Candu

3 0 0
                                    

Amira melihat Yogas dengan paras geram. "Kenapa kau tidak mau bertemu denganku? Apa kini badminton lebih penting dariku?"

Yogas terkekeh kecil, "Jadi kau cemburu dengan badminton? Maaf, sebenarnya aku ingin membuat kejutan padamu!" Ia melirik ke segala arah, mencermati situasi sekitar. Akan sangat berbahaya bila ada orang yang melihatnya membawa barang dari dalam sel.

"Huss!!" telunjuk Yogas mengacung ke atas, memalangi bibir keringnya.

Amira terperanjat gembira. Ia menutup mulutnya karena saking girangnya. Melihat cincin berkilau di depan matanya, menunjukan bahwa Yogas memang serius mencintainya.

Yogas berbisik pelan, "Ini aku dapatkan dari kejuaraan badminton. Maaf karena aku tidak memberitahumu." jelasnya sambil memasukkan cincin cantik itu ke jari manis Amira.

Senyuman Amira merekah. Jemari bercincinnya itu ia angkat tinggi-tinggi. Namun, mendadak Yogas menurunkan tangan kirinya Amira, sengaja agar tidak ada orang lain yang melihat cincin tersebut. Dalam sekejap, gurat muka bahagia Amira mengerut kusut.

"Maaf, ini sangat berbahaya..." bisik Yogas memberitahu.

Tiba-tiba, Amira merengkuh tubuh Yogas erat-erat. Semua napi dan pembesuk memperhatikan mereka, tetapi Amira justru kian memeluknya lebih kuat. Ia tak peduli dengan pandangan orang lain terhadap mereka.

"Arhh.." rengek Yogas kesakitan. Meski kondisi tubuhnya sudah membaik, luka memar juga sudah menghilang, tapi bengkak yang ditimbulkan akibat main hakim tempo lalu masih membekas. Secepat kilat, Amira melepas dekapan tangannya dari tubuh Yogas, "Kenapa? Apa kau sakit?"

"Kau memelukku terlalu keras. Lebih lembut, ya!"

Mendengar Yogas baik-baik saja, Amira kembali memeluk badan Yogas.

Muka Yogas memerah. Sakit yang dirasa, karena Amira menekan memar di bagian lengannya. Semakin lama dalam pelukan, mata Yogas kian berair. Wajah merahnya bagai terkumpul di tengah hidung. Sungguh ironis, dia tersiksa di dalam dekapan kekasihnya sendiri.

Satu wanita di luar ruang besuk menyaksikan kebersamaan mereka. Wanita itu menatap bisu, menilik tajam dengan lensa matanya dari kejauhan. Ia tegak, sendiri, sambil menggenggam secarik kertas mungil. Sebuah surat yang berbisik, bahwa Yogas tergelincir ke penjara bukan karena dia penjahat. Tapi sebaliknya, dia adalah seorang aparat yang baik, yang melaksanakan tugasnya demi menegakan keadilan di ruang penjara.

Setelah melihat Yogas dalam kondisi baik, wanita berekor kuda itu lekas pergi. Dia angkat kaki dari bahu teras dengan membawa hati yang tenang. Meski rumah tangga mereka sudah kandas, tetapi perasaannya lega ketika melihat Yogas gembira. Dia yakin Amira akan membahagiakan mantan suaminya. Salima pergi dengan senyuman lebar di hati.

Yogas mempertajam tatapannya keluar ruangan. Pandangannya menjangkau wanita yang mulai lenyap dari penglihatannya. "Salima. Itukah kau?" ia bergetar kaku, tidak bisa menyapa wanita yang pernah mengisi ruang hatinya.

***

Kuncoro menyerahkan sebuah bungkusan ke Yogas, "Berikan ini ke Indra. Gedung C lantai 3, nomor 18!" bebernya singkat, memberi perintah kepada Yogas untuk mengantar ekstasi ke pelanggan.

"Tunjukkan ini pada sipir jaga anggota Surga Biru. Jangan sampai ketahuan polisi ataupun para pembesuk." tambah Kuncoro sambil menjulangkan kartu berwarna biru. Benda itu, adalah alat agar Yogas dapat menjamah seluruh blok penjara. Dengan begitu, dia dapat mengirimkan pesanan barang haram ke semua pecandu. Bahkan, Yogas juga akan memperoleh keuntungan seperempat dari hasil penjualan.

Secepat kilat Yogas berlari dari ruangan Kuncoro di Gedung B. Langkahnya terus berpacu, menuruni anak tangga menuju ke lantai bawah. Ketika sampai di lantai tujuan, Yogas berjalan pelan kembali, berpura-pura tidak tergesa untuk menipu para 'sipir non-anggota Surga Biru'. Dengan santainya, dia menyambangi kediaman dimana pemesan barang meringkuk dalam sel.

Pesta Dalam PenjaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang