Akhir pekan Isla jalani dengan duduk lesehan di lantai ruang tamu di depan laptop--bekas omnya--yang dia letakan di atas meja, dari pagi hingga sore. Wajahnya tak sama sekali tersirat semangat selama itu. Otaknya terus berputar untuk mencari jalan menuju mimpinya.
Mengumpulkan berkas dan biaya untuk mendaftar kuliah dengan beasiswake luar negeri nyatanya memang tak mudah. Isla bahkan sudah memikirkan dan bertekad akan hal ini dari kelas sepuluh. Ia belajar bahasa Inggris mati-matian, untuk bisa berhasil mendapat skor IELTS yang tinggi nantinya. Ia juga belajar keras agar uangnya tak sia-sia untuk test A Level.
Ada banyak nominal uang yang Isla butuhkan. Dan itu membuatnya stres. Dirinya merasa sudah siap untuk melakukan semua tes itu, namun tabungannya hanya ada satu juta. Sedangkan untuk mengikuti tes IELTS dan A Level memerlukan biaya lebih dari itu.
Belum lagi dirinya harus memikirkan biaya persiapan berangkat dan biaya aplikasi. Isla benar-benar ingin menangis mengetahui banyaknya nominal yang dibutuhkan. Bisa mencapai dua puluh jutaan bila di jumlahkan, atau bahkan bisa lebih. Namun karena Isla tak mengambil les untuk IELTS dan A Level, juga dirinya bisa menerjemahkan berkas sendiri, jadi total yang dibutuhkannya sekitar lima belas jutaan. Isla benar-benar ingin menangis kencang. Berharap sekoper uang jatuh menerobos langit-langit rumah.
Gadis dengan penampilan lusuh itu memijat keningnya. Ia berusaha kembali mengerjakan motivation letter untuk beasiswanya.
Sebenarnya, jika Isla tak jadi mendaftar karena tak kunjung punya uang, dirinya punya jalan lain. Mungkin ia akan menunda mimpi itu. Ia akan mencoba kuliah S1 di Indonesia dengan beasiswa LPDP, dan kuliah sambil kerja. Setelah merasa mempunyai uang yang cukup, dirinya akan kejar lagi mimpi itu.
Kedengaran mudah. Tapi tentunya takkan semudah itu. Membagi waktu adalah hal yang tersulit. Isla cukup pesimis sekarang.
Di rasa sudah cukup muak, Isla menghentikan kegiatannya. Gadis itu lalu meneguk air dari botol minum. Kemudia ia letakan kepala terbaring di atas meja dengan lemas. Perutnya mulai sakit. Maag-nya kambuh lagi.
Isla bingung. Antara ingin menangis dan menyerah. Takut bila yang dilakukannya hanya sia-sia. Takut bahwa mimpinya itu memang terlalu gila dan mustahil. Isla memejamkan mata pening. Apakah dirinya harus menyerah?
-'- -'- -'- -'- -'-
Terpaksa harus melepaskan dan mengubur mimpi dalam-dalam tentu sangat menyakitkan bagi banyak orang. Begitu juga dengan Pargata. Mimpinya untuk menjadi seorang ilmuwan harus terbakar jadi abu begitu tahu kakaknya melarikan diri dari rumah. Menumbalkan semua penderitaanya pada Pargata. Semua tekanan yang seharusnya si bajingan Pradipta itu dapatkan kini beralih padanya. Memang sialan. Pargata membenci kakaknya yang brengsek itu, sungguh. Terlalu pengecut. Kabur dari tekanan si Rajasa untuk menikah dengan kekasihnya yang sedang hamil. Pargata muak jika mengingat-ingat wajah kakaknya itu. Yang berkali lipat lebih menyebalkan dari Aksa.
Mau tak mau, Pargata harus menggali lubang dalam-dalam untuk mengubur semua harapannya. Bagaimanapun juga, Pargata masih ingin hidup dengan banyak harta--ia tak mau munafik.
Jika hari Minggu adalah hari yang paling menyenangkan untuk beristirahat dan bersenang-senang bagi banyak orang, maka itu tak berlaku pada Pargata. Rajasa mentitahnya untuk ikut ke kantor dan melihat apa saja yang dilakukan pak tua itu. Hanya perkenalan katanya, sebelum nanti sesudah lulus kuliah Pargata akan mengambil alih.
Memakai kemeja putih, celana bahan warna hitam, jas hitam, juga sepatu pantofel dengan warna senada. Pakaian dan rambutnya sudah rapi, dan hal itu semakin membuat aura ketampanan Pargata menguar dengan pekat. Namun, terlepas dari itu semua, tak ada raut riang atau bahagia di wajah pemuda tampan itu. Bahkan senyum tipispun tak ada sama sekali. Namun tetap saja, meski begitu dia masih terlihat menawan membuat beberapa orang sulit mengalihkan pandangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Isla & the Two-Faced Boy
Teen FictionSebenarnya, hidup Isla simple-simple saja. Menyendiri, baca buku, mendengarkan musik, belajar, dan melakukan hal lain yang dilakukan seorang introvert pada umumnya. Sampai Isla mendapatkan sebuah pesan aneh dari nomor anonim. Setiap Isla memblokir n...