Twenty Nine

620 100 25
                                    

Di dalam perjalanan tidak ada yang berbicara, bukan Fani tidak mau tapi sumpah demi apapun dia benar-benar nervous. Sudah lama sekali dia tidak pernah lagi berduaan seperti ini dengan Ardi. Dia merindukannya, sangat! Dan sekarang ketika dirinya dan Ardi sudah bisa berduaan di dalam mobil dia tidak tahu harus seperti apa. Berbicara? Berbicara mengenai hubungannya? Rasanya terlalu berat jika tanpa adanya basa-basi terlebih dahulu, jadi ia hanya diam menikmati kesunyian di dalam mobilnya.

Lain hal dengan Ardi, ia sebenarnya sudah gatal sekali ingin berbicara. Betapa ia begitu merindukan waktu berdua seperti ini dengan Fani. Sudah lama sekali rasanya ia tidak menikmati momen-momen berdua. Setiap dia ingin mengeluarkan kalimat, mulutnya seolah kesulitan berucap. Dia takut perkataannya membuat Fani tidak nyaman, jadi sedari tadi yang dia lakukan hanya memikirkan setiap kata di dalam otaknya tanpa ia keluarkan.

Sampai kemudian perjalanan mereka terhenti pasalnya mereka sudah sampai di depan rumah Fani. Ardi melirik mobil ayah Fani yang ada di dalam, membuat ia berpikir apakah ayah Fani tidak kembali ke kantor?

"Makasih udah di anterin,"

Ucapan terima kasih Fani menyadarkan Ardi dari lamunannya.

"Ah iya,"

Fani lantas membuka pintu mobilnya, ia menunggu Ardi keluar dari mobil juga.

"Papa kamu ada di dalam?"

"Iya,"

"Yaudah kalau gitu, aku pulang dulu yah Fan."

Ardi menyerahkan kunci mobilnya pada Fani yang diterima olehnya.

"Besok, boleh aku jemput?"

"Kayaknya nggak bisa, kamu tahu kan Ar. Hubungan kita, dan tadi aku kira aku mulai bisa denger penjelasan kamu tapi aku ---"

"Tapi aku nggak pernah anggap hubungan kita berakhir, Fan!" Potong Ardi tegas.

Fani menggeleng lemah.

"Plis, Ar. Ini terlalu buru-buru buat aku, selama beberapa bulan ini kamu jauhin aku. Dan sikap kamu yang kembali berubah bikin aku, aku nggak mau bahas dulu boleh? Aku ingin kita bicarain dulu tentang semua masalah yang terjadi, setelah itu baru kita bisa bahas masalah kita."

Wajah Ardi kelihatan frustrasi, jelas dia tidak menyukai ide Fani. Namun, Fani ada benarnya juga. Dia melupakan apa yang telah dia lakukan pada cewek di depannya itu selama belakangan ini. Dia bajingan memang, seharusnya ia lebih peka dengan perasaan Fani. Berterima kasih lah pada Fani yang sekarang mau dia ajak pulang bersama. Seharusnya dia tahu diri untuk tidak terlalu terburu-buru, sekarang lihat kan akibatnya? Fani kembali menarik diri.

"Baiklah maafkan aku, aku terlalu memaksamu."

Fani diam saja, memandang ke arah lain.

"Yaudah kamu masuk gih ke dalem, papa pasti udah nungguin kamu." Ardi tak bisa untuk tidak mengelus rambut indah Fani. Dia benar-benar merindukan cewek ini demi Tuhan!

Tak ingin Fani kembali menarik diri, ia lantas menghentikan tangannya. Fani mengangguk kemudian berbalik lalu mulai berjalan meninggalkan Ardi. Cowok itu memandang punggung Fani yang menghilang masuk ke dalam rumah. Setelah itu ia berjalan keluar dari pekarangan rumah Fani.

Ardi berhenti kemudian mendial nomor Radit.

"Lo di mana?"

"Cafe."

"Jemput gue."

"Hah! Jemput lo di mana?"

"Rumah Fani!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 28, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

One More TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang