CHAPTER EIGHTEEN

39 15 9
                                    

Ziang Wu berbaring dalam kegelapan, terbungkus aroma tubuh Su Li dan kelembutannya, memeluk wanita itu di lekuk lengan saat sinar matahari mengintip malu-malu di balik tirai abu-abu. Terlepas dari pelukan penuh air mata di malam ia mengetahui fakta bahwa Ibu mertuanya dibunuh, ini adalah pertama kali bagaimana tubuh ringkih itu kembali tenggelam dalam pelukannya.

Su Li adalah wanita terkuat yang pernah ia kenal. Walaupun ia mengerti bahwa kemandirian yang dimiliki oleh wanita itu didorong oleh rasa takut. Takut ditinggalkan. Takut dikecewakan. Takut terluka. Su Li tidak banyak menceritakan masa lalunya, gadis itu hanya mengatakan hal-hal mendasar yang bisa menjadi acuan bagaimana dirinya dapat membantu, tetapi dari hal kecil itulah Ziang Wu dapat membentuk bagaimana sosok Su Li yang selama ini bertahan dan bertarung sendirian.

Bagaimana rasa kecewa akibat dikhianati sang Ayah yang melakukan pernikahan kedua setelah kematian sang Ibu sedikit banyak mempengaruhi Su Li dalam memandang sebuah hubungan yang disebut dengan pernikahan. Ziang Wu sadar, ia seharusnya tidak menghakimi karena begitulah fakta kehidupan. Bagi sebagian orang, hidup harus harus tetap berjalan walaupun sudah ditinggalkan.

Dering ponsel membuat salah satu diantara keduanya menggeliat. Su Li terbangun diselimuti perasan hangat dan aman walaupun kepalanya terasa sedikit pening. Seraya berjuang menembus awan tidur, ia membuka mata, dan hal pertama yang ia lihat adalah kulit seputih kapas dengan sedikit bercak merah yang menyebar di area leher.

Ziang Wu.

Di dalam hati ia merutuki kebodohannya. Ia telah menghabiskan malam dengan Ziang Wu. Sepanjang malam. Basah dan panas. Berpelukan. Bertautan. Kehangatan yang sempat menyapa berganti menjadi kegusaran. Apa yang sudah ia lakukan? Su Li yakin semalam ia tidak mabuk. Kesadarannya pulih saat jemari panjang itu mulai menyapa bagian paling sensitif di tubuhnya. Rasa mabuk dari dua gelas Nigeroni itu tergantikan dengan rasa memabukkan dari setiap sentuhan dan hentakan yang ia terima. Bagaimana ia menyeret Ziang Wu, membuatnya bersalah. Karena Su Li sadar, kebiasaan buruknya lah yang menjadi awal kesalahan ini bisa terjadi.

Belum sempat ia memikirkan cara untuk berbicara mengenai hal yang terjadi, deringan ponsel kembali terdengar. Membuatnya beringsut turun dari tempat tidur dengan hati-hati. Menyambar asal sweater hitam milik Ziang Wu yang teronggok di dekat ranjang.

“Ada apa?” tanyanya saat melihat nama sang Sekretaris yang ternyata telah memanggilnya beberapa kali. Seingatnya, Nona Lin sudah menyatakan bahwa ia tidak memiliki jadwal ataupun pekerjaan yang mendesak hari ini.

“Mohon maaf mengganggu waktu istirahat anda, Nyonya. Tetapi saya ingin menyampaikan hasil investigasi yang kemarin Nyonya minta.”

Su Li meremas pegangan cangkir porselen dalam genggamannya. “Kita bertemu di apartemenku. Nanti kukirimkan alamatnya padamu,” ucapnya kemudian memutuskan panggilan. Su Li menurunkan cangkir air putihnya dan bergegas memasuki kamar mandi.

***

Mendapati ranjang sebelahnya kosong membuat Ziang Wu harus menelan kekecewaan. Pengalaman pertamanya yang berakhir menyedihkan membuatnya tersenyum miring. Padahal ia sudah bersiap untuk berlutut meminta maaf atas tindakan kurang ajarnya semalam. Sprei yang dingin menandakan bahwa kepergian Su Li sudah lama.

“Apa yang kau harapkan, Ziang Wu?” ucapnya pada diri sendiri. Kemudian beranjak menuju kamar mandi. Senyum tipisnya sekali lagi tersemat kala melihat beberapa bercak yang ditinggalkan oleh sang Istri. “Apakah setiap mabuk kau akan berubah menjadi drakula?” monolognya. Untungnya mereka sudah tinggal di rumah sendiri, jadi Ziang Wu tidak pusing bagaimana harus menutupi tanda tersebut dari Ayahnya. Ia pun penasaran, berapa banyak jejak yang ia tinggalkan di tubuh mulus istrinya? Merasa pikirannya kembali melenceng kemana-mana, Ziang Wu bergegas ke bawah shower, membiarkan air dingin itu membersihkan isi kepalanya yang kotor.

LINGERING GRUDGE (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang