Kertas Sayembara

6 1 0
                                    


Sinar mentari telah mendarat ke permukaan bumi. Saat itu, Yogas pun memperlambat ayunan kakinya. Dia lelah, berjalan dari petang hingga pagi. Hatinya tak pernah tenang, selalu gelisah acapkali melihat orang-orang melintas di sekitarnya. Bingkai kaca dalam pegangannya terus direngkuh. Tak ingin dilepas, tak mau jatuh dari genggamannya. Kaca mungil milik Amira.

Yogas bergidik, langkahnya dia hentikan cepat. Diam-diam dia bersembunyi di balik kerumunan yang lalu-lalang di bentangan panjang trotoar. Polisi di pos perempatan lampu merah menarik ketakutannya sekejap. Yang dia khawatirkan bukan kalau tertangkap oleh mereka, tapi dia sangat takut bila tidak menjumpai Amira untuk selamanya.

Beralihlah Yogas ke jalan lain, ia tidak ingin melintasi jalur yang dikuasai polisi. Dia adalah penegak hukum, tetapi kini dia malah menghindari mereka. Ia pun memutar arah, terkencar melalui bangunan belakang dimana polisi tidak mengawasi daerah tersebut.

Saat kakinya lunglai, lelah menyelusuri seisi kota, Yogas berhenti tepat di depan sebuah sekolah. Lalu, ia duduk di taman sekolah, menyaksikan lautan anak-anak yang berhamburan dari masing-masing kelas. Yogas telisik satu demi satu wajah anak-anak itu, berharap melihat seseorang yang diharapkan. Namun, setelah lama mencari, wajah mungil itu tidak muncul juga.

Segurat tangan menepak bahunya. Yogas pun tersentak hati, kaget, takut jika ada yang ingin menangkapnya. Wajahnya mencelat ke belakang, berbalasan tatap dengan orang yang menepuknya. Dia terbeliak, ternyata yang berpapasan dengannya adalah segores wajah mungil yang ia dambakan.

"Ayah, apa itu kau?" Ratih terperangah, langsung merengkuh tubuh Yogas kencang-kencang. Yogas pun mendekap dengan kekuatan yang sama.

Ratih melepaskan rengkuhannya, kemudian menarik tangan ayahnya ke salah satu ruang kosong di sekolah itu. Ratih sandarkan tasnya di atas meja, lalu ia berikan secarik kertas lusuh kepada ayahnya. Yogas melotot tak berkedip, kertas itu memuat wajah dan namanya sebagai seorang buronan. Tidak hanya dia, ada pula wajah Kuncoro dan beberapa antek-anteknya. Dalam kertas bisu itu tertulis lagi, bagi yang dapat menangkap mereka, dia akan dilimpahkan imbalan sebesar 500 juta rupiah untuk setiap buronan. Di lini paling bawah tergores nomor telepon untuk dihubungi, bila telah menangkap dan ingin menukar buronan dengan uang.

"Dari mana kau dapatkan ini?" Yogas terkejut.

Ratih membalas dengan raut kesal, "Kertas itu dipampang dimana-mana. Di setiap pohon, di tembok-tembok bangunan. Oh ya, di tiang-tiang listrik juga!"

Suara Yogas mendarat ke telinga Ratih, "Jangan bilang siapa-siapa tentang pertemuan kita ini. Ini rahasia kita berdua. Kau mengerti?"

Ratih mengangguk dua kali. Dia paham dengan situasi ini.

Yogas buncah, lirikan matanya menyambangi nomor telepon di kertas itu. Dua belas digit nomor itu dia rekam di memori otaknya. Ia tidak boleh lupa, karena nomor itu akan mengarahkannya pada orang-orang yang memburunya. Dia juga menduga kertas ini disebarkan bukan oleh pihak pemerintahan, tetapi ada oknum lain. Tapi siapa? Pikirnya sambil meremas ujung kertas itu. Sebab mana mungkin pemerintah mau memberi imbalan tinggi untuk buronan.

Di tempat lain pada waktu bersamaan, seorang pria lainnya sama-sama memegang kertas serupa. Kertas berukuran A4, yang berucap mengenai sayembara penangkapan buronan. Lelaki itu tersenyum lebar, karena telah melemparkan perangkap sekaligus umpan kepada para buronan itu.

Segurat wajah renta menyapa pria yang kini duduk sambil memperhatikan kertas sayembara, "Bos, apakah rencana ini akan berhasil? Tapi, kenapa kau mencantumkan nomor telepon samaran disana?"

Pria renta itu, Prasetyo, tidak mengerti dengan alur rencana tuannya.

Permana berpaling ke arah Prasetyo, "Nomor ini adalah umpan untuk memancingnya. Kita tidak perlu repot-repot mencarinya. Dia akan datang sendiri pada kita!"

Pesta Dalam PenjaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang