38. Isla dan Kesendirian

34.3K 3.6K 153
                                        

Ujian kenaikan semester sudah sangat terpampang di depan mata. Isla tak bisa tidak gelisah saat besok adalah hari Senin di mana hari itu akan dilaksanakan ujian. Kecemasan dan ketakutan menyerang benak juga hatinya. Isla rasa dirinya sudah cukup banyak belajar, jadi seharusnya dia bisa sedikit lebih tenang, 'kan? Namun kenyataannya tidak bisa semudah itu. Overthinking selalu mengerubungi benaknya tak kenal lelah. Bahkan sampai hari H ujian, dirinya masih tak bisa tenang.

Apakah suatu hal yang mustahil bagi dirinya dapat mengalahkan nilai Pargata kali ini? Isla hanya ... ingin mengambil tempatnya kembali. Isla tak menampik kalau dirinya sangat terobsesi dengan nilai. Seakan ranking dan nilai adalah segalanya. Tapi dalam pikirannya, itu adalah salah satu cara memantaskan diri untuk mendapatkan mimpinya yang terkesan terlalu halu dan gila. Mendapatkan Jardine Scholarship untuk kuliah di Universitas Oxford, Inggris.

Mamanya yang mengetahui mimpi Isla untuk menjadi dokter lulusan Oxford saja langsung tertawa, apalagi orang lain? Mungkin akan mengatainya lebih parah sambil terbahak kencang. Tapi ... apa itu salah? Apa Isla tak layak berambisi seperti itu? Isla tahu, mungkin terdengar tidak realistis, tapi bukankah jika semakin gila mimpi seseorang maka akan semakin besar peluang orang itu setelah banyak berusaha. Ah, mungkin Nikola Tesla dan Albert Einstein bahkan lebih gila lagi daripada Isla.

Cukup untuk mengkhayalnya, Isla kini butuh konsentrasi lebih dalam belajar untuk ujian hari terakhir. Yang kemarin-kemarin itu Isla cukup yakin jika jawabannya banyak yang tepat. Dan sekarang, Isla butuh kembali banyak belajar guna memperoleh hasil yang lebih sempurna.

Sebelum hari H ujian, Isla sudah menetapkan bahwa jam tidurnya berubah lebih larut, yang tadinya ia biasa tidur jam sembilan, kini ia tidur jam sebelas malam bahkan pernah hampir jam satu pagi. Tentu itu sangat melelahkan. Oleh karena itu, Isla sangat berharap Tuhan tak berencana menggagalkan harapannya. Jujur saja, Isla tak siap untuk gagal.

Namun saat pembagian raport, Isla merasakan petir tak kasat mata menyabarnya begitu kencang saat Bu Elsa mengumumkan nilai tertinggi berhasil kembali diraih oleh Pargata, meski sebenarnya selisih nilai Pargata dan Isla tak sangat jauh--masih sedikit berdekatan. Sepanjang itu Isla hanya mampu tersenyum getir menahan sesak.

Apakah usahanya kemarin benar-benar hanya percuma saja? Apakah ini bukti bahwa Isla takkan pernah menang dari Pargata? Mengapa? Kenapa ia tak bisa menang? Ini menyakitkan untuknya, sungguh.

Ah, rasa benci pada diri Pargata semakin membesar di dadanya. Bodoh? Tentu saja Isla menyadari jika dirinya bodoh. Membenci seseorang karena iri dengki. Tapi Isla tetaplah seorang manusia biasa yang masih bisa merasakan rasa iri terhadap pencapaian orang lain.

Cowok Anjing

Mulai liburan nanti, jangan pernah hubungin gue apalagi munculin diri lo di hadapan gue
21.30

Atau gue nggak akan segan ngelakuin hal nekat
21.30

Bundir di depan rumah lo misalnya?
21.31

Gue nggak main-main. Jangan lo pikir gue nggak berani ngelakuin hal itu
21.31

Gue udah terlalu muak hidup
21.32

Setelah mengirim pesan mengancam macam itu pada Pargata, Isla langsung mengaktifkan mode penerbangan di gawainya. Ia melempar asal benda itu di kasur, lalu menyusul merebahkan diri dengan kasar. Air matanya meluncur dari pelupuk yang sudah memanas dan memerah sejak tadi.

Isla tersenyum kosong menatap langit-langit kamar. Bisa ia pastikan Pargata takkan bisa melanggar ucapannya disaat diancam seperti itu. Isla masih ingat bagaimana wajah manipulatif Pargata kesetanan saat mengira bahwa dirinya loncat dari rooftop gedung.

Isla & the Two-Faced BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang