28. Isla dan Orang Dengan Gangguan Jiwa

40.4K 4.3K 97
                                    

Begitu bel pulang berdering, Isla keluar lebih cepat dari kelas di banding murid-murid lainnya. Di tengah kerumunan para manusia-manusia berseragam, Isla menyalip dengan cepat untuk sampai ke perpustakaan, sambil berharap jika Pargata tak mengikutinya. Di depan pintu perpustakaan, Isla menoleh ke belakang sejenak sebelum melangkah masuk sambil bernapas lega.

Gadis itu tersenyum ramah pada penjaga perpustakaan. Ia berjalan pelan di antara rak-rak buku. Lalu Isla menarik buku sejarah Konstantinopel, membawanya ke meja khusus untuk membaca. Isla mengambil duduk paling pojok dekat tembok, kemudian jemarinya tergerak membuka halaman pertama buku itu.

Hari ini, entah kenapa Isla malas pulang cepat. Pikirannya sedikit terganggu saat mengingat pertengkaran orang tuanya tadi malam. Pertengkaran mereka tak jauh dari masalah ekonomi.

Isla tersenyum getir, mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskannya secara teratur. Gadis itu meletakan sikunya bertumpu pada meja, satu tangannya ia gunakan untuk memijat keningnya. Tanpa sadar, semua itu telah masuk menjadi bebannya. Isla memikirkan nilai dan biaya secara bersamaan, membuatnya ingin menjedotkan kepala ke tembok perpustakaan tanpa menimbulkan suara.

Tatapannya termagu, Isla harus bisa mencari cara agar posisinya naik dan tak tergeser oleh Pargata lagi. Dan Isla harus bisa mendapatkan beasiswa untuk ke perguruan tinggi, impiannya adalah Oxford meski terdengar mustahil.

Keadaan perpustakaan begitu sunyi, hingga suara pergerakan baling-baling kipas di langit-langit perpustakaan yang memutar terdengar mendominasi. Sejuk dan tenang. Kondisi yang selalu membuat Isla sangat nyaman. Sangat nyaman untuk melamun di temani aroma khas buku yang menyeruak halus.

Kedatangannya ke perpustakaan nyatanya tak seperti bayangan Isla sejak awal, ia akan membaca dan melupakan sejenak. Namun pada akhirnya ia malah melamun sambil menatap kosong lembaran buku di depannya. Lalu setelah beberapa menit kemudian, Isla mengecek jam dari gawainya. Sudah setengah jam ternyata dirinya berada di sini. Sekolah tentu sudah sepi, para murid sudah pulang kecuali murid yang mengikuti jadwal ekstrakurikuler.

Isla memutuskan untuk menutup buku sejarah di tangannya, ia bangkit dari duduk, menyimpan kembali buku tersebut ke tempat asalnya. Barulah gadis itu melangkah pergi dari perpustakaan setelah berpamitan pada penjaga tempat tersebut.

Memandang lekuk dalam bangunan SMA Dewantara membuat Isla terpikir untuk berkeliling gedung sekolahnya untuk pertama kali. Ya, mungkin tidak ada salahnya sambil menenangkan pikiran.

Di sepanjang jalannya di koridor lantai satu, Isla bersiap merekam semuanya. Kelas kosong, pintu, speaker, dan warna serta lekuk semua itu. Berhenti sejenak guna mengambil headset berwarna putih beserta gawai dari tasnya. Ia kembali memakai tasnya dengan benar. Lalu Isla menyambungkan headset-nya ke gawai. Mencari lagu yang cocok untuk ia dengar saat ini. Tiba-tiba sorot matanya terpaku pada sebuah judul lagu, Something Just Like This--Coldplay dan The Chainsmokers. Tanpa sadar ibu jarinya menekan lagu tersebut untuk di putar. Setelah itu Isla menyumpal kedua telinga dengan dua kepala headset yang tadi bergelantungan, memasukan gawainya ke saku rok sebelum kembali berjalan.

Lagu ini termasuk salah satu lagu favoritnya sejak SMP. Isla tersenyum tipis. Mungkin arti lagunya tak sinkron dengan keadaannya, tapi nada dan lirik ini membuatnya sedikit merasa lebih baik.

Dulu saat SMP, Isla dan Alwi pernah menyanyikan lagu ini--karoke bersama di rumah, di depan Kak Johan dan Kak Najwa. Mereka tertawa saat mendengar pelafalan Alwi yang begitu menggelikan. Karena tak terima di ejek, Alwi mengajak mereka bermain perang dengan batal dan guling sebagai senjata.

Isla tersenyum tipis. Meski tak punya teman dekat--atau sebutannya sahabat, Isla masih punya tiga sepupu yang terkadang menyebalkan karena selalu mengganggu waktu sendiriannya. Tahun ini mereka jadi jarang berkumpul, Kak Johan dengan profesi pilot mudanya, dan Kak Najwa dengan perjuangannya untuk bisa menjadi sarjana psikolog. Sedangkan Alwi, bocah itu mungkin sedang sibuk dengan geng motor abal-abalnya. Mungkin juga, bocah itu kini sedang menjadi sad boy, karena terakhir bocah itu cerita jika putus dari pacarnya--Mika, setahu Isla Mika sudah menjalin hubungan dengan Alwi dari awal MOS.

Isla & the Two-Faced BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang