Isla duduk bersila di sofa bagian tengah di antara Prima dan Kak Najwa, sedangkan Alwi dan Kak Johan duduk lesehan di karpet berada di dekat kakinya. Berbeda dengan mereka berempat yang tengah mengintip di balik bantal sofa, Isla justru menatap kosong layar televisi yang memutar film horor--bahkan sampai hantu dalam film tersebut muncul, tatapan gadis itu masih sama.
Kemarin lusa Johan dan Najwa sepakat mengambil jatah cuti, setelah mereka berpuas ria dengan keluarga masing-masing, kedua sepupunya itu mengajak Prima dan Alwi datang ke rumahnya. Kebiasaan lama yang sudah cukup lama mereka tinggalkan.
"AAAA!" Prima kelepasan berteriak saat adegan jumpscare menegangkan, membuat Johan, Najwa, dan Alwi ikut terlonjak.
"Setan tuh hantu ngagetin gue. Mana mirip banget sama Alwi!" gerutu Prima membuat sang empu meliriknya sinis.
"Dih, ngaca sono. Orang miripnya sama lo. Nggak liat itu hantu rambutnya panjang kayak Rapunzel?" balas Alwi tak mau kalah.
Prima sontak tak terima, ia melotot garang pada pemuda itu. "Nyebelin lo! Gue kutuk lo jadi babi baru tau rasa!"
"Nyenyenye," ejek pemuda itu lalu tertawa, hal itu membuat Prima memukul kepala Alwi dengan bantal.
Sang empu tampak mengaduh. Saat melihat Alwi mengambil ancang-ancang untuk membalas, Najwa lebih dulu mengintrupsi. "Stop!" Perempuan dewasa itu mengembuskan napasnya. "Udahan, ah, berantemnya. Kita lagi family time ini, loh."
Johan mengambil toples menyimpanan kacang, merogoh isinya, lalu memakannya beberapa biji. "Lucu deh kalian berantem terus dari kecil, nggak cape apa?" sindirinya.
Alwi dan Prima tampak memberengut, dan mulai saling melemparkan tatapan sengit. Sementara Isla hanya duduk diam, bersandar pada kepala sofa dan menyimak dengan wajah lesu.
Setelah menatap Tom & Jerry yang sedang berperang lewat tatapan, Johan tak sengaja melihat raut wajah Isla yang sama sekali tidak bersemangat. Lalu pria itu berbisik pada Najwa, "Wa, pindah dulu duduknya di sini, boleh?"
Najwa tentu saja kebingungan, dia menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa?" Namun saat Johan melirik sekilas Isla yang tampak lebih aneh dari biasanya, Najwa mulai paham. Dia akhirnya menuruti Johan untuk bertukar tempat duduk.
Johan yang masih asik memakan beberapa biji kacang menatap Isla yang terduduk dengan raut wajah seperti orang terlilit hutang. Lantas pria itu menyodorkan tujuh butir kacang dengan telapak tangannya pada Isla. "Mau?"
Gadis itu melirik sekilas lalu menggeleng dan menjauhkan tangan Johan dari pandangannya tak nafsu.
"Buka mulut. Aa ... " Tapi pilot muda itu tetap memaksanya. Membuat Isla mendengus pelan malas berdebat, ia langsung menuruti perintah sampai kacang-kacang itu terbang dan mendarat di lidahnya.
"Kenapa? Rankingnya turun lagi?"
Itu terdengar sangat menyebalkan bagi Isla. Jadi dia hanya diam tak menjawab.
"Ya, seenggaknya meski kamu nggak punya adik atau kakak dan orang tua kamu jarang ada di rumah, kamu masih punya kita. Apa gunanya kita ada kalau kamu nggak manfaatin dengan baik?"
Netra lesu Isla memberanikan diri menatap wajah Johan yang begitu dewasa. "Aku cuma mau ... jadi mandiri?"
Johan menatap balik tatapan ragu dan canggung itu. Dia tersenyum tipis, Isla memang susah sekali akrab dengan siapapun dari dulu. Bentengnya sedikit terlalu kuat. "Tapi manusia makhluk sosial, bukan individu. Enggak selamanya manusia bisa benar-benar mandiri setiap saat. Ada masanya manusia masih memerlukan bantuan orang lain. Bagaimanapun juga, setiap manusia memiliki batasan atas diri mereka."
KAMU SEDANG MEMBACA
Isla & the Two-Faced Boy
Ficção AdolescenteSebenarnya, hidup Isla simple-simple saja. Menyendiri, baca buku, mendengarkan musik, belajar, dan melakukan hal lain yang dilakukan seorang introvert pada umumnya. Sampai Isla mendapatkan sebuah pesan aneh dari nomor anonim. Setiap Isla memblokir n...