Aku keluar kelas dengan setelan dogi alias baju karate yang sudah menempel di badan. Koridor sekolah tampak sepi karena jam pulang telah lewat. Namun, masih ada beberapa anak yang bertahan karena hari Jum'at adalah waktu semua ekstrakurikuler berjalan. Aku menatap heran murid-murid yang langsung ngibrit saat berpapasan denganku. Bahkan, anak-anak cowok kelas sebelah langsung memberiku jalan saat hendak menuruni tangga. Kudengar suara bisik-bisik seperti, "Kasih jalan ada anak karate." Membuatku tersenyum geli dalam hati. Ternyata karena aku pakai baju karate doang. Yah, meskipun reputasiku di kalangan anak-anak kelas menakutkan tapi gak pernah sampai segitunya kali. Aku gak menyeramkan kok beneran, palingan cuma nonjok hehehe.
"Osh, senpai."
"Osh!"
Para juniorku pada membungkuk memberi salam saat aku tiba di sport center. "Hari ini sensai gak bisa ngelatih, jadi gue sama Eliza yang mimpin. Eliza mana?"
"Lagi ganti baju, Kak," jawab Dinda, junior kelas 10.
"Oh, oke," sahutku seraya memasang sabuk.
"Kak, ada temanku mau gabung karate hari ini," ujarnya lagi.
"Oh ya, bagus dong. Mana anaknya?"
"Itu, Kak."
Aku menoleh ke belakang mengikuti arah tunjukkan Dinda.
"Loh Kak Adia?"
Entah kenapa aku mendadak tidak bisa berkata-kata melihat siapa anggota barunya. "Eh, Bintang."
"Wah, Kak Adia keren banget pake baju karate. Udah sabuk hitam lagi."
Jika dalam keadaan normal hidungku pasti sudah kembang kempis mendengar suara akan pujian itu. Tapi entah kenapa aku tidak bernafsu mendengar pujiannya—mungkin eksistensinya juga. Gak gak, aku harus profesional tidak boleh mencampurkan masalah pribadi.
"Aku boleh gabung gak, Kak?"
"Hmm, boleh kok," jawabku bersamaan dengan Eliza yang datang dari ruang ganti.
"Latihan dimulai, baris sesuai urutan sabuk!" pimpinku.
Latihan kami mulai dengan membaca sumpah karate, doa, dan pemanasan bersama. Eliza kusuruh mengajari Bintang gerakan dasar karate. Sedangkan aku mengajari dasar jurus, mengingat gerakan dasar dan sedikit fisik.
"Masih ada waktu satu jam," ujarku ditengah waktu istirahat mereka yang masih mengatur napas. Termasuk Bintang yang kusuruh Eliza untuk tidak terlalu keras pada anggota baru.
"Kak, minum ya," keluh salah satu junior yang minta izin buat minum air.
"Enggak, tahan dulu. Makin haus kalo minum di tengah olahraga," ujarku berakhir menjadi paduan 'yaaaah' kecewa.
"Kak, latihan bela diri praktis dong," usul Dinda disusul dengan dengungan 'iyaa, kak.'
"Oke-oke, sekarang kembali ke barisan. Buat dua garis memanjang dan berhadapan." Gue mengambil pisau yang biasa dibuat latihan. "Kalo latihan sebaiknya menggunakan pisau beneran, biar gak takut kalo berhadapan langsung."
Aku memberi contoh dengan menodongkan pisau pada Eliza. Dibalas dengan tangkisan, tendangan, dan pisau yang kubawa terlepas. Diakhiri kuncian tangan Eliza di leherku. Disusul seruan tepuk tangan dan kata-kata takjub dari mulut mereka.
"Sekarang kalian berhadapan dan praktekkan dengan pasangan masing-masing." Eliza mendekati mereka guna melatih dari dekat.
Tiba-tiba Bintang berlari kecil dan berhenti dihadapanku. "Aku sama Kakak ya. Aku gak dapet pasangan soalnya."
"Oh, oke. Lo lihat dulu aja gak papa, soalnya masih anak baru."
"Enggak papa, aku pengen coba."
Aku mengangguk. "Oke, ikuti kata-kata gue. Pasang kuda-kuda kanan. Nanti lo tangkis pisaunya terus kasih tendangan dan pukulan."
Bintang mengangguk.
Aku menodongkan pisau dan ditangkisnya dengan baik. Sampai dia kusuruh memutar tubuhku...
"Auwh... auwh..."
"Kenapa-kenapa?" Aku segera berbalik dan anak-anak lainnya mendekati Bintang.
"Aku tadi ngerasa pisaunya kena tangan tapi ternyata cuma mata pisau yang tumpul."
"Kamu gak papa, Bin?" tanya mereka khawatir.
"Gak papa kok cuma kaget aja tadi."
"Syukur deh, hati-hati kalo latihan," ujar Dinda.
"Kembali ke barisan, persiapan pulang," ucapku memberi perintah.
Semua kembali ke barisan masing-masing dengan aku dan Eliza yang memimpin penutupan seperti biasa.
***
Keesokan harinya, aku tidak tahu apa yang terjadi. Semua orang di koridor yang kulewati tampak menghakimiku seakan baru saja aku mengakui menjadi psikopat yang membunuh puluhan orang dengan sadis. Dan kutemukan alasannya setelah sampai di kelas. Tagar Justice for Bintang menjadi tranding di sosial media. Video singkat saat latihan karate kemarin. Sebenarnya tidak akan booming seperti ini jika di dalam video itu bukan Bintang, si artis yang tengah naik daun. Dan sialnya video itu dipotong bagian penyelesaiannya. Bisa ditebak semua hate comment ditujukan padaku.
"Bos, lo mau kemana?" tanya Sita melihatku hendak pergi.
"Nemuin Bintang."
Teman sekelasku tidak sampai melarang karena aku keburu keluar. Sekarang aku tahu tatapan mereka saat melihatku di koridor. Bahkan kini lebih banyak tatapan karena jam mulai naik ke angka tujuh.
"Kenapa ada video itu?!"
"Video apa?" tanya balik Bintang.
"Video kita latihan kemarin?! Siapa yang berani bawa hp waktu latihan?!" ujarku melirik Bintang dan Dinda.
"Aku juga gak tahu, Kak. Mungkin salah satu fans yang ngerekam di sana."
"Iya, dan kenapa videonya di-cut?? Lo bisa kan klarifikasi permasalahannya kalo ini salah paham."
"Kak Adia tenang aja. Itu cuma video viral dadakan. Lama-lama juga surut, kok."
Aku menghela napas dan berbalik meninggalkan kelasnya Bintang. Kutemukan keempat sobatku yang ternyata mengikutiku dan menunggu di luar.
"Sabar Bos, ini pasti emang kerjaannya Bintang biar dia viral lagi. Biasa caper," ucap Eliza.
"Udahlah, bodo amat. Gue gak peduli," sahutku seraya berlalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
HATERS!
Mystery / ThrillerSPIN OFF 18.5 Boy n Girls Sequel Bani Boediman *** Garis besar: Ditemukan mayat kehabisan darah akibat enam tusukan ditubuhnya. Jangkauan korban semakin variatif dan luas. Tidak peduli dari sekolah kami atau bukan, laki-laki atau perempuan, dari rem...