"Anak-anak, Ibu izin ke keluar dulu, ya. Ibu ada keperluan di luar sebentar. Untuk itu, kalian lanjutkan dulu latihan soal bab selanjutnya, dan Sabtu harus sudah beres. Ibu pergi dulu." Guru mata pelajaran Matematika Wajib mengangkat kakinya ke luar dari kelas bersama barang bawaannya. Menyisakan desahan lega dari para penghuni kelas.
Isla segera menyibak halaman-halaman buku paketnya. Beberapa orang yang tersasar di kelas IPA tampak tak memedulikan tugas dari guru mereka. Sedangkan untuk anak-anak ambis lebih memilih tugas mereka daripada kesenangan sementara.
Lima belas menit mengerjakan soal yang membuat otak berasap, Isla menghentikan kegiatannya saat merasakan panggilan alam. Gadis itu menegang gelisah sembari menelan ludah. Matanya berkeliaran ke sekitar. Karena sudah tidak kuat lagi, gadis itu beranjak dari tempat duduknya lalu berjalan cepat ke luar kelas. Saat di koridor sepi ia mempercepat gerak laju kakinya sampai toilet. Masuk ke salah satu bilik lalu mengunci pintu.
Sampai akhirnya selang beberapa menit, Isla ke luar dari dalam biliknya sambil mengembuskan napas. Tanpa membuang waktunya lebih lama di toilet, Isla berjalan kembali hendak menuju kelas dengan santai.
Namun di tengah perjalanan, instingnya memberhentikan langkah Isla. Gadis itu berhenti di lorong dekat dengan lapangan basket outdoor. Semula sorot mata Isla masih memandang lurus, satu detik kemudian ia menengadah ke arah rooftop gedung IPA.
Matanya terpaku menatap seorang gadis dengan penampilan berantakan serta pipi yang bersimbah air mata, dia berdiri tepat di pembatas rooftop sembari menunduk ke bawah. Saat pandangan mereka tak sengaja bertemu. Gadis berponi mirip dengan Isla tersenyum pedih pada ekspresi datar Isla.
Saat gadis berantakan itu mengusap air matanyapun, Isla masih terdiam melihatnya tanpa ekspresi panik atau gelisah. Otaknya tampak masih berproses.
Lalu tak lama, sosok yang menjadi objek pandangnya melangkahkan kaki ke depan, membuat ia jatuh bebas dari rooftop menuju lapangan basket. Tak ada yang namanya slowmotion, tubuh tak berdaya itu langsung tertarik gravitasi. Ia tergeletak bersimbah darah di tengah lapang yang panas. Kepala dan seluruh badannya terbentur dengan keras. Darah menggenang di sana. Isla masih terdiam dengan mata mengerjap pelan.
Apa tadi itu? Kenapa cepat sekali?
Selang satu menit, telinganya langsung berdengung mendengar ribut-ribut dan suara jeritan.
-'- -'- -'- -'- -'-
Tap tap tap.
Suara langkah kaki yang tampak terburu-buru mendera lantai masuk ke dalam rungu para penghuni kelas XII IPA 3. Mereka tentu sangat mengumpati gerombolan yang mengganggu itu.
"WOI! INI MASIH JAM PELAJARAN! GANGGU BET LO SEMUA!" teriak Aldo yang sudah berada di ambang pintu kelas pada beberapa murid yang berlari menuju lapangan basket outdoor.
"URGENT, ANJING! ADA YANG BUNDIR!"
Seketika suasana kelas IPA 3 menegang, lalu tak lama ribut bersama rasa panik mendengar seruan itu. Raut cemas, penasaran, takut, dan serius tampak membaur. Namun tak dengan Pargata, pemuda itu masih tetap menunduk mengerjakan tugasnya. Itu tak penting menurutnya.
Aldo yang masih penasaran lantas memberhentikan satu murid perempuan yang tampak ketakutan sehabis dari lapangan basket outdoor. Pemuda dengan dasi yang sudah berantakan itu terlihat berusaha lembut saat menggali informasi. Tak lama ia kembali ke bangkunya setelah selesai.
Malik yang duduk tak jauh dari bangku Aldo dan Pargata lantas bertanya, "Siapa yang bunuh diri?"
Aldo menghadapkan badannya ke arah Malik. "Cewek. Dia loncat dari rooftop katanya."
![](https://img.wattpad.com/cover/332081505-288-k637475.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Isla & the Two-Faced Boy
Genç KurguSebenarnya, hidup Isla simple-simple saja. Menyendiri, baca buku, mendengarkan musik, belajar, dan melakukan hal lain yang dilakukan seorang introvert pada umumnya. Sampai Isla mendapatkan sebuah pesan aneh dari nomor anonim. Setiap Isla memblokir n...