6. ADIA

1 1 0
                                    

Kuputuskan untuk berjalan mencari angin menyusuri trotoar dekat sekolah. Otakku terasa penuh dan hatiku jadi panas setelah kejadian yang baru saja terjadi. Sudah berapa kali coba aku memperingati Bintang buat gak tepe-tepe alias tebar pesona ke Kak Nano. Dari pagi sampai sore kupelototi di ruang OSIS apa masih kurang? Kak Nano sendiri juga kenapa terlalu baik jadi orang. Awas kalo dia udah ada yang baru dan enggak nyariin aku!?!

Aku berjalan menghentakkan kaki saking kesalnya.

Brak...brak...brak...

"Aaargh, sori-sori." Sampai langkahku berhenti karena aku rasa seperti menginjak sesuatu. "Holy crap! Maaf saya gak sengaja." Segera kuangkat kakiku karena tak sengaja menginjak tangan seseorang.

Eh.

Tunggu.

Kok ada tangan di trotoar?

Sebelum otakku berpikir yang tidak-tidak. Kupikirkan untuk yang iya-iya dulu. Tempat ini adalah bank pembuangan sampah dekat sekolah. Di sini sepi, hanya hitungan jari motor yang lewat. Mungkin orang gila yang tidur di sini. Soalnya hanya tangannya saja yang terlihat, tubuhnya tertutupi oleh kantung-kantung sampah. Kuberanikan untuk mengangkat satu kantung guna melihat wajahnya. Jika benar orang gila, aku hanya perlu mengendap-endap kembali ke sekolah. Tapi dugaanku salah. Aku tidak bisa meninggalkan orang ini. Aku mengenalnya.

"Kak Bima," ujarku lirih. Orang yang dicari-cari oleh anggota OSIS kini terkulai pucat di tempat pembuangan sampah. Belum lagi disekitarnya terdapat genangan darah yang keluar dari perutnya.

Oke, gak boleh panik. Aku harus mulai terbiasa dengan situasi seperti ini. Tindakan selanjutnya yang harus kulakukan adalah melapor ke Kompol Mahendra, menelepon ambulans, dan memberi tahu teman-temanku. Tak berselang lama, suara derapan langkah kaki mendekati ke arahku. Teman-temanku datang dengan napas tersengal.

"Kenapa dia ikut?" tanyaku tak senang melihat kehadiran Kak Nano yang ikut ke sini. Ingat ya, aku masih kesal padanya.

"Kak Nano khawatir sama lo, makanya dia maksa ikut," jawab Sita.

"Aku perlu mengetahui apa yang terjadi sama anak buahku," kilahnya.

"Maayygaaat, kenapa Kak Bima kayak gitu. Dia kecelakaan apa gimana?" histeris Haidar.

"Enggak tau, waktu pertama kali gue nemuin. Dia udah kayak gini ditumpukkan sampah."

"Semoga Kak Bima bisa tertolong."

Ya, semoga. Mengingat malam ini adalah puncak acara sekolah dan akan menjadi perbincangan jika ada kecelakaan di sekolah. Berani taruhan, acara ini mungkin segera diselesaikan karena mobil polisi dan ambulans sudah meraung mendekat.

Para polisi dan paramedis keluar dari mobil masing-masing membuat jalanan di sini ramai. Warga sekitar tampak ingin tahu dengan apa yang terjadi. Bahkan, beberapa murid-murid ada yang keluar atau mengintip dari balik pagar.

"Apa yang terjadi di sini?" tanya Kompol Mahendra begitu sampai. AKP Adrian berdiri dibelakangnya. Beberapa polisi langsung menyebar mengamankan TKP sebelum korban dibawa ke rumah sakit oleh paramedis.

"Murid sekolah kami ada yang terluka, Pak. Saya yang menemukannya dalam keadaan seperti itu," jawabku.

"Apakah ada perkelahian atau kecelakaan di sini?"

"Kurang tau, Pak Kompol."

"Oke, AKP Adrian minta keterangan Adia!"

"Siap, laksanakan! Adia, ayo ikut saya," AKP Adrian memintaku untuk mengikutinya. AKP Adrian menjadikan pos satpam sebagai tempat introgasi. Beliau mencari kesaksianku sebagai orang pertama yang menemukan korban. Karena tidak ada kecurigaan, beliau mempersilakanku pergi. Setelah berkumpul lagi dengan yang lainnya, tak kutemukan tubuh Kak Bima. Sudah dibawa ke rumah sakit, kata Sita. Syukurlah, semoga dia baik-baik saja.

Kompol Mahendra menghimbau Kak Nano dan kepala sekolah untuk segera membubarkan acara malam ini. Seluruh murid-murid dan bintang tamu menurut pulang meski dengan raut muka penuh tanya. Kecuali anak-anak OSIS dan beberapa teman dekat Kak Bima untuk dimintai keterangan. Suasana sekolah tetap ramai, tapi dengan kesan yang berbeda.

Kemudian sekolah perlahan mulai sepi. Para guru dan anak-anak OSIS sudah bebas pulang. Kini tersisa kepala sekolah yang hendak pulang, pak satpam, beberapa anggota OSIS yang sibuk beberes, seluruh anggota kepolisian dan tentunya kami berlima.

Kompol Mahendra datang dengan menenteng tas hitam yang kuyakini milik Kak Bima. "Tas ransel Bima ditemukan di lokernya. Tak ada barang yang mencurigakan, hanya ponselnya yang raib."

Ponsel itu benda pribadi yang memiliki kemungkinan besar petunjuk buat setiap kasus. Kita bisa mencarinya mulai panggilan terakhir korban dan ruang obrolan yang mencurigakan.

"Di TKP?"

"Di TKP juga tidak ada. Hasil visum Bima sudah keluar. Dia kehilangan banyak darah. Tapi dokter sudah menanganinya dan baik-baik saja sekarang."

Kami semua bernapas lega. "Syukurlah."

"Penyebabnya ada enam tusukan pisau di perutnya."

Ucapan Kompol Mahendra itu membuat kami terperangah tak percaya. Beruntung tadi Kak Bima cepat ditemukan, aku tidak bisa membayangkan jika telat barang sedetik. Siapapun pelakunya, pasti dia sudah gila.

"Nano, kamu sudah selesai berberesnya?" tanya Kompol Mahendra.

"Sudah, Pak. Sisanya dilanjutkan besok. Udah larut malam."

"Iya, suruh teman-temanmu langsung pulang. Termasuk kalian berlima," tunjuk Kompol Mahendra. "Serahkan semua ini pada pihak polisi."

"Tapi Pak—"

"Gak ada tapi-tapian, Adia!"

Aku mendengus sebal. Mana bisa tidur aku kalo rasa kepoku udah diujung tanduk. "Oke, inpo-inpo ya, Pol."

Kompol Mahendra hanya membalas mendengus dan berbalik kembali bekerja.

"Adia, ayo aku anterin pulang."

Aku melirik sekilas Kak Nano. "Gak mau!"

"Marahnya dipending dulu. Besok aku jelasin. Sekarang biarin aku anterin kamu. Ini udah larut banget."

"Gak, aku bareng temen-temenku aja," ujarku seraya berbalik menyusul sobat-sobatku. Kurasakan Kak Nano membuntutiku.

"Aku ikuti dari belakang!" ucap Kak Nano tegas tanpa mau dibantah. Menguarkan pesona ketosnya.

"Terserah!"

Aku gak boleh goyah! Ingat, aku masih sakit hati!!

HATERS!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang