

"Lo siap pergi dari rumah ini, Sha?" tanya Abraham sejenak sebelum mereka benar-benar pergi.

Eysha menutup matanya sebentar, ini tidak akan sesulit bayangannya.

"Iya, Abra. Makasih banyak, ya."

Perjalanan membawa mereka menjauhi rumah penuh kenangan buruk untuk Eysha. Surat-surat yang dibutuhkannya pun sudah tersimpan rapih dalam tas. Karena mau bagaimanapun, Eysha telah menyadari bahwa hidup terlalu lama untuk dijalani dengan orang yang tidak membawa kebahagiaan. Eysha pun tidak berkata setelah ini ia akan menikah dengan Abraham, baginya kehidupan pernikahan memberikan bekas yang terlalu mendalam untuk ia jalani sekali lagi. Eysha terlalu takut dengan dunia pernikahan ini.

Eysha terus saja menangis meskipun tidak ada Calvin di dalam mobil ini. Semua terasa menyakitkan untuknya yang masih belum siap.

Abraham sesekali memandang sendu Eysha di sebelahnya. "Sha, it's okay. Gue selalu di sini sama lo," katanya pelan.

"Kenapa gue harus ngalamin ini semua, Abra. Hamil di luar nikah, keluarga ninggalin gue, terus sekarang gagal dalam pernikahan. Dunia seolah gak kasih gue waktu buat napas," ujar Eysha sambil terisak.

Abraham menghembuskan napas pelan. "Hidup itu penuh teka-teki, Sha. Banyak hal jauh dari dugaan yang mungkin terjadi, tapi kita harus bisa liat sisi positifnya. Lo bisa bersyukur sekarang punya anak yang cantik dan lucu," kata Abraham sekilas melihat Brasha yang tertidur.

"Apa pun, Sha. Apa pun yang lo hadapi di dunia ini lo gak pernah sendirian, lo selalu punya gue. Lo mau marah, mau sedih, mau bahagia, selalu bisa dibagi ke gue. Kita sama-sama."

"Lo bisa anggap gue apa pun yang buat lo nyaman. Temen, saudara, atau siapa pun itu Sha. Selama ini gue gak pernah maksa lo apa-apa, gue cuma mau jadi tempat di mana lo ngerasa diterima."

"Abra, lo terlalu baik buat gue. Sedangkan gue? Apa yang lo liat, Bra? Gue gak punya apa-apa," jawab Eysha.

"I love you because it's you."

Eysha menggeleng. "Lo gak bisa ngelakuin ini karena kita sahabat, karena lo kasian sama gue, Abra."

"Gue kayak gini bukan karena alasan kita sahabat atau kasian. Gue udah lama punya rasa ke lo Sha, tapi selama ini gue pendam karena ada Calvin," balas Abraham meyakinkan.

"Gimana Kania?"

"Kania tetap sahabat kita sampai kapan pun."

"Kenapa Kania ngejauh?" ujar Eysha sedih. "Dia gak kayak yang dulu."

"Setiap orang ada masanya, Sha. Mungkin Kania lagi sibuk sama dunia barunya setelah kelulusan. Tapi mau gimanapun itu gak ngerubah kalo Kania sahabat kita."

"Tapi Kania beda sekarang."

"Nanti juga kayak dulu lagi kok, Sha. Ini cuma tentang waktu dan keadaan."

Eysha diam beberapa saat, melihat anaknya yang begitu lucu. Senangnya lagi, wajahnya sangat mirip dengan dirinya.

Abraham kembali fokus pada jalanan di depannya dengan pikiran yang melayang ke mana-mana. Abraham hanya ingin Eysha, ia takut kehilangan.

"Apa Kania suka sama lo, Abra?" ujar Eysha tiba-tiba.

Setelah baca tolong kasih vote yaa!! Thank you💗

Expect A Happy Ending [completed🧚🏻‍♀️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang