CHAPTER 17

421 17 0
                                    

CHAPTER 17

"Gue gak paham sama pikiran lo, Vin. Lo yang cinta Eysha, selalu ngejar-ngejar dia dari awal, jagain dia, dan banyak hal lainnya. Tapi kenapa bisa lo lakuin itu ke Eysha? That's not love, right?" ujar Bryan di tengah lamunan Calvin yang duduk sendirian di dekat lapangan.

Kini Kenzo dan William menjauh begitu saja seakan tidak pernah mengenali Calvin. Baginya kejadian itu sudah fatal dan tidak dapat dimaafkan begitu saja. Laki-laki harus bisa menjaga perempuan tanpa merusaknya sedikit pun. Tidak ada toleransi untuk perbuatan Calvin.

Hanya Bryan yang terus mencoba memberi masukan dan saran kepada Calvin. Ia tidak berkata bahwa apa yang Calvin lakukan itu benar, perbuatan itu tetaplah salah. Tetapi Bryan hanya berusaha untuk menjadi teman di saat tidak ada yang ingin menjadi pendengar laki-laki itu.

"Gue gak tau, Bry. Gue udah gak tau apa-apa lagi soal Eysha. Sejak kejadian itu gue gak liat dia di sekolah, dan gue juga gak pergi ke rumahnya buat temuin dia," jawab Calvin menatap lurus ke depan.

Bryan menghela napas. Temannya yang satu ini benar-benar tidak ada sisi tanggung jawabnya. "Lo harus temui, Vin. Gimanapun juga lo harus tanggung jawab atas apa yang udah terjadi. Semakin lo lari semakin masalah lo ngejar."

"Lo udah besar, harus bisa berpikir terbuka. Apa yang lo lakuin itu udah salah, jangan lagi buat keadaan ngeliat lo semakin salah. Tanggung jawab, itu anak lo," lanjutnya.

"Gue belum siap menikah, Bry," jawab Calvin seenaknya.

"Lo harus siap, semua udah kejadian."

"Not that easy."

"Gak mudah juga untuk Eysha. Jangan egois, Vin."

"Temuin Eysha. Tanggung jawab atas perbuatan lo," ujar Bryan sebelum pergi meninggalkan Calvin sendirian.

Satu sekolah sudah mengetahui kabar itu, dengan cepat tersebar entah dari mana? Yang pasti Calvin sudah tidak memiliki teman dan dimusuhi habis-habisan. Ia pun mendapatkan surat pemanggilan orang tua sejak dua hari yang lalu, tetapi Calvin belum berani memberi tahu kedua orang tuanya.

Eysha tidak masuk sekolah sejak kejadian ia masuk ke rumah sakit. Selain sudah malu, ia merasa tidak ada lagi yang akan memandangnya sebagai seorang teman. Semuanya sudah hancur entah dari keluarga, pertemanan, atau percintaannya.

"Calvin, gak nyangka lo bisa berbuat kayak gitu ke Eysha."

"Serem banget punya pacar kayak gitu. Bukannya dijaga malah dirusak."

"Menang ganteng doang."

Bisikan-bisikan itu Calvin dengar sepanjang hari dan sangat mengganggunya. Rasanya Calvin ingin berhenti sekolah saja, tetapi mau bagaimana lagi? Tersisa beberapa bulan lagi untuk lulus dan bebas dari sekolah ini.

Calvin bodoh menyadari bahwa apa yang telah ia rencanakan justru membuat dirinya dimusuhi seperti ini. Berniat untuk menggugurkan kedua anaknya, tetapi justru semuanya gagal dan berakhir seperti sekarang.

Jika ditanya apakah Calvin sedih kehilangan satu anaknya, Calvin tidak merasakan itu. Ia hanya merasakan ketakutan bila mama dan papanya mengetahui kabar ini.

"Calvin," panggil perempuan dari belakang tubuhnya.

Calvin menoleh malas. Ternyata Kania dan Abraham, ia tambah malas meladeninya.

"Udah dari kemarin gue dan Abra ke rumah lo dan minta lo untuk tanggung jawab ke Eysha, tapi kenapa lo malah terus aja menghindari itu?" ujar Kania masih pelan. Abraham ia tahan agar tidak meluapkan emosinya seperti yang sudah-sudah.

"Lo gak bisa begini terus, Vin. Kasian Eysha, dia baru aja kehilangan satu anaknya. Anak lo juga."

"Gue gak peduli sama anak itu."

Abraham menarik kerah belakang seragam sekolah Calvin. Ia memang tidak punya kesabaran bila itu sudah menyangkut Eysha.

"Kalo lo gak peduli, kenapa lo ngelakuin itu?" tanya Abraham dingin di depan wajah Calvin.

Calvin mendorong tubuh Abraham sedikit keras agar menyingkir dari hadapannya. "Lo gak perlu ikut campur, Abraham! Lo ngelakuin ini karena lo suka sama Eysha, kan?!" tantangnya.

"Tanpa rasa suka itu pun gue tetap akan menjaga Eysha sebagai sahabat."

"Gak usah munafik, Bra. Gue tahu perasaan lo ke pacar gue."

"Pacar? Pantes lo?"

"Nyatanya pemenangnya gue," ujar Calvin bangga.

"Sekarang. Bukan nanti atau bahkan selamanya. Lo itu cuma lawan kecil gue, gak ada apa-apanya," ujar Abraham dengan sebelah alisnya terangkat.

"Mau lo yang tanggung jawab atau gue? Jawab pertanyaan gue yang dari kemarin gue tanya," lanjutnya sebelum pergi seperti yang Bryan lakukan tadi.

***

Eysha hanya terduduk hampa dengan tatapan kosong menghadap cermin di depannya. Di rumah ini ia sendirian, semuanya pergi tanpa ia ketahui ke mana.

Tidak sekolah, tidak ada Calvin. Kania dan Abraham pasti sedang belajar di kelas di jam-jam sekarang. Eysha menundukkan kepalanya, kenapa ia harus merasakan semua ini?

Eysha mulai terisak dengan suara yang tertahan, semua ini terlalu menyiksanya sendirian. Semua orang pergi tidak peduli terhadap keadaannya. Meskipun berkali-kali ia menguatkan diri bahwa ia masih memiliki Kania, Abraham, dan satu anaknya tetapi tetap saja ia tidak bisa berbohong bahwa ia juga lelah menghadapi ini semua.

Eysha memukul dadanya berkali-kali berusaha menguatkan diri dan batinnya yang akhir-akhir ini sudah tidak karuan. Suara tangisnya terdengar beberapa kali karena hanya ada air mata yang terus keluar.

Di depan matanya, ada satu buah obat yang ia beli di apotek tadi pagi. Ia sudah berpikir berkali-kali apakah dirinya harus melakukan hal ini yang akan berakibat fatal? Tetapi pikirnya, hidup pun tidak lagi bermakna.

Obat itu Eysha genggam erat, berbentuk kecil dan bisa dengan mudah ia telan. Bersamaan dengan air matanya yang terus mengalir, ia mengusap perutnya. Haruskah kita pergi berdua? Karena setelah itu, kita akan mengakhiri penderitaan di dunia ini. Mama nggak sanggup sendirian, ujar Eysha pada satu anaknya itu.

Setelah baca jangan lupa kasih vote yaa!!

Expect A Happy Ending [completed🧚🏻‍♀️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang