Freya memberontak namun Agung segera menariknya. Mata Freya sudah sembab karena terlalu lama menangis. Baju Freya juga sudah acak acakan. Gadis itu sangat kacau dan berantakan. "Udah, dek. Iklas ya? "
Freya menangis di dekapan Agung dan menatap dokter dan dua suster yang sedang alat alat medis Givan. Dia menangis sesegukan, "Semesta Freya hancur"
Gadis itu tidak bisa berfikir menyeluruh. Pandangannya kosong menatap setiap inci wajah Givan.
Tanpa sadar Agsa berjalan mendekati brankar Givan. Menyaksikan sahabatnya yang kini sudah menutup mata. Ada senyum kecil di wajah Agsa saat ini. "Udah gak sakit kan? Kapan tanding bola lagi? "
"Gue iklas Van, kapan kapan kita tanding bola lagi, Harus! " Ujar Irzan akhirnya.
"Tenang disana" Ucap Ghastan.
"Gue bakalan kangen rebutan makanan sama lo! " Ujar Agsa mencoba tersenyum meski air matanya menetes.
"Lo harus bahagia di sana! "
Hari ini adalah hari ulang tahun Givan. Delapan belas tahun lalu. Ada sebuah keluarga yang tersenyum bahagia karena kelahiran anak sulungnya. Namun sekarang semua sudah berbeda. Jiwanya sudah melebur dan tinggallah raga tanpa nyawa. Semua menatap kearah Givan.Sahabatnya sudah menyelesaikan urusan dunia.
Janaka Natheo Givandy. Waktu kematian. 18 januari 2023.
Dini hari, Pukul 02.14 waktu Indonesia bagian Barat.
Rumah Sakit Atma Jaya.Siang ini juga, prosesi pemakaman Givan berlangsung. Freya dalam pelukan Aufa saat menuju pemakanan. Dia memperhatikan pakaian serba hitam yang dipakainya. Rasa pilu menyergapnya. Dia selalu memakai pakaian berwarna cerah saat bertemu dengan Givan. "Pakai warna cerah cerah aja, Frey! Keliatan ceria" Teringat lagi perkataan itu. Kini dia mengenakan pakaian serba gelap saat bertemu Givan.
Ketika sampai di tempat peristirahatan terakhir Givan. Freya tidak pernah lepas dari pelukan Aufa. Agung mengusap kepala Freya lembut, mengucap kata iklas berulang kali. Freya memantung melihat jazad Givan untuk yang terakhir kali.
Raihan, Irzan, Ghastan dan Afkar sudah berada di titik pusara. Sementara itu, Agsa memegang, mengusap dan memeluk papan nisan. Tidak pernah terbayangkan, sahabtnya akan pergi secepat ini.
Semilir angin membuat suasana menjadi tambah syahdu. Doa doa terurai meski dipanjatkan dengan air mata yang berderai. Mereka semua disana. Rumah, menuju benar benar rumah. Tempat peristirahatan terakhir.
Freya memaksa diri untuk bertahan, walau genangan di pelupuk matanya tumbah juga. Setidaknua, dia berhasil menyaksikan proses kepulangan Givan.
Di pemakaman jenazah Givan. Kini ada Irzan, Ghastan, Afkar, Raihan, Naren, Agsa, Aufa dan Freya tentunya. Pelayat yang lain sudah pulang lima belas menit yang lalu. Termasuk Agung yang tiba tiba ada urusan mendadak dengan kuliahnya. Tadi Agung sudah mengajak Freya pulang, namun ditolaknya mentah mentah.
Seperti ada yang hilang dibenak mereka. Kepergian Givan menorehkan luka. Rasanya, persahabatan mereka tidak lengkap tanpa Givan.Irzan sejak tadi menumpukkan kepalanya diatas nisan bertuliskan Janaka Natheo Givandy. Dia sangat terpukul atas kepergian Givan. Givan tempatnya bercerita. Givan yang selalu bisa mencairkan suana. Dan Givan yang bisa membuat Irzan yang pendiam menjadi berisik. Bahkan sekarang apa?
Air mata Irzan kembali menetes setelah kepergian Givan untuk selama lamanya. "Nggak ada lo, rasanya hampa" Sungguh, hati Irzan kini benar benar hancur. Cowok yang biasanya tidak peduli dan selalu cuek dengan sekitarnya, kini menangis karena Givan.
Sementara itu, Freya masih menangis di pelukan Aufa. Dengan tangan gemetar, Freya menyentuh nisan itu. Suara gemuruh langit seakan mendengar ungkapan duka di pemakaman jenazah Givan hari ini. Langit menjadi mendung dan hujan turun tiba tiba.
"Mendingan kita pulang! Jangan hujan hujan"
Raihan menggeleng. Dia menggenggam gundukan tanah yang kini basah karena terguyur air hujan. "Berat banget ngelepasin lo"
Aufa mengajak Freya berdiri dan berteduh. Tetapi Freya enggan bergersk dari duduknya tadi. Sama dengan Raihan yang masih menatap gundukan tanah didepannya. "Frey, Givan pasti nggak suka kalau lo terus terusan kayak gini! "
Aufa menarik Freya menuju tempat teduh. Kesehatan Freya akhir akhir ini menurun. Anak itu tidak boleh sakit. "Kita pulang aja! Biar Raihan diurus yang cowok"
"Pake mobil aku" Aufa mengangguk mendengar ucapan pacarnya, Naren.
"Rai ayo balik Rai" Ajak Agsa kepada Raihan. Yang diajak bicara hanya menggeleng. "Gue mau disini"
"Kasian tubuh lo, nanti sakit! "
Langit makin menggelap hujan juga semakin deras. "Kita semua juga ngerasain yang namanya kehilangan Rai, lo sakit, kita semua sakit disini. Jangan egois. Hujannya makin deres dan bentar lagi ujian. Lo inget janji Givan kan mau lulus bareng. Kalau dia udah nggak bisa ya kita yang gantiin dia. Kita harus sehat sehat buat ujian besok. Givan gakbakal suka liat temen temennya terpuruk kayak gini! Iklas Rai"
Raihan memejamkan matanya sejenak. Dia menatap langit langit yang gelap tertutup awan hitam. "Lo harus tenang disana"
"Kita pasti ngunjungin lo sering sering, Van! "
Dalam perjalanan pulang kerumah Freya. Perasaan aneh menghinggapi Freya. Dia teringat semua momen yang dia lalui bersama Givan sejak dudik dibangku SMA. Siapa yang menyangka. Pertemuan singkat memberikan jutaan makna dan luka. Kisah hoodie, praktek masak, pulang bareng, piket bareng, makan di kantin, dirawat waktu sakit, selalu mengantar dan menjemput kemanapun. Semua kenangan itu masuk ke dalam pikirannya.
Membuat tangis Freya pecah lagi sampai dia kesulitan bernafas. Posisi duduknya dia sendirian dibelakang. Naren dan Aufa berada didepan, itu sengaja karena sudah direncanakan oleh Freya. Gadis itu menatap jendela luar. Hujan deras diluar sana. Kembali lagi dia teringat saat dia dan Givan pulang bersama setelah bell sekolah malah bermain hujan ditaman. Freya berharap ini mimpi, hingga tak perlu merasa sesakit ini.
Janaka Natheo Givandy, 18 januari 2023.
Happy birthday!
SPAM NEXT DISINI!!