Mobil BMW hitam menggelindingkan bannya masuk ke dalam pelaltaran parkiran sebuah rumah besar. Pintu mobil terbuka, Pargata turun dari mobilnya. Menggendong tasnya dengan satu pundak sambil berjalan menuju teras rumah besar nan mewah itu. Dua penjaga yang berjaga di tiap sisi pintu masuk berdaun dua, membukakan pintu untuk Pargata lebar-lebar. Dengan wajah datar yang sangat tidak khas, Pargata mengetuk lantai dengan sepatu mahalnya.
Ketika hendak mencapai anak tangga menuju kamar, Pargata tak sengaja melihat sosok wanita cantik sedang memangku laptop di pangkuannya. Wanita bersetelan jas marun itu menggunakan kaca mata. Dia tampak sangat fokus memperhatikan layar laptop, sambil duduk setenang air danau di sofa panjang di ruang khusus keluarga.
Pargata mengurungkan niatnya untuk pergi ke kamar, memilih mendekati wanita itu. Ia meletakkan tasnya di lantai sebelum bertekuk lutut di hadapan wanita tersebut.
Sang empu yang sedang fokus pada laptop menyadari kehadiran Pargata di hadapannya. Lantas ia memindahkan laptop-nya ke nakas seraya melepaskan kaca mata.
"Gimana sekolahnya?" tanya wanita bernama Kirani itu dengan wajah tanpa ekspresi.
"There's nothing special," jawab Pargata bernada hampir melirih seraya meraih tangan kanan Kirani untuk di ciumnya.
Kirani mengangguk singkat dan mengusap sebentar kepala pemuda itu. "Apa yang kamu dapatkan hari ini?"
Pargata termenung sejenak sebelum menjawab, "Fisika, Seni Budaya, dan Pendidikan Kewarganegaraan. Also ... perfect score."
"Good. I hope it will stay like that." Kirani menepuk-nepuk kepala Pargata. Setelah mengatakan itu, butuh jeda beberapa detik untuk Kirani mengubah wajahnya menjadi serius.
"Dikara ... saya tidak akan bosan mengingatkan kamu tentang apa yang harus kamu lakukan dan tidak boleh lakukan," ucap Kirani setelah beberapa detik kemudian dan di balas anggukan oleh pendengarnya.
"Kamu bebas melakukan apa yang kamu mau, asalkan jaga baik-baik nama baik kamu dan keluarga kamu. Paham, Mr. Dikara?" sambung Kirani dengan suara selembut sutranya yang sarat akan ketegasan.
"Iya, Ma ... aku ngerti."
"Good boy." Kirani tersenyum tipis, ia mencium singkat kening Pargata sebelum beranjak bersama laptop dan kaca matanya.
Setelah di tinggal sendiri, Pargata menundukkan kepalanya dan menghela napas.
-'- -'- -'- -'- -'-
Jam istirahat hari ini, Pargata memutuskan untuk ke taman paling sepi di SMA Dewantara. Ia perlu mendinginkan kepala, menenangkan pikirannya sejenak. Pemuda yang kini berwajah datar itu mengambil tempat di kaki pohon rindang berumput untuk duduk. Menyandarkan punggungnya yang terbalut kemeja putih ke batang pohon teduh tersebut tanpa takut kotor. Duduk menghadap benteng pembatas SMA Dewantara. Jadi jika pun ada orang yang melewati taman ini, orang itu tidak dapat melihat keberadaan Pargata.
Pargata merogoh saku celananya, mengeluarkan sebungkus rokok dan bensinnya. Mengeluarkan sebatang rokok sebelum kembali memasukan bungkus rokok ke saku. Meletakan ujung rokok terapit belahan bibir. Menyalakan pemantik, membakar ujung rokok yang satunya. Kemudian, pemantik itu ia sembunyikan lagi ke saku.
Dua jarinya mengapit rokok, membiarkan mulutnya menghembuskan asap dengan tenang. Hisap dan buang. Pargata melakukanya dua hari sekali secara diam-diam.
Pargata memang bukan sepenuhnya laki-laki sempurna yang banyak dipikirkan para perempuan. Kebanyakan dari mereka salah menilainya. Meski terlihat seperti anak baik-baik, kenyataannya Pargata tak sepenuhnya seperti itu. Dan itu pilihannya sendiri.

KAMU SEDANG MEMBACA
Isla & the Two-Faced Boy
Fiksi RemajaSebenarnya, hidup Isla simple-simple saja. Menyendiri, baca buku, mendengarkan musik, belajar, dan melakukan hal lain yang dilakukan seorang introvert pada umumnya. Sampai Isla mendapatkan sebuah pesan aneh dari nomor anonim. Setiap Isla memblokir n...