32. Isla dan Hal Yang Tidak Dimengertinya

43.3K 4.4K 159
                                        

Diam dengan tenang mengamati keramaian kelas bukan hal yang luar biasa bagi Isla. Di saat yang lainnya tertawa dan bercanda, Isla tetap duduk di bangkunya tanpa semangat hidup. Gadis itu tak ada aktivitas lain selain menidurkan kepala ke mejanya yang berantakan. Memandang alat-alat tulisnya yang berserakan sambil melamun. Kalau tidak seperti itu, palingan ia membaca buku paket atau mengerjakan soal. Tidak ada yang menarik. Sedari SMP ketika jam kosong, tak pernah lebih dari ini. Isla tidak tahu kenapa ia tidak punya teman seperti masa SD-nya dulu. Apa mungkin dirinya terlihat sebegitu kaku dan membosankan? Ah, ia tak tahu dan tak ingin memikirkannya terus menerus.

Dalam kesendirian dan lamunan jiwanya, Isla merasa aneh saat tak mendengar suara ribut-ribut lagi. Kemudian gadis itu mengangkat kepalanya. Iris matanya berpendar dalam kesunyian yang tiba-tiba. Semua teman kelasnya ... tampak aneh, mereka ... tampak seperti patung?

Isla memutuskan beranjak dari kursinya perlahan. Mereka semua diam kaku, selayaknya patung. Dahinya berkerut, tidak ada suara dan tingkah rusuh mereka lagi. Karena merasa tak nyaman, Isla buru-buru membereskan semua barangnya saat melihat jam di dinding menunjukkan waktu pulang. Lalu tanpa berlama-lama, ia menggendong tas dan mengambil langkah untuk keluar dari kelas dengan raut bingung.

Isla melangkahkan tungkai kakinya dengan gerakan pelan. Melewati beberapa kelas yang keadaannya tak berbeda jauh dari keadaan kelasnya tadi. Ada apa ini? Kenapa jadi aneh seperti ini? Apa yang terjadi tadi?

Sekolah yang biasanya ramai penuh sesak saat jam pulang, kini tampak tak jauh berbeda dengan kuburan. Sepi sekali, seolah hanya dirinya yang terakhir keluar. Di luar sekolah, Isla juga tak menemukan tanda-tanda kehidupan. Tak ada ibu-ibu atau bapak-bapak yang lewat, tak ada suara deru mesin kendaraan atau sekedar suara burung yang terbang. Gadis itu masih tetap meneruskan langkahnya menunju jalan besar sambil menggaruk kepala bingung. Sepi, namun entah mengapa terasa sangat nyaman. Isla merasa menemukan kedamaian yang sesungguhnya.

Sampai di jalan besar, ia tak menemukan satupun kendaraan yang lewat. Kosong sekali. Terlihat mustahil. Lalu dengan sengaja, Isla menempatkan jalur jalan kakinya di tengah jalanan beraspal. Mereka tetap tak ada. Isla menggaruk lehernya. Dengan hatinya yang tak peduli, gadis itu sedikit mempercepat jalannya. Dan sedetik kemudian, netranya menangkap sebuah taman sederhana beserta sungai kecil yang jernih berada di samping jalan. Isla memutuskan untuk ke sana dengan rasa penasaran. Untuk sampai ke sana, ia perlu menuruni puluhan tangga sebab letak tanah taman lebih rendah tak sepantar dengan jalanan.

Gadis itu berjalan pelan di atas jalan setapak yang dilapisi keramik. Kemudian, Isla duduk di pinggir jembatan keramik tanpa pembatas apapun, menjulurkan kakinya menghadap aliran sungai kecil yang begitu jernih. Bahkan Isla sampai bisa menata pantulan dirinya sendiri. Gadis itu tersenyum tipis penuh kegugupan.

Ia menatap sekitar. Benar-benar sepi. Tapi Isla menyukainya, ia merasa dirinya begitu bebas berekspresi di tempat umum yang seharusnya ramai manusia, namun ini tidak.

Masih dengan senyum sangat tipisnya, Isla melepaskan tasnya. Menjadikan tas sebagai bantal saat dirinya merebahkan tubuhnya begitu saja ke belakang. Menatap langit biru tak panas dan beberapa ranting pohon berdaun yang sedikit menghalangi sosok langit bersama sang awan. Setiap hari tanpa henti bumi menatap langit bersama matahari, bintang, bulan, dan awan, apakah dia tidak cemburu? Isla benar-benar memuji bumi. Ia ingin menjadi bumi, tapi bumi yang hanya bersama tumbuhan dan makhluk lain yang tak berakal sempurna. Terdengar munafik, tapi Isla entah mengapa merasa nyaman saat tak ada manusia.

Saat merasa angin menina bobokannya, Isla mulai memejamkan mata dalam ketenangan yang indah, sebelum rungunya kembali mendengar suara grasak-grusuk yang sedikit mengganggunya. Lantunan musik piano yang tenang dan sedikit pelan dari headset putih berkabel menyadarkan Isla. Perlahan matanya terbuka, dan mengerjap pelan. Yang pertama ia lihat adalah tembok dan lengannya. Kemudian ia baru sadar jika ia tertidur dalam keadaan tak nyaman, kepalanya sedikit tenggelam dalam lipatan tangan di atas meja.

Isla & the Two-Faced BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang