CHAPTER 24

339 12 2
                                    

CHAPTER 24

Hari ini adalah hari pernikahan Eysha dan Calvin. Diselenggarakan secara sederhana di sebuah gedung yang hanya dihadiri oleh teman serta keluarga terdekat saja. Pernikahan ini bukanlah acara yang membahagiakan seperti yang umum. Menikah dengan keadaan sudah hamil?

Mereka telah menjadi sepasang suami dan istri yang sah setelah melewati berbagai proses sebelum sampai pada detik ini menerima tamu-tamu yang masih memberikan selamat serta doa-doa yang baik. Tidak pernah ketinggalan, ada Abraham dan Kania yang sudah mengenakan pakaian senada.

Setelah perbincangan di mall itu, Calvin bilang ia sudah siap dan memilih untuk tetap menikah serta memiliki hidup yang berisikan dirinya, Eysha, dan anak perempuannya itu. Eysha senang mendengarnya dan semakin bersemangat untuk mencari keperluan yang dibutuhkan.

Hari ini, mereka berdiri berdampingan dengan memasang wajah yang sangat bahagia bersama senyuman yang sejak tadi tergambar jelas dikedua wajah sepasang suami-istri tersebut. Akankah bahagia selalu menyertai mereka berdua setelah hari ini?

"Abra kamu baik-baik aja?" tanya Kania, melihat wajah Abraham yang terlihat tidak nyaman.

Abraham menoleh dan tersenyum kepada Kania. "Hm? Baik, Kania. Kenapa emangnya?"

"Dari tadi ngeliatin Eysha sama Calvin terus. Kamu pasti sedih, ya? Kamu suka sama Eysha, tapi dia udah menikah sekarang."

Abraham tertawa kecil berusaha menguatkan hatinya, karena apa yang Kania bilang 100% benar. "Apa deh, Kan. Biasa aja lagi," ujar Abraham, mengelak.

Kania secara sadar mengusap punggung Abraham dengan lembut. "Gak apa-apa, Abra. Kamu boleh boong sama manusia mana pun, tapi enggak sama aku. Kamu bisa cerita apa pun ke aku tanpa perlu malu, Abra. Lagi juga aku udah tau kalo kamu suka sama Eysha, keliatan jelas," kata Kania seraya mengajak Abraham untuk duduk di meja bulat dengan banyak kue-kue lucu di tengahnya.

"Cinta sama orang itu emang ada dua kemungkinan, ya, Abra? Diterima atau ditolak. Kita juga gak bisa maksa orang lain untuk punya perasaan yang sama kayak yang kita punya. Lagi juga, apa sih enaknya kalo diterima karena terpaksa? Dapet cintanya juga enggak. Iya, kan, Abra?" tanya Kania. Sebenarnya itu nasihat atau isi hatinya?

Abraham hanya tersenyum sepanjang mendengar ucapan Kania yang terdengar lembut di telinganya itu. "Sejak kapan pinter ngomong kayak gitu?" tawanya.

Kania kesal. Lagi serius malah dibercandain. Ia memukul lengan Abraham keras membuat laki-laki itu semakin tertawa.

"Emangnya pernah ngerasain kayak gitu?" tanya Abraham.

Kania yang sedang memilih-milih kue berhenti melakukan aktivitasnya. Menatap Abraham dengan dalam, rasanya ia ingin mengungkapkan bahwa apa yang Abraham rasakan ia tahu betul seperti apa. Karena Kania juga sedang merasakan hal yang sama.

Tetapi Kania menggeleng-geleng. "Itu, mah, Abra."

"Kok lo bisa tau gue suka sama Eysha dari lama? Tau dari mana, Kania?"

"Gak tau deh. Keliatan aja," katanya sambil memasukkan satu potong kue ke dalam mulutnya sampai penuh.

"Lo suka sama Bryan, Cil?" tanya Abraham, mengganti topik.

Kania terbatuk-batuk mendengarnya, hampir tersedak. Untungnya Abraham langsung menyerahkan segelas air yang langsung Kania minum.

"Kaget? Berarti bener dong?" tanya Abraham lagi.

"Gak, ih! Apa, sih, Abra tuh?!"

"Gak apa-apa, Kania. Kalo lo bahagia sama dia, gue ikut senang. Yang penting Bryan jangan pernah sakiti hati lo, gue gak rela."

"Tapi aku gak ada rasa suka sama Bryan," sangkalnya.

"Bryan juga ada di sini, tuh," tunjuk Abraham kepada Bryan yang tengah berdiri sendirian memandang ke depan. Ya, tidak ada William dan Kenzo di sana.

Kania menoleh, tanpa sengaja mata mereka bertemu beberapa saat sebelum Kania memutusnya. "Oh iya," katanya kecil bahkan hampir tidak terdengar.

"Bersihin dulu itu mulutnya berantakan, masa ketemu gebetan malu-maluin?" ujar Abraham, memberikan selembar tisu kepada Kania. "Udah ya, gue ke sana dulu. Kalo udah jadian kabar-kabarin jangan disembunyiin," lanjutnya sebelum pergi meninggalkan Kania yang masih terduduk diam. Dan tidak lupa, Abraham selalu mengusap puncak kepala Kania dengan sayang. Hal yang akan selalu Kania senangi sampai kapan pun.

Ingin rasanya Kania jujur kepada Abraham tentang perasaannya ini. Kania tidak ada perasaan untuk Bryan, ia hanya menganggapnya sebagai teman. Bryan itu baik, tidak boleh suka dengan perempuan rumit seperti Kania yang penuh dengan trauma masa lalu.

"Hai, Kan." Sapaan seseorang membuat tubuh Kania menjadi kaku. Pasti itu Bryan, suaranya jelas sekali.

"Eh, Bryan. Duduk, duduk," kata Kania menunjuk kursi di sebelahnya, tempat Abraham tadi duduk.

"Mana Abraham kok pergi?"

"Gak tau tuh, biarin aja. Mendingan makan kue, enak-enak," balas Kania, mengambil satu lagi kue kecil berwarna pink.

"Mau gak? Ambil aja gak usah malu-malu," ujar Kania bagai yang punya acara.

Bryan tertawa. "Kamu emang suka buat orang lain ketawa ya?" tanyanya.

"Kok ketawa, sih. Aku lagi nawarin kue."

"Iya, iya. Mau suapin aku enggak?" tanya Bryan, lucu.

"Enggak," jawab Kania cepat, menggeleng-geleng pula.

Bryan tertawa lagi. Siapa sih manusia yang tidak akan gemas dengan tingkah Kania?

"Kamu pernah pacaran?" tanya Bryan tiba-tiba. Untung saja Kania tidak tersedak lagi karena sudah makan kue dengan normal.

"Pernah sekali. Udah gitu putus lagi," katanya, kesal.

Bryan mengangguk paham. "Kalo aku, kamu udah tau jelas, kan?"

"Iya. Gak apa-apa ya Bryan, jangan sedih lama-lama. Jodoh gak akan ke mana kok. Kalo gak jodoh emang bakal pisah mau selama dan secinta apa juga," ujar Kania begitu saja. Sebenarnya niat memotivasi atau menyindir Bryan, ya?

"Iya, Kania. Tapi kamu sendiri udah siap buat ngejalin cinta yang baru?"

Setelah baca tolong kasih vote yaa!! Thank you💗

Expect A Happy Ending [completed🧚🏻‍♀️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang