Tersebarnya Bukti-Bukti

1 0 0
                                    

Permana membanting setirnya ke kiri, menepikan mobil di parkiran sebuah lapas. Setelah mengarungi dan seringkali berlabuh di suatu tempat, tetapi ia tetap tidak menemukan keberadaan Ratih dan Ratu. "Argghh, anak itu. Dimana mereka sebenarnya?" tangan kanannya memukul setir mobil karena terlalu jengkel.

Dia pun turun dari mobilnya, mulai memasuki bangunan penjara. Apa yang dia lakukan? Mengapa ia malah mengarah ke tempat para narapidana? Permana, dengan kegeramannya, memacukan langkahnya melintasi lorong-lorong Lapas Kali Duren.

Di ruang besuk, Yogas dan Permana saling menghunuskan tatapan tajam. Tangan Yogas mengepal keras, ingin sekali ia memukul pria di hadapannya itu. Akalnya pun dihimpit beragam kecurigaan. Permana, kenapa dia kemari? Pikirnya sungguh tidak mengerti, seraya mengamati gelagat pria yang telah merampas semua yang ia miliki.

"Kedua anakmu akan musnah jika kau tidak membantuku." ancam Permana sambil menyeringai lebar.

Telunjuk Yogas mengacung ke Permana, mengutuknya keras, "Apa maumu? Kenapa kau sangat membenciku? Katakan!"

"Tangkap Kuncoro. Bila kau melakukannya maka aku akan melepaskan kedua anakmu."

"Bagaimana bisa aku menangkapnya sementara aku terpenjara disini?" Yogas berbalik tanya.

Permana bangkit dari tempat duduknya. "Pikirkanlah sendiri. Bila tidak mau berarti kau harus menerima konsekuensinya." Lalu langkahnya menuju keluar ruang besuk, meninggalkan seberkas ucapan dalam batin Yogas.

Sebelum langkah Permana berpijak ke luar ruangan, Yogas terlebih awal menarik tangan Permana. Dengan emosi yang kian berkobar, Yogas mendorong Permana hingga pria itu tersudut di tepian tembok.

"Jangan sekali-kali menyakiti anakku!" teriak Yogas hingga para pembesuk dan sipir mendengar gema suaranya.

Pihak sipir menerobos masuk, melerai pertikaian mereka. Yogas pun kembali dijerumuskan ke sel isolasinya. Di sudut ruangan ia kembali menggeram. Sambil bersandar ke tembok, cermin pikirannya kembali terusik. Terpantul jelas wajah semua anggota keluarganya. Yogas merengut, ia sangat takut bila Permana memadamkan senyuman yang seringkali ia ingat. Senyuman Ratu dan Ratih, serta mantan istrinya, Salima.

***

Permana bangkit dari buai khayalannya. Matanya melirik gencar, menembus kilapan kaca mobil, menangkap dua gadis kecil tengah melintas memasuki wajah penjara. Sudah dua hari ini dia mengintai di depan Lapas Kali Duren. Dia yakin Ratih dan Ratu pasti akan bermuara di tempat ini. Permana lekas menuju ke dalam bangunan, hendak menjaring kedua bocah itu.

"Pak, biarkan kami bertemu ayah kami." paksa Ratih ke seorang sipir yang memblokir jalan mereka. Sipir jaga itu tidak membiarkan mereka bertemu ayahnya.

"Siapa ayah kalian?" seorang polisi terlibat dalam percakapan mereka bertiga, yakni sipir jaga, Ratih dan Ratu. Rupanya polisi itu adalah Arya.

"Yogas. Dia adalah ayah kami. Kami harus menemuinya." rengek Ratu dengan melumerkan wajah iba. Jujur, polisi itu terenyuh dan tidak tega dengan kedua anak berpakaian lusuh.

Polisi itu, Arya, tercetus setelah mendengar nama 'Yogas'.

"Biarkan dia masuk ke sel itu. Aku yang akan mengawalnya." seru Arya menghentak si sipir.

"Tapi.." ucap si sipir mencoba menolak. Namun sipir itu kemudian diam, dia memberikan akses masuk tanpa menggeledah tas yang mendekap punggung Ratih.

Melangkah di antara jeruji besi menimbulkan kerisauan di hati Ratih. Langkahnya pun kian berat melangkah. Tak ia percaya, ayahnya hidup di bawah atap tak bercahaya. Terlebih dia berkunjung ke ruang tahanan ayahnya sendiri. Setelah menilik ke segala arah, dia dapati ayahnya berdekap lutut di pojok ruangan. Dia hampiri ayahnya, lalu ia pegangi gigi-gigi jeruji besi yang dingin. Mata Yogas terbuka lebar, wajahnya menyorot dengan terkejang, tidak percaya kedua anaknya berani bertandang ke kamar selnya.

Pesta Dalam PenjaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang