Isla mendelik ke arah Pargata yang baru saja menjawab pertanyaan rumit guru Matematika. Gadis itu menyipitkan mata ke arah papan tulis hijau yang sudah tak polos lagi--penuh dengan garis kapur yang menuliskan untaian angka dan huruf berbelit. Ia baru saja berusaha keras membuat mesin dalam tempurung kepalanya bekerja mencerna penjelasan yang di jelaskan guru beberapa menit tadi.
Isla rasanya ingin sekali membenturkan kepala panasnya ke dinding. Mungkin jika Isla robot, maka kepulan asap hitam pasti mulai muncul dari dalam otaknya. Gadis itu memijat keningnya lelah. Tak mengerti mengapa dirinya susah sekali terbiasa. Ia meruntuk karena semalam malah malas belajar dan berakhir terlihat seperti orang idiot.
Sepertinya, Isla harus melarat pujian-pujian tak tulus orang-orang mengenai pencapaiannya. Mereka berkata kalau Isla pintar dan cerdas. Jelas mereka salah besar. Isla terkadang benci mengingatnya. Kalau dirinya pintar, mengapa ia susah sekali untuk mengerti pelajaran di sekolah yang belum dirinya pelajari lebih dulu di rumah?
Isla memdecih lirih melihat soal yang baru saja diberikan Bu Elsa dan Isla sudah mencatatnya. Isla terus membaca soal tersebut sampai pensilnya mulai menggores jawaban ragu-ragu. Otaknya semakin terbelit, Isla menumpukan keningnya pada tangan sambil terus menghitung.
"Isla, ini gimana sih caranya? Gue ga ngerti. Jawaban lo gimana?"
Isla rasa kepalanya sebentar lagi akan meledak mendengar suara Fadil. Beban. Apakah orang itu tak mengerti kalau dirinya sedang pening? Sudah payah ia menelan kalimat amarahnya yang hampir tersampaikan.
"Gue juga lagi pusing ini."
Fadil tak lagi bertanya. Pemuda berkaca mata itu beranjak dan menghampiri teman-temannya yang sedang bekerja sama.
Melihat sebagian teman-teman kelasnya saling memberi contekan, Isla menghela napas dan kembali menekuni Matematika.
"Oke! Baru satu orang yang beres dan bener jawabannya. Ayo, mana yang lainnya? Isla, kamu ga nyusul Pargata?"
Kepala sang empu yang tengah tertunduk sontak terangkat ke arah meja guru tempat Bu Elsa duduk sambil memeluk buku Pargata. Isla tersenyum kosong pada Bu Elsa dan kembali menunduk ke arah bukunya. Satu menit kemudian, Isla selesai dan beranjak mengumpulkan. Ia berdiri di depan meja sambil tertunduk. Lehernya bergelombang saat saliva tertelan kala matanya melihat satu garis miring terdapat pada nomor lima hingga delapan dari sepuluh soal.
"Lain kali lebih teliti, ya, Isla?" Bu Elsa menyodorkan buku tulis gadis itu pada pemiliknya.
Setelah mengangguk dengan senyuman tak bermakna, Isla kembali ke tempat duduknya sambil membawa buku tulisnya di apitan jari. Dengan wajah muram, Isla memandang iri Pargata yang sedang mengajari teman-temannya.
-'- -'- -'- -'- -'-
Sepulang sekolah, Isla langsung masuk ke kamar yang pintunya sudah terbuka dari ia berangkat sekolah. Menjatuhkan ranselnya ke lantai yang dingin, Isla langsung menggeletakan diri di lantai setelah berganti baju. Kelopak matanya terpejam, menikmati sensasi dingin menyergap badannya yang menggunakan kaus abu-abu kebesaran lengan pendek. Isla meletakan lengan kanannya berada di atas kening.
Tiba-tiba tenggorokannya tercekat, matanya memanas. Isla menjauhkan lengannya dan kembali membuka mata. Ia merasakan sebuah tekanan menekan mentalnya. Overthingking, Isla selalu merasakan hal itu setiap nilainya jelek. Tanpa dapat ia kendalikan, semua kemungkinan negatif selalu berputar dan membuatnya muak. Isla tak tahu mengapa responnya sebegitu berlebihan terhadap seonggok nilai yang turun--seharusnya tak ada yang perlu di khawatirkan Isla, toh orang tuanya saja apatis. Seharusnya ia biasa saja, toh hanya cuma nilai tugas harian.
Isla terkekeh remeh. "Mental yupi gue," ucapnya serak.
Isla merasa otaknya sudah seperti keadaan swalayan menjelang lebaran. Berisik, sesak, memuakan. Gadis itu beranjak untuk duduk di depan tembok guna membenturkan kepalanya sekali. Rasanya sedikit sakit dan berdenyut, Isla menikmatinya dengan mata terpejam.
-'- -'- -'- -'- -'-
Seminggu sebelum ulangan harian Matematika, Isla hampir menghabiskan waktu luangnya untuk belajar--ya meski kadang beberapa menit sejenak ia mangkir untuk membaca wattpad. Isla tak tak pernah tak tergoda rayuan cowok fiksi yang terus terngiang-ngiang di otaknya.
Setelah berbelok arah sejenak, Isla biasanya jalan-jalan di dalam rumah tidak jelas untuk menghilangkan rasa candunya. Lalu gadis itu kembali ke atas kasur untuk menghitung.
Saking maboknya ia belajar Matematika, Isla sampai sedikit berhalusinasi. Sedikit-sedikit gadis itu melihat bentuk bulat, segitiga, segiempat, persegi panjang, dan bentuk lainnya, ia sampai terbayang akan sebuah rumus dan berapa derajat sudut dari bentuk itu. Efek dari itu, tak jarang juga Isla kedapatan melamun.
Pernah satu waktu, saat Isla habis meneguk air putih dari botol berukuran satu liter (Isla memang selalu membawa botol berisi air minum ke kamar karena Isla sering merasa haus dan malas untuk bolak-balik ke dapur), ia terdiam sambil mengamati botol di tangannya. Gadis itu teringat pelajaran Matematika di Sekolah Dasarnya dulu. Ah, kira-kira rumus volume tabung itu apa, ya? Isla lupa-lupa ingat.
Ketika suatu hari melewati lapangan outdoor basket, Isla tak sengaja melihat bola basket melambung ke arahnya. Bukannya menghindar, Isla malah mengingat-ngingat gerak parabola. Jadilah bola itu menghantam kepalanya, dan menyadarkan Isla hingga malu habis-habisan.
Di samping usahanya kemarin-kemarin, Isla bersorak dalam hati saat melihat kertas ulangan hariannya terdapat nilai sembilan puluh lima di sana. Ia tersenyum bangga.
"Wih gila! Lo hoki banget, bos!"
"Pargata bukan hoki, dia emang udah pintar sejak dini, bego."
"Lo bukan cicitnya Albert Einstein, 'kan, Ga?"
"Ya, enggaklah."
"Kali aja, iya."
"Kapan, ya, gue dapet nilai seratus di ulangan MTK?"
"Hih! Halu aja sono."
Seketika senyuman Isla memudar saat melihat ke arah bangku Pargata yang dikerumuni beberapa siswa, terlebih lagi mendengar obrolan mereka. Gadis itu membanting kertas ulangannya dan menopang dagu malas.
Capek gue tuh, capek!
Isla tak tahu harus mesti bagaimana lagi. Gadis itu kira nilainya yang paling besar, namun nyatanya ia sejenak menolak lupa akan keberadaan si anak baru.
-'- -'- -'- -'- -'-
Isla is a smart girl because she studies.
KAMU SEDANG MEMBACA
Isla & the Two-Faced Boy
Dla nastolatkówSebenarnya, hidup Isla simple-simple saja. Menyendiri, baca buku, mendengarkan musik, belajar, dan melakukan hal lain yang dilakukan seorang introvert pada umumnya. Sampai Isla mendapatkan sebuah pesan aneh dari nomor anonim. Setiap Isla memblokir n...