Isla kembali berjumpa dengan matahari di hari Senin. Masuk sekolah dan melaksanakan upacara bendera seperti biasa. Wajah setenang air danau di pagi hari milik Isla menyiratkan seolah apa yang di alaminya kemarin-kemarin tak pernah terjadi.
Setelah upacara selesai, Isla beranjak bersama rombongan murid lain untuk ke kelas. Sepanjang jalannya gadis itu tak henti untuk mengibaskan topi ke arah lehernya yang berkeringat. Wajah air danaunya tiba-tiba mengeruh, sebab mengeluh panas. Pagi ini matahari sedang terik-teriknya, dan Isla benci. Isla benci karena dirinya mudah sekali berkeringat.
Sampai di kelas dan duduk di bangkunya, Isla sedikit terkejut mendapati stiky note menempel tepat di atas mejanya. Lantas gadis itu mencabut benda itu dari sana untuk membaca tulisan di dalam stiky note tersebut lebih dekat.
Isla ... jangan blokir gue lagi, atau malam ini juga gue bakal ngasih tunjuk ke lo langsung nama lo yang ada di tubuh gue.
- Your Romeo.
Kedua alis Isla sontak bertautan, setelah itu dahinya berkerut perlahan. Ia menelan saliva, meremas stiky note itu dengan kelereng matanya yang mulai berkeliaran ke sekitar. Isla langsung memasukan kertas kecil berwarna kuning itu ke dalam tasnya.
Dia tau nomor gue, tau nama gue, tau kelas gue. Dia siapa?! Katanya ... dia selalu bilang ke gue kalau dia Romeo gue ... berarti dia laki-laki dong.
Netra Isla yang sedikit panik mengabsen satu persatu teman kelas laki-lakinya.
Raka, pasti bukan. Abimanyu? bukan. Malik? bukan. Ridwan? bukan. Kenzie? bukan. Aciel? Apalagi dia, jelas bukan. Fatih? Terlalu alim. Aldo? Bukan sih kayaknya. Fadil? Ga mungkin dia kayak gitu sama gue. Em ... Pargata? Ga yakin sih gue, dia inget gue hidup aja enggak kayaknya.
Isla berteriak frustasi dalam batin sambil mengacak-acak rambutnya di dunia nyata. Gadis itu mendesis lirih, belum beres stres karena memikirkan tugas kelompok dan presentasi, bebannya sudah kembali bertambah. Sungguh Isla ingin mengutuk siapa orang yang kurang kerjaan seperti ini padanya.
Untuk berpikir, gadis itu menundukan kepala sambil berkerut dahi.
Perasaan gue diem-diem aja. Ga nyentrik, dan seinget gue ... gue ga pernah nyari masalah sama orang. Kalaupun ada masalah sama orang, gue sebagai orang waras pasti ngalah duluan dan males manjangin masalah. Gue bukan cewek secantik Dasha Taran, gue juga ga tajir, dan ga pinter-pinter amat.
Isla memijat kedua sisi keningnya sambil memejamkan mata sejenak.
Atau mungkin ... cuma iseng? Prank? Dare?
Setelah membuka matanya, Isla tersenyum getir yang menjadi tanda bahwa batinnya sedang tertawa konyol.
Kalau gitu, pasti ga lama dia bakal berhenti, 'kan?
-'- -'- -'- -'- -'-
Bel pulang SMA Dewantara pada pukul tiga sore berbunyi, teman-teman kelas Isla tampak berlomba-lomba untuk mengemasi para peralatan mereka di meja. Setelah rapi, mereka berdoa di bawah pimpinan guru dan ketua kelas. Selesainya, guru keluar dari kelas terlebih dahulu sebelum para muridnya berbondong-bondong menyusul. Isla adalah orang yang paling terakhir keluar seperti biasa.
Lorong sekolah masih ramai. Isla sebelumnya sudah melewati berbagai pertimbangan di otaknya untuk meminjam buku ke perpustakaan untuk yang ketujuh kalinya. Jadi ia akan memutuskan untuk melangkah ke sana sambil menyiapkan keberanian.
Isla menuruni tiap-tiap anak tangga dan belokan. Menyebrangi lapang untuk sampai ke tujuan. Pintu perpustakaan masih terbuka. Sebelum mengetuk pintu dan mengucapkan kata permisi sesopan mungkin, Isla terlebih dahulu menarik napas. Dari meja penjaga, seorang wanita dewasa duduk di sana dan mempersilahkan Isla masuk dengan ramah.
Lantas Isla membalas senyumanya dengan badan sedikit terbungkuk sopan. Gadis itu akhirnya masuk dan melewati wanita itu menuju rak-rak buku yang tak bisa dibilang banyak dan tak bisa juga dibilang sedikit.
Isla menyusuri tiap rak buku itu dengan gerakan seolah slowmotion, matanya jelas tercetak berbinar, bahkan senyum tipis ada di bibirnya. Jemari gadis itu menyentuh halus pinggiran buku yang tertera judul. Isla membiarkan matanya berkeliaran untuk mencari judul dan warna buku yang menarik.
Mengingat segan berlama-lama sebab malu oleh ibu penjaga perpustakaan tadi, Isla mau tak mau harus cepat memilih buku yang ia ingin pinjam.
Usai melalui banyak pertimbangan, Isla akhirnya memutuskan untuk meminjam buku yang berjudul Inggris di Tembok Kamarku : Kisah Para Penerima Beasiswa karya Enung Nurhayati. Buku itu sempat mengingatkannya akan mimpi Isla sejak SMP untuk meneruskan studi pendidikan hingga ke luar negeri, terutama Belanda.
Isla tersenyum singkat dan mendekap buku itu. Lalu ia datang ke meja ibu penjaga perpustakaan dan menyerahkan kartu pinjaman padanya.
Isla keluar dari perpustakaan sambil mendekap buku pinjamannya. Bahagia harian untuk Isla itu sederhana, cukup bisa meminjam buku dari perpustakaan setiap kali ia menginginkannya sudah membuat hati Isla seperti orang sedang kasmaran. Sebab, karena faktor ekonomi Isla tak bisa membeli banyak buku bacaan seperti novel.
Sekolah sudah sepi saja dan hanya beberapa guru yang mengisinya, hati Isla bersorak nyaman. Keramaian hanya akan membuatnya pusing. Lebih baik seperti ini.
Setiap pulang sekolah, Isla selalu memilih lewat gerbang belakang SMA Dewantara karena matanya dapat singgah sekilas melihat taman dengan pancuran yang indah dan pohon yang rindang.
Mata Isla benar berkeliaran hingga menangkap sekepul asap tipis khas rokok mengudara di sekitaran pohon. Sepatu gadis itu berhenti berderap. Ketika pandangan matanya turun pada sosok lelaki yang sedang duduk urakan di bawah pohon dengan rokok di apitan jarinya, Isla sedikit menyipit tak percaya. Dasi dan rambut lelaki itu sudah tak beraturan, dia masih menghisap rokok dan membuang asapnya ke udara.
Badan Isla seketika membeku di tempat tatkala netra kelam lelaki itu menatapnya, sangat dalam seakan berusaha menjerat Isla ke dalamnya. Bibirnya yang baru saja menghembuskan asap rokok terlihat samar menyeringai. Seperti maling yang sedang tertangkap basah ingin mencuri, Isla menelan salivanya susah payah.
Dengan cepat penuh usaha, Isla memalingkan wajah dan segera pergi dari sana. Setelah menginjakan kakinya di luar SMA Dewantara, Isla sedikit melirik ke belakang. Ia menghela napas berat.
Yang tadi itu adalah sebuah fakta yang tak bisa Isla percaya. Pargata yang selalu terlihat di mata orang merupakan siswa yang menyandang gelar manusia teladan seantero Dewantara melakukan sebuah pelanggaran. Merokok bagi pelajar si SMA Dewantara merupakan sebuah tindakan tak beradab, dan Pargata melakukannya di lingkungan sekolah. Jika guru Bimbingan Konseling tahu akan hal itu, pamor Pargata di SMA Dewantara mungkin menjadi buruk.
Isla meremas buku di dekapannya. Ia memejamkan mata erat sejenak sambil menggeleng pelan. Kelereng matanya kembali terbuka, bergerak sedikit gelisah. "Lupain Isla, itu bukan urusan lo."
Sekalipun ia ingat, tak sedikitpun terlintas di benaknya untuk melaporkan Pargata. Karena pada dasarnya, selain tak ingin mencari masalah dan tak suka jika harus mencampuri kehidupan orang, Isla sebenarnya tak memiliki keberanian untuk berbuat demikian terlebih sudah mengetahui kalau Pargata anak konglomerat.
Tiba-tiba, seringaian Pargata terbayang kembali. Kenapa Pargata tersenyum mengerikan seperti itu? Ia jadi mulai khawatir jika Pargata akan benar-benar membunuhnya.
-'- -'- -'- -'- -'-
Isla was not a brave girl.
KAMU SEDANG MEMBACA
Isla & the Two-Faced Boy
Teen FictionSebenarnya, hidup Isla simple-simple saja. Menyendiri, baca buku, mendengarkan musik, belajar, dan melakukan hal lain yang dilakukan seorang introvert pada umumnya. Sampai Isla mendapatkan sebuah pesan aneh dari nomor anonim. Setiap Isla memblokir n...