Sepulang dari Jakarta, Jaka tak mengatakan apapun pada kedua orangtuanya tentang apa saja yang ia dan Naira bicarakan.Rasa penasaran ibunya lebih besar dari apapun sehingga ia memilih bertanya lebih dulu sebelum anaknya itu bercerita di lain waktu.
"Apa yang terjadi sama kalian?" tanya ibunya penasaran.
"Kalian siapa yang Ibu maksud?" Jaka balik bertanya seolah ia malas bercerita soal kegagalannya menjemput cinta Naira.
"Kamu dan .... siapa lagi kalau bukan Bu Naira" jawab ibunya dengan nada sebal.
Jaka menggosok kepalanya yang basah karena habis keramas dengan handuk.
"Tidak ada yang terjadi selain penolakan dan penolakan."
Jawaban Jaka makin menambah kekesalan ibunya.
"Maunya apa sih perempuan itu? Tinggi sekali harga dirinya."
Jaka tak terkesan dengan pembelaan ibunya.Ia lebih merasa kecewa pada dirinya sendiri.Jaka kemudian berdiri di depan cermin sambil menyisir rambutnya.Handuk basah yang tadi dipakainya telah ia letakan di sandaran kursi kayu dekat meja belajarnya.
"Lalu rencana kamu apa selanjutnya?" tanya ibunya lagi.
"Melamar dia" jawaban Jaka dengan pelan.
"Kamu menyuruh Bapakmu melamar dia untukmu? Kalau dia masih tetap menolak bagaimana? Apa tidak sebaiknya kamu lupakan saja dia dan cari perempuan lain yang mau menerima kamu.Dia terlalu angkuh dan merasa paling berharga padahal banyak perempuan yang lebih cantik dan sukses tapi dia tidak sadar diri."
Kuping Jaka seakan terbakar mendengar cacian ibunya pada Naira.
"Dia menolak karena punya alasan sendiri,Bu.Dia tidak seburuk yang ibu tuduhkan barusan" bela Jaka.
"Terus saja kamu bela dia.Yang Ibu dan Bapakmu mau cuma kebahagiaanmu saja.Asal kamu bahagia,kami akan ikhlas menerima siapa pun perempuan itu yang jadi pilihan kamu.Pikirkan lagi dengan matang niat kamu itu."
Jaka berdiri sambil menatap dirinya di cermin.Kelibat ibunya terlihat di cermin saat keluar dari kamarnya.Dalam kepalanya terbayang wajah Naira yang dingin lalu diikuti oleh kalimat-kalimat bijak ibunya barusan.
Percakapan dengan Jaka di kamar anak lelakinya itu dilaporkan pada suaminya yang tengah memotong-motong batang pohon singkong untuk kayu bakar di belakang rumah.Istri Pak Karya duduk di balai bambu sambil mengeluhkan kelakuan anaknya yang enggan menyerah pada nasib asmaranya dengan Naira.
"Kita datang ke sana hanya untuk mendapatkan malu.Bapak tak mau itu terjadi" tolak Pak Karya pada rencana anak semata wayangnya itu.
"Kalau tidak dituruti kemauannya nanti bagaimana dengan masa depan anak kita? Apa Bapak gak kasihan sama anak kita? Ibu udah pasrah dan rela jika harus Bu Naira yang jadi mantu Ibu" ungkap istri Pak Karya meratapi nasibnya sendiri dan nasib anaknya.
Pak Karya duduk di sisi istrinya sambil menyeka keringat di dahinya.
"Jadi Bapak tetap harus ke Jakarta dan melamar Bu Naira untuk anak kita begitu?"
Istrinya mengangguk.
"Demi anak kita.Demi satu-satunya anak kita,akan Bapak turuti keinginan dia."
Setelah percakapan sore itu,Pak Karya pergi mengunjungi kerabat laki-lakinya yang lebih tua yang tinggal di kampung lain untuk memintanya menemani ke Jakarta sebagai wali anaknya untuk melamar Bu Naira.Jaka pun sudah mengatur rencana kapan waktu yang tepat untuk melamar Naira.
Rombongan keluarga Jaka sudah menunggu di kontrakan Naira yang sempit sejak ba'da maghrib.Naira baru pulang beberapa menit kemudian.Ia kaget dengan kehadiran tamu-tamu itu.Lebih kaget lagi begitu melihat Jaka.Jaka tak ikut masuk.Ia menunggu di mobil van yang parkir agak jauh dari kontrakan Naira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Rasa
RomanceSebagai pengusaha keripik singkong kelas menengah,Naira Puspita rela melakukan apa saja demi memajukan bisnis kecilnya termasuk memanfaatkan keluguan Jaka Budiman hingga mereka masuk kedalam ruang perasaan penuh warna yang tak terelakan.