Pukulan yang Keras

1 0 0
                                    


Cock yang melesat itu ditampar Kuncoro, berbalik arah menyergap Yogas. Yogas bergidik sekejap, usahanya menumbangkan lawan berakhir kegagalan. Cock yang hampir mencumbu permukaan lapangan itu kembali terbang, melompat melewati net. Karena saking kesalnya, geram bercampur amarah, Yogas memukul cock dengan tergesa. Cock itu terlempar keluar arena. Sontak, bendera kemenangan terkibar pada lawan, Kuncoro.

Yogas beringsar, keluar dari lapangan dengan lesu. Di depan pintu lapangan, Bayu dan Junaidi memajang paras kecewa.

"Tak apa. Juara dua juga hebat!" sambar Bayu sambil menyodorkan minuman. Namun Yogas larut dalam gemingannya, tidak merampas botol kaleng itu dari tangan Bayu. Biasanya, acapkali pertandingan badminton usai, dia akan mengambil minuman dari Bayu, pemuda kurus yang kini menjadi asistennya.

Junaidi merangkul pundak Yogas, sengaja meredam api amarah muridnya. "Karena kau telah mengalahkanku di semi final, kau boleh meminta satu permintaan. Ayo, sebutkan saja!"

Tak mau kalah, Bayu juga menyodorkan tawaran. "Hei, jangan cemberut. Aku akan memijat-mijatmu seharian penuh. Bagaimana?"

Yogas tetap membeku. Mukanya terus merunduk, larut ditelan kekalahannya. Ia bahkan tidak mendengar perkataan guru dan asistennya. Hanya satu kalimat yang tertulis di angannya, 'gagal mengikat tali pertemanan dengan Kuncoro'.

Mata Yogas terbelalak dalam rundukan. Tatapannya menerjang ke kilapan lantai. Disana, pantulan bayangan dilihatnya dari dekat, seperti ada seseorang yang menghampirinya. Yogas berpaling cepat ke kiri, menjangkau wajah si pemilik bayangan. "Uh, kau!" kejutnya pada Kuncoro.

"Apa kau berminat jadi anak buahku?" tawar Kuncoro cepat. "Kupikir-pikir kau memiliki kemampuan yang luar biasa!"

Yogas melepas topeng wajah muramnya, berganti menjadi ceria. "Ya, aku mau!" lantangnya penuh antusias.

Junaidi tercengut, melihat perubahan drastis dari mimik Yogas. Lirikannya berpindah ke kiri, menangkap perangai janggal milik Kuncoro. Ia curiga.

***

"Bagaimana? Apa enak?" seru Amira meluapkan kegembiraan, menyaksikan Yogas melahap habis makanan di kotak bekal yang ia bawa. Sejak Yogas menjadi napi penghuni lapas, Amira selalu mengunjunginya tiga kali dalam seminggu.

"Ya, innii eeenaak!" Yogas berucap dengan tidak jelas. Mulutnya berisi gumpalan nasi dan udang yang sudah terurai. Tangan kanannya menegukan air putih ke mulutnya, sehingga makanan itu tenggelam ke lubang tenggorokannya.

"Aku suka masakanmu. Selalu enak dan tidak pernah berubah." Yogas kembali hanyut, teringat saat terakhir kali menyantap masakan Amira. Dulu saat SMA, Yogas sering bermain ke rumah Amira. Setiap berkunjung, Amira selalu menghidangkan Yogas makanan favoritnya, udang bumbu pedas. Amira memang pandai memasak, buktinya ia sukses mengelola sebuah restoran di pusat kota.

Yogas menaruh sendok di atas kotak bekal, pertanda ia sudah selesai makan. Kedua tangannya mengepal erat kedua tangan Amira menjadi satu. Mata mereka saling berpapasan, menjadi canggung seketika. Disaat inilah, irama jantung Amira berdegup lebih kencang. Rautnya mencair, sambil terkadang dia menahan senyum dalam hati. Ia senang, akhirnya Yogas kembali merengkuh hatinya seperti dulu.

"Setelah semua ini berakhir, aku akan menikahimu." janji manis mencuat dari mulut Yogas. "Apa kau bersedia?" tegasnya lagi, sengaja ingin menggetarkan hati Amira.

Pandangan Amira guncang, tak berkedip sama sekali. Tidak kuasa dia menahan kegembiraan.

"Oh, jadi kau tidak mau?" tutur Yogas kecewa.

Amira menggeleng. Lalu, ia memberanikan diri membalas tatapan kuat Yogas, "Ti, tidak. Tentu saja aku mau!" ucapnya agak terbata-bata.

Di ruang besuk ini, senyum bahagia kembali mencuat, muncul dari bibir merah muda Yogas. Setelah larut memendam sakit di sangkar bui, akhirnya hatinya kembali berucap. Dia berkata bahwa kini ia bahagia. Disini, di penjara ini, semua isi hati orang-orang yang semula terkatup kini mulai terungkap. Benar kata dunia, 'Orang yang tulus mencintaimu akan tampak saat kamu terjebak di ruang kesulitan. Mereka yang datang ketika cahayamu redup, adalah orang-orang yang sungguh-sungguh mendekap hatimu'.

***

Ketika istirahat berkumandang, seluruh napi berpesai-pesai, berpencar di setiap area narapidana. Ada yang duduk di dekat taman. Ada yang bersila pada lantai di bawah lorong panjang blok. Beberapa orang juga bersangga tangan di tepian pagar. Mereka saling berbincang, tak sedikit pula yang berdiskusi untuk dapat menempuh jalur remisi.

Namun, sejak tadi, Fredik menatap tajam Yogas tiada henti. Ia duduk di bawah lorong, bersama teman-temannya yang sesama preman. Tubuh mereka besar-besar. Otot mereka bulat-bulat dan tampak kencang. Wajah mereka pun garang-garang. Tidak hanya Fredik yang menyoroti Yogas, tapi juga semua rekannya. Ada apa ini? Mungkinkah mereka sudah membaca identitas asli Yogas?

Fredik berdiri, teman-temannya pun ikut berdiri. Fredik beringsut menuju Yogas, mereka ikuti lagi setiap tindakannya. Perlahan, mereka menghampiri Yogas yang tengah berkelompok di bawah pohon bersama Bayu dan Junaidi. Yogas terbeliak ketakutan, Fredik bahkan meraih kerah bajunya dan menyeretnya menuju sel bernomor 34, ruang sel mereka.

Semua napi menatap, menyaksikan aksi main hakim sendiri. Mereka tidak mau mendekat, takut salah-salah malah menjadi korban. Bayu, dengan inisiatifnya berlari ke pos jaga yang letaknya agak jauh di depan Gedung C. Ia berusaha memanggil petugas.

Junaidi melerai, tapi ia justru kena hujaman di muka. Dalam sekali hantam, wajahnya mendadak berganti memar. Dia pun menghindar, tak sanggup lagi menjadi samsak bagi preman-preman itu. Ia lebih memilih mundur.

"Ada apa dengan kalian?" pekik Yogas tidak mengerti. Tubuhnya dilempar ke tembok sel, kemudian memantul kencang ke lantai.

Fredik berdiri paling depan, memimpin eksekusi, "Polisi. Kau polisi, bukan? Jangan pura-pura tidak tahu!"

"Tidak. Aku pegawai!" Yogas mati-matian menyangkal. Apapun yang terjadi, ia takkan pernah mau menyelak kerahasiaan timnya. Hidup dan matinya bergantung erat pada perkataannya terkait kerahasiaan misi itu.

Yogas terus dipukuli. Penderitaannya akan berakhir hingga ia mau membuka tirai mulutnya. Fredik meminta dia untuk jujur, tetapi Yogas masih bertahan dengan pendiriannya. Lambat laun, tubuh lunglainya semakin melemas. Yogas pasrah.

Fredik mengacungkan dua jarinya ke atas, memberi tanda kepada teman-temannya untuk berhenti memukuli Yogas. "Berhenti, sepertinya dia mau angkat bicara!"

Suara Yogas terbata-bata, "Aku, sebenarnya aku.. adalah.." Tangannya ia kepal kuat-kuat, mencengkeram lantai, sambil membayangkan misi rahasianya gagal karena kecerobohannya. Ia sudah tidak tahan lagi. Mungkin mengutarakan yang sejujurnya dapat menghentikan kebengisan orang-orang ini.

Disisi lain, Bayu dan empat sipir tengah beringsar menuju sel 34. Mereka berpacu dalam langkah, khawatir jika Yogas tidak bertahan karena terlalu dihakimi. Namun di dalam sel, Yogas terus diintimidasi. Akankah mulutnya berkoar mengenai kerahasiaan misi itu? Padahal sebentar lagi, Bayu akan segera menyelamatkannya.

Pesta Dalam PenjaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang